sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Minggu, 07 Februari 2016

On 22.49 by Unknown   No comments


Oleh Irfan Fauzi


Bekasi, kota padat yang terletak di pinggiran Jakarta selalu sibuk dengan rutinitas hariannya. Sejak adzan subuh berkumandang, ribuan kendaraan bermotor hilir mudik disepanjang jalan utama menuju Ibukota. Memang, sebagai kota yang termasuk dalam lingkup Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), kota ini mau tidak mau tertular oleh padatnya aktifitas perekonomian Ibukota. Disamping itu, Cikarang, sebagai salah satu pusat perindustrian Indonesia yang menyedot ratusan ribu tenaga kerja, juga terletak di Bekasi. Menurut data dinas kependudukan dan catatan sipil setempat, setidaknya penduduk kota Bekasi bertamabah 157.000 jiwa per tahun atau 430 jiwa per hari.
Harapan hidup lebih layak menjadi faktor utama bagi masyarakat untuk bisa merantau dan mengadu nasib di Jabodetabek. Daya aglomerasi yang ditawarkan kota-kota ini begitu kuat, hingga masyarakat awam terjebak dalam hitungan nominal tinggi rendahnya Upah Minimum Kota (UMK) tanpa mengindahkan kebutuhan hidup layak (KHL) di sekitar lingkup Jabodetabek.
Berbekal skill dan tingkat pendidikan yang variatif, para perantau bersaing demi mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih layak. Beberapa mengikuti jalur resmi melalui tes, ada juga yang melalui koneksi sanak saudara, atau organisasi. Namun yang menyedihkan adalah mereka yang tak berbekal skill, basic pendidikan, maupun koneksi. Maka golongan yang terakhir ini terkadang terlunta-lunta ditengah padat dan cepatnya pertumbuhan ekonomi Ibukota.
Imbas dari kepadatan penduduk serta ketatnya persaiangan di dunia kerja membuat mental masyarakat Jabodetabek kebanyakan acuh dan individualistik. Lihat saja, permasalahan sampah di Ibukota yang selalu kebingungan mencari alternatif tempat pembuangan. Disamping itu, padatnya penduduk juga berkorelasi dengan tingginya tingkat polusi sebagai akibat padatnya kendaraan di jalanan kota-kota ini. Pelanggaran lalu lintas juga menjadi lumrah ditengah padatnya roda transportasi di jalan-jalan utama. Lahan kosong pun seperti hampir mustahil ditemui, akibat padat dan pesatnya pembangunan. Kita akan jarang menemui taman hijau yang asri dan segar di kota-kota ini, toh walaupun ada lahan strategis, tidak lama lagi akan menjadi bacakan investor untuk didirikannya gedung-gedung.
Memandang hal di atas, nampak, begitu penatnya rupa dari kota-kota dalam lingkup Jabodetabek, khususnya Bekasi. Bagaimanapun, faktor lingkungan sangat berperan penting dalam pembentukan karakter setiap individu. Niat untuk mendidik anak sebagai bibit generasi muda, terkadang berbenturan dengan kekhawatiran akan tingginya polusi, pergaulan yang tidak sehat, maupun struktur kurikulum konvensional yang terlalu membebani anak.
Untuk itulah, kini, lembaga-lembaga pendidikan swasta pra sekolah, dasar dan menengah mulai bermunculan demi sebuah alternatif pendidikan yang anti mainstream dan tetap mewadahi kreatifitas setiap anak, salah satunya adalah sekolah alam.
Sekolah Alam Sebagai Solusi
Sekolah alam mengusung sebuah konsep pendidikan yang memandang relasi alam dan manusia sebagai komponen yang tak terpisahkan. Manusia yang bisa menghargai alam, niscaya akan bisa menghargai manusia lainnya. Manusia sebagai ‘subjek’ yang berkesadaran satu kesatuan dengan alam sebagai ‘objek’ yang mekanistik-non kesadaran. Dalam islam pun demikian, dikatakan bahwa manusia adalah Khalifatul fil Ard, atau wali Allah di muka bumi yang bertujuan untuk merawat dan melesatarikan bumi.        
Keberadaan sekolah alam yang identik dengan lingkungan yang rimbun, adanya lahan pertanian untuk praktek berkebun, serta kurikulum yang memungkinkan siswa lebih menghargai ekosistem adalah salah satu upaya untuk mengurangi untuk mengimbangi besarnya emisi gas karbon hasil efek rumah kaca oleh kendaraan-kendaraan berbahan bakar fosil di kota-kota besar.
Tidak seperti kebanyakan sekolah umum, sekolah alam lebih leluasa dalam mengembangkan kurikulumnya. Secara umum, model pembelajaran di sekolah alam,             - khususnya sekolah tempat saya bekerja - mengusung model pembelajaran yang memperhatikan pentingnya tahap perkembangan peserta didik. Teori Kognitif Bloom secara umum dilarang keras jika peserta didik hanya sampai pada tahap mengingat (C1), selain itu teori multiple intellegence Howard Gardner yang mengedepankan kecerdasan multi aspek juga diterapkan yang terintegrasi dalam pembelajaran sentra.
Dengan mengadopsi model pembelajaran Beyond Centre sand Circle Time (BCCT) yang dikembangkan oleh Pamela C. Phelps, Ph.D, seorang pendidik berkebangsaan amerika yang telah mendidik lebih dari 40 tahun, sekolah ini berusaha untuk mengedepankan tiga jenis main sebagai modal pembelajaran anak usia dini yang terdiri dari main sensorimotor, main pembangunan, serta main peran. Dari ketiga jenis main inilah pembelajaran menjadi lebih menarik, karena peserta didik tidak hanya belajar mengetahui suatu hal, tapi juga ikut mengalami.
Suasana sekolah yang mengedapankan wawasan go green, sangat mendukung untuk terciptanya pembelajaran yanng kondusif. Konsep clean, green, dan hgyene (CGH) yang kini mulai diterapkan di berbagai kota, sudah berjalan dari lembaga pendidikan dasar semacam sekolah alam. Peserta didik juga mengalami langsung proses penanaman sayur-sayuran seperti bayam, kangkung, maupun pakcoy. Mereka menanam langsung di kebun sekolah. Dengan demikian, peserta didik mengalami langsung setiap kegiatan pembelajaran, seperti halnya yang ditekankan oleh paradigma konstruktivisme.
Setiap kelas juga disediakan tong sampah yang sudah diklasifikasi antara organik dan anorganik. Pengklasifikasian sampah ini sangat penting dalam mengatasi sampah melalui konsep reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang). maka, peserta didik secara tidak langsung sudah menjadi individu-individu yang tertanam rasa kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.
Oleh karena itu, permasalahan ekologi di perkotaan yang jauh dari konsep clean, green, dan hygene, sejatinya dapat di selesaikan secara bertaahap melalui pendidikan berwawasan lingkungan baik di tingkat dasar maupun menengah, yang tercipta dalam bentuk sekolah alam. Keseimbangan antara Manusia sebagai ‘subjek’ dan alam sebagai ‘objek’ akan bermula dari tangan-tangan mungil peserta didik yang bisa menghargai lingkungannya.