Senin, 27 Januari 2014
On 19.46 by Unknown No comments
Oleh : Irfan Fauzi
Mahasiswa Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Sunan Kalijaga
Tepat
pada awal tahun baru, 1 januari 2014 masyarakat Indonesia digemparkan dengan
kebijakan “Pertamina” mengenai kenaikan Harga LPG 12 Kilogram sebesar Rp.
47.508 pertabung. harga yang semula sebesar 70.200 pertabung menjadi Rp.
117.708 pertabung dan persentase kenaikan sebesar 68 %. Sungguh angka yang
cukup fantastis mengenai kebijakan kenaikan harga. Belum lagi kenaikan yang
terjadi saat LPG didistribusikan ke daerah-daerah, bahkan di pasaran harga LPG
bergerak sangat liar seolah tanpa kendali. Di Yogyakarta harganya sampai
mencapai Rp. 130.000 pertabung, di Aceh Rp. 135.000 dan di Jakarta Rp. 145.000.
Kenaikan
ini tentu akan sangat memberatkan warga
yang notabene konsumen dari LPG 12 kg adalah masyarakat menengah ke
bawah, dan sangat mungkin bagi masyarakat untuk berbondong-bondong meninggalkan
LPG 12 Kg dan berpindah kepada LPG 3 Kg. Dampaknya, dapat memicu kelangkaan
pasokan gas 3 Kg. Dr. Fahmi Radhy, peneliti
pusat studi energy UGM, berpendapat bahwa kenaikan ini akan memicu angka
inflasi yang diprediksi meningkat antara 0,5 % hingga 0,9%. Dampaknya bisa
dipastikan terjadinya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan daya beli
masyarakat yang semakin menurun. Di sisi lain, hal ini akan menambah jumlah
angka kemiskinan di Indonesia.
Presiden
SBY pun kaget dengan adanya kebijakan ini, hingga akhirnya beliau
menginstruksikan kepada pertamina selama 1x24 jam untuk meninjau kembali
mengenai kebijakan ini. Setelah diadakan rapat konsultasi antara pemerintah, Dirut
PT Pertamina tbk, dan BPK tepat pada 7 Januari 2014 pukul 00.00 WIB dan
memutuskan harga LPG 12 Kg turun Rp. 1.000 perkilogram, atau turun sekitar
Rp.35.000 pertabung (Harian Jogja, 7/01/2014).
Jika
dianalisis, menaikkan harga LPG 12 kg menjadi Rp. 11.708 merupakan kebijakan
terburu-terburu, seakan-akan ada desakan dari pihak eksternal Pertamina.
Direktur utama Pertamina pasti sangat mengetahui efek dari kebijakan ini, padahal
beliau merupakan sosok kompeten di bidang ESDM. Sehingga sangat janggal rasanya
ketika beliau mengeluarkan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak ini
dengan tergesa-gesa, kecuali memang terindikasi adanya desakan dari pihak luar.
Yang
lebih memilukan sekaligus memalukan, pemerintah menyatakan tidak mengetahui
mengenai kebijakan kenaikan harga LPG 12 kg itu. Padahal pemerintah merupakan
pemegang saham pertamina sebesar 100 %, yang tentu berhak untuk memonitoring
setiap kebijakan yang diambil oleh pertamina.
Kebijakan Pencitraan
Disisi
lain, kebijakan menurunkan harga LPG 12 kg itu diindikasi merupakan strategi
pencitraan (politik pencitraan) pemerintah agar terkesan kubu partai politik di
pemerintahan dinilai pro rakyat. Pasalnya, ketika harga LPG 12 kg naik 68 %
masyarakat sangat khawatir dan resah mungkin saja dapur nya akan berhenti “ngebul”,
terutama masyarakat menengah ke bawah. Akhirnya, pemerintah pun melalui Wapres
Boediono, Menteri ESDM, dan Menteri BUMN yang notabene dari salah satu partai
politik yang berkuasa, muncul sebagai pahlawan dengan mengeluarkan keputusan
penurunan harga LPG 12 kg dari Rp. 117.708 menjadi Rp. 80.200 pertabung.
Bongkar
pasangnya kebijakan seperti ini tentu membuat situasi ekonomi masyarakat kacau
balau. Untung saja tidak terjadi tindakan represif sebagai bentuk kekecewaan masyarakat
akibat kenaikan harga LPG. Tahun 2014 memang tahun politik, tapi tidak
seharusnya pemerintah memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan manuver-manuver
politik, apalagi pencitraan partai-nya.
Masyarakat
Indonesia saat ini semakin cerdas dan sadar akan keadaan politik di negerinya.
Sudah sepatutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang solutif problematika
bangsa dan bukan membuat pencitraan partai. Tinggalkanlah warisan (legacy) yang baik terutama di
penghujung kepemimpinan kabinet Indonesia bersatu jilid II, melalui
program-program yang memang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat Indonesia.
*Artikel ini dimuat di Harian Jogja edisi 21 Januari 2014
On 19.43 by Unknown No comments
Oleh:
Irfan Fauzi
Mahasiswa
Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga
Menarik membaca tajuk rencana Harian Kedaulatan
Rakyat (31/12/13) yang berjudul “Dilema Gratifikasi Penghulu”. Disebutkan bahwa
terjadi situasi yang sangat dilematis antara Menteri Agama Suryadharma Ali yang
didesak untuk megeluarkan regulasi yang mengatur tentang biaya pernikahan di
luar jam kerja dengan polemik anggapan gratifikasi bagi penghulu yang menerima
uang amplop/ uang transportasi dari calon pengantin.
Beberapa waktu lalu, muncul berita
terkait dugaan kasus gratifikasi kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kediri
(Tribunnews.com). Setelah ditelusuri, gratifikasi tersebut berkaitan dengan
pemberian uang transport dari calon pengantin selepas menikahkan. Hal tersebut
merupakan sebuah fenomena yang jarang terjadi, karena paradigma yang berkembang
di masyarakat adalah wajar memberikan uang transportasi kepada penghulu atau
pegawai KUA.
Selepas kasus tersebut muncul berbagai
polemik terkait uang amplop yang diterima pegawai KUA selepas menikahkan. Hal
tersebut membawa kerisauan bagi setiap pegawai KUA, bahkan kabarnya sebanyak
661 KUA di wilayah Jawa Timur akan melakukan mogok menikahkan jika di luar
balai nikah hingga ada pernyataan yang jelas dari KPK (Tribunnews.com).
Berdasarkan pasal 12B Ayat (1) UU No.31 tahun 1999
juncto UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini
adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Jika
kita cermati dari definisi di atas, gratifikasi yaitu pemberian dalam arti
luas, kemudian disertai dengan contoh dari gratifikasi. Artinya dalam definisi
di atas gratifikasi tidak merujuk kepada definisi yang konotasinya negatif, sehingga
tidak semua bentuk gratifikasi melanggar ketentuan hukum. Sebab, telah menjadi
kebiasaan masyarakat Indonesia untuk memberikan sejumlah tanda terima kasih
kepada penghulu baik dalam bentuk barang maupun uang atas jasa pelayananannya. Padahal
hal ini dapat memicu timbulnya potensi korupsi di kemudian hari, sehingga
hal tersebut dicegah melalui undang-undang.
Dalam kasus ini, penulis memiliki beberapa
ide yang dapat ditempuh demi mengurangi polemik ini. Pertama, setiap pegawai KUA yang hendak menikahkan para calon
pengantin saat berada pada waktu jam kerja hendaknya meminta kepada calon
pengantin untuk dinikahkan di balai nikah KUA. Kedua, jika penghulu yang menikahkan calon pengantin berada diluar
jam kerja, sah-sah saja untuk menerima uang transport namun tetap harus
melaporkan kepada KPK karena merupakan bentuk dari gratifikasi. Setiap pelaporan
yang kurang dari 30 hari sejak tanggal penerimaan uang transport tersebut tidak
akan terkena sanksi hukum.
KPK yang pada level ini sebagai salah
satu instansi yang berwenang dalam pengusutan kasus gratifikasi, seharusnya
mampu memberikan kejelasan mengenai definisi gratifikasi secara mendetail agar
tidak terjadi polemik yang berkepanjangan. Jangan sampai tugas para penghulu
untuk mempersatukan kedua mempelai dalam ikatan yang sah terhambat oleh hal-hal
teknis yang kurang substantial. Kementrian Agama pun harus turut berembuk
mencari solusi yang tepat guna penyelesaian masalah ini, sehingga perlu adanya
koordinasi baik dari pihak Kementrian Agama maupun KPK.
Bagaimana pun hal ini terjadi karena
pengambil kebijakan yang kurang akomodatif dalam mengambil kebijakan. Perlunya
peraturan yang jelas dan akomodatif dari pemerintah mengenai gratifikasi
penghulu akan menjadi sebuah solusi dari polemik ini. Sehingga para penghulu
tetap menjalankan amanahnya dengan aman dan penuh tanggung jawab.
Langganan:
Postingan (Atom)