sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Jumat, 18 Agustus 2017

On 03.21 by Unknown   No comments


Oleh Irfan Fauzi
Sekretaris Umum, PC Pemuda Persis Kota Bekasi

Muda dan Pemuda adalah dua diksi yang berasal dari satu kata tetapi berbeda makna. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, Muda dan Pemuda menjadi Young and Youth. Young adalah kata sifat yang bisa dimiliki oleh siapapun dan kapanpun. Sedangkan Youth adalah kata benda yang melekat pada individu namun terbatas waktu. Maka, menjadi muda bisa dilakukan semua orang, tak pandang usia. Namun, menjadi Pemuda adalah anugerah usia produktif bagi mereka yang sedang berada pada rentang usia 16-30 tahun jika merujuk pada UU No. 40 Tahun 2009.

Banyak orang yang tidak sadar bahwa dirinya sedang berada di rentang usia pemuda. Mungkin, mereka sadar secara hitungan angka, tapi mereka tak sadar bahwa menjadi pemuda harus dibarengi dengan semangat dan jiwa muda. Setidaknya, kita harus melihat kembali bagaimana negeri ini dipelopori oleh generasi muda saat itu.

Pemuda Masa Kemerdekaan

Generasi yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, mereka adalah pemuda-pemuda progresif yang menentang status quo, bahwa negara mereka bukanlah sapi perah yang harus tunduk dan pasrah pada kolonialisme Belanda. Mereka adalah pemuda yang berjiwa muda sehingga terus melakukan terobosan-terobosan demi menyatukan Nusantara.

Pasca runtuhnya kolonialisme Jepang yang ditandai dengan hancurnya Hiroshima dan Nagasaki, para perjuang terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan tua dan golongan muda. Keduanya sama-sama menginginkan kemerdekaan. Bedanya, golongan muda lebih tidak sabar untuk segera memproklamirkan kemerdekaan sehingga mengharuskan mereka untuk mengintervensi golongan tua, yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat.

Pasca kemerdekaan, 10 November 1945, lagi-lagi golongan muda dari bagian timur pulau Jawa, tepatnya Surabaya, dibawah kepemimpinan Bung Tomo yang saat itu berusia 25 tahun, berhasil menggelorakan semangat ‘muda’ dan memimpin pertempuran melawan Tentara NICA yang berusaha merebut kembali kemerdekaan Indonesia. 

Tentunya, selain tiga kejadian di atas, masih banyak lagi fakta-fakta sejarah yang menunjukkan bahwa pemuda adalah mereka yang memiliki semangat, daya juang, inovasi dan keberanian untuk menjadi pelopor. Maka tak heran, jika Pramoedya Ananta Toer, dengan lantang berucap, “Kalian para pemuda, kalau tidak punya keberanian, maka sama saja dengan hewan ternak! Karena fungsi hidupnya hanya beternak diri!”

Pemuda di kalangan Sahabat

Membicarakan tentang pemuda, penulis menjadi teringat kembali tentang sebuah acara yang diisi oleh wakil ketua STID M. Natsir Bekasi. Sesi tersebut mendiskusikan bahwa sahabat-sahabat yang ikut berjihad bersama Nabi Muhammad SAW, mayoritasnya adalah pemuda.

Ali bin Abu Thalib saat mengikuti rasul dan memeluk islam, kurang lebih berusia 10 tahun. Saad bin Abi Waqqash masuk islam pada usia 17 tahun. Zaid bin Tsabit, dari pemuda Anshar masuk islam pada usia 11 tahun. Beliau berkeinginan untuk mengikuti perang namun dilarang oleh Rasul, karena usianya yang belum cukup. Zaid bin tsabit diijinkan mengikuti Perang Khandaq pada tahun 5 Hijriah. Anas bin Malik juga berusia 10 tahun saat menjadi pelayan Rasulullah, hingga akhirnya beliau menjadi salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis.

Salah satu yang menarik untuk dijadikan contoh adalah Usamah bin Zaid. Seorang anak dari Zaid bin Haritsah yang juga sudah menjadi cucu kesayangan Rasulullah SAW. Di usianya yang baru menginjak 14 tahun, Usamah mengikuti Perang Mut’ah bersama kaum muslimin, untuk mempertahankan diri dari serangan tentara Romawi yang berjumlah sekitar 20.000 pasukan. Sedangkan, pasukan muslim hanya berjumlah 3000. Pada perang ini, Usamah harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika sang ayahanda yang bertugas sebagai komandan perang harus syahid.

Menginjak usia ke-18, saat Rasulullah SAW wafat, Usamah ditunjuk oleh Abu Bakr Asshidiq menjadi komandan pasukan perang untuk melawan pasukan Romawi sesuai dengan wasiat Rasulullah SAW. Saat itu, banyak yang meragukannya, dikarenakan usianya yang belum matang untuk menjadi pemimpin pasukan.

Semua keraguan umat muslim ditepis dengan kemenangan telak pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Usamah yang senantiasa menerapkan nilai-nilai Qur’an dan sunnah rasul berhasil memenangi pertempuran tersebut. Bahkan, sangat jarang sekali pasukan muslim bisa menang dan kembali dengan utuh, tanpa ada pasukan yang syahid satupun. Sejak saat itu, banyak sahabat dan kaum muslim umumnya yang secara usia lebih matang, menghormati beliau. Tak heran jika Umar bin Khattab menyapanya dengan ucapan, “Marhaban Bi Amiri! (Selamat datang, wahai komandanku!).

Pemuda Masa kini?

Mencermati dari berbagai kejadian di atas, penulis merasa malu bahwa pemuda saat ini mungkin tak sehebat dan tak setangguh pemuda baik di zaman Sahabat maupun Pra dan Pasca Kemerdekaan. Hal ini merupakan degradasi dari ketidakjelasan identitas pemuda masa kini terlebih pemuda islam ditengah gempuran moral dan materil di zaman digital.

Pemuda saat ini, cenderung lebih personal dan individualistis. Mementingkan diri sendiri dan golongannya meskipun harus dengan berbagai cara. Yang penting, posisi studinya lancar, pekerjaan aman, gaji besar, dan koneksi luas. Jadi, ketika butuh sesuatu, tinggal hubungi ‘orang dekat’ atau ‘orang dalam’. Dijamin semuanya beres. Pemuda kini seakan lupa bahwa mereka juga bagian entitas dari masyarakat yang komunal.

Lebih menghkawatirkan lagi, pemuda-pemuda di perkotaan yang tidak mengenyam bangku pendidikan  seakan-akan kehilangan gairah mudanya. Mereka lebih menikmati hidup santai, nongkrong sambil mendendangkan lagu-lagu di pinggiran jalanan, menjadi calo parkir, bahkan sampai melakukan tindakan kriminalitas.

Problematika ini harus menjadi tanggung jawab bersama, terlebih kita para pemuda islam yang berkesempatan mengenyam bangku pendidikan. Bangkit dan sadarkan saudara-saudara kita bahwa masa depan masih panjang. Masa depan harus diperjuangkan tidak dengan bersantai-santai apalagi melakukan tindak kejahatan.

Masa depan islam tak akan gemilang jika dimotori oleh pemuda-pemuda yang suka dengan budaya instan maupun rutinitas pekerjaan. Masa depan islam akan cerah jika para pemuda saat ini kembali bergiat, berkolaborasi, melakukan inovasi, serta mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama yang tak produktif. Rasanya, kita tidak pernah kehabisan role model pemuda ideal dalam islam. Hanya saja, kita perlu sesekali membaca sejarah dan membandingkan. Apakah kita memiliki karakter-karakter pemuda di zaman Rasul? Apakah kita memilki semangat juang pemuda di zaman pra kemerdekaan?

Walallahu A’am.

*Tulisan dimuat di web pemuda persis kota bekasi