Jumat, 21 April 2017
On 05.33 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Pendidik di Sekolah Alam Natur Islam
Owner Pulangpergi Travel
Dalam buku Self Driving (2016), Pak Rhenald Kasali mengisahkan kejadian yang
menimpa dirinya saat naik pesawat komersial amerika untuk kembali ke tanah air
pada 1998. Beliau saat itu sedang menenteng tas besar dengan satu tangan.
Tangan kirinya mengalami cedera dan dibalut dengan gips yang menggantung pada
kain segitiga. Istrinya yang baru menjadi ibu muda sulit membantu karena sedang
menggendong bayi yang usianya kurang dari satu setengah tahun.
Ditengah ketergopohan, seorang
pramugari bule tiba-tiba menghardiknya. “tas tersebut tak bisa dibawa masuk,
terlalu besar!” ucapnya tegas. “lalu bagaimana?” tanya beliau. “I dont know”, ujar kru bule tadi dengan
cuek. “We will call your agent.”
Ucapnya ketus. Tanpa menunggu solusi dari agen, Pak Rhenald berusaha memasukkan
tas besar tadi ke dalam kabin. Beberapa penumpang lain turut membantu dengan
susah payah. Akhirnya setelah menggeser dan menata tas lainnya, tas besar milik
Pak Rhenald berhasil dimasukkan. Semua penumpang bersorak gembira, sambil
menunjukkan ketidaksukaan pada pelayanan airline yang buruk.
Dalam kisah tersebut, Pak Rhenald
menggambarkan salah satu karakter yang ditunjukkan oleh pramugari bukanlah
ketegasan (assertiveness) melainkan
sikap garang dan agresif. Hal ini ternyata banyak terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dimana kebanyakan orang akan sulit membedakan mana ketegasan mana
agresifitas. Seringkali saat mengantri di sebuah loket pembayaran commuterline,
tiba-tiba ada yang menyelak masuk barisan depan. Dia akan dengan cuek menggeser
antrian lain hanya untuk mendapatkan barisan lebih depan. Siapapun pasti faham
bahwa hal tersebut tidak sopan dan tidak beretika. Indonesia adalah negara yang
menjunjung tinggi adat ketimuran dimana kesopanan dan etika sangat diagungkan.
Kini, rasanya adat ketimuran
perlahan mulai luntur dan hilang. Terlebih di kota besar, dimana setiap orang
seakan dituntut untuk bergerak cepat, bekerja lebih keras, meskipun harus
mengabaikan hak-hak orang lain. Mudah saja untuk mencari contoh prilaku yang
demikian. Perhatikan lampu merah yang ada di sudut kota baik Jakarta maupun
kota satelitnya, Bekasi, Tangerang, Depok, ataupun Bogor. Sangat jarang
ditemukan pengendara motor atau mobil yang tertib lalu lintas. Lampu masih
merah, tapi pengendara sudah menerobos jalanan. Contoh lain, jika di lampu
merah yang padat maka ada area yang berwarna merah dikhususkan untuk pengendara
motor. Namun faktanya, tak sedikit mobil atau angkot yang dengan cueknya
menempati area motor tersebut.
Menjelang dan pasca musim
Pilkada, kita temukan banyak sekali ucapan atau komentar yang bernada negatif,
cenderung mencaci tanpa pandang usia baik di dunia offline maupun online.
Mereka dengan enteng menghina sambil mengeluarkan kata-kata negatif. Semua
jenis hewan mereka sebutkan. Anjing, babi, ayam, kambing bahkan hingga (maaf)
diksi diksi yang bermakna kotoran. Yang terbaru, kasus penghinaan yang dialami
oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang, Zainul Mahdi saat mengantri di sebuah
airport Singapura yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Steven, yang
ternyata juga warga Indonesia.
Prilaku-prilaku demikian, secara
tak sadar sudah sangat membudaya bagi masyarakat perkotaan. Hal ini tentu
bertentangan dengan adat ketimuran yang selama ini menjadi panutan masyarakat
Indonesia. Rasanya, kalau tidak salah
generasi-generasi yang saat ini tumbuh menjadi generasi Milenial, adalah mereka
yang mengenyam pendidikan budi pekerti saat di bangku sekolah dasar dulu. Dalam
pelajaran tersebut setidaknya, sudah diajarkan bagaimana berprilaku yang baik
dan berbudi yang luhur. Namun, kelemahanya adalah budi pekerti hanya diajarkan
dalam ranah teoretis dan minus praktik. Maka tidak heran, prilaku negatif dan
tak beretika cenderung berkembang di era digital yang memungkinkan masyarakat
mendapatkan akses secara mudah terhadap informasi.
Dalam ulasan Pak Rhenald,
setidaknya ada tiga jenis karakter bagi kebanyakan masyarakat perkotaan saat
ini. Pertama, mereka yang dominan,
karakter dominan ini bukanlah dalam konteks yang positif. Mereka bertindak dan
berucap terlalu agresif bahkan cenderung garang hanya untuk mempertankan
kebenaran menurut sudut pandang yang subjektif. Dalam kasus yang lebih parah
mereka akan cenderung menggunakan sikap agresifnya untuk mengelak dan
mengabaikan hak-hak orang lain demi pencapaian keinginan pribadi.
Kedua, mereka yang resesif. Karakter ini cenderung pasif dan
terlalu toleran terhadap keinginan orang lain. Bahkan mereka cenderung mengalah
meskipun hak-hak individunya dihilangkan oleh orang lain. Contoh kecilnya, saat
antri dalam pembayarat loket, mereka akan mengalah saat ada orang lain yang
menyelak dengan beralasan tidak ingin memperpanjang masalah.
Nah, di tengah-tengah kedua
karakter tersebut ada karakter ketiga,
yaitu mereka yang pasif-agresif namun sarkastik. Mereka tidak terima diserobot,
tetapi tidak berani menegur atau memperbaik cara-cara yang tidak tepat. Mereka
berbicara kasar, sinis, nyinyir,
tetapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, atau
lewat sosial media dengan nama samaran.
Tentunya, ketiga karakter
tersebut bukanlah karakter ideal. Maka untuk mengimbanginya perlu ditanamkan
sebuah sikap ketegasan (assertiveness)
yang proporsional. Sikap assertive
adalah sikap yang mampu mengungkapkan ketidaknyamanan dan unek-unek secara
terbuka namun dengan seni yang tinggi tanpa merendahkan martabat orang lain.
Malah mereka yang dikritik dapat menerima secara respek karena disampaikan
dengan cara yang halus, santun, dan tidak menyakiti perasaan. Sikap ini tidak
akan didapat secara tiba-tiba. Butuh waktu dan latihan untuk menumbuh kembangkan
sikap assertive. Akan lebih baik jika sikap assertive ini dibiasakan sejak dini
terhadap anak-anak kita.
Bagaimana sikap assertive
diterapkan? Secara sederhana dapat kita biasakan dengan mengucapkan kata “maaf”
dan “terimakasih”. Kata “maaf” digunakan saat kita memiliki kesalahan ataupun
saat ingin mengingatkan orang lain. Kata “terimakasih” kita gunakan saat
mendapatkan bantuan sekecil apapun atau saat orang lain yang melakukan
kekhilafan lalu berubah, maka ucapkanlah terimakasih. Kedua kata ini memiliki
efek yang sangat baik jika dibiasakan sejak dini. Kata maaf, yang diikuti oleh
kalimat kritik atau pun peringatan berarti menegur atau mengkritik dengan tegas
namun sopan.
Laiknya di sekolah kami, Sekolah
Alam Natur Islam, anak-anak sudah terbiasa dengan kedua kata super tersebut.
Jika ada temannya yang mengganggu, maka dengan sopan dan tegas, si anak akan
berucap, “Maaf, aku tidak nyaman, Tolong, tidak mengganggu ku lagi”. Di lain
waktu saat sang anak berbuat kesalahan, lalu ada temanya yang mengingatkan,
tidak segan si anak tersebut akan berucap “terimakasih, sudah mengingatkan”. Hal
– hal demikian jika dibiasakan sejak dini, insyaallah akan membentuk karakter
individu yang tegas dan sopan.
Maka, jika kita mendapati orang
yang berkata secara kasar atau garang, belum tentu dia berkarakter tegas, malah
bisa jadi adalah tipe yang agresif. Sebaliknya jika ada orang yang menegur dan
mengingatkan kesalahan orang lain secara tegas dan sopan, maka dia lah yang
berkarakter assertive. Jadi, apakah
kita sudah menerapkan assertiveness
dalam kehidupan kita? Atau jangan-jangan kita masih masuk dalam kategori
agresif, pasif, atau agresif-resesif?
Langganan:
Postingan (Atom)