Senin, 27 Januari 2014
On 19.43 by Unknown No comments
Oleh:
Irfan Fauzi
Mahasiswa
Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga
Menarik membaca tajuk rencana Harian Kedaulatan
Rakyat (31/12/13) yang berjudul “Dilema Gratifikasi Penghulu”. Disebutkan bahwa
terjadi situasi yang sangat dilematis antara Menteri Agama Suryadharma Ali yang
didesak untuk megeluarkan regulasi yang mengatur tentang biaya pernikahan di
luar jam kerja dengan polemik anggapan gratifikasi bagi penghulu yang menerima
uang amplop/ uang transportasi dari calon pengantin.
Beberapa waktu lalu, muncul berita
terkait dugaan kasus gratifikasi kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kediri
(Tribunnews.com). Setelah ditelusuri, gratifikasi tersebut berkaitan dengan
pemberian uang transport dari calon pengantin selepas menikahkan. Hal tersebut
merupakan sebuah fenomena yang jarang terjadi, karena paradigma yang berkembang
di masyarakat adalah wajar memberikan uang transportasi kepada penghulu atau
pegawai KUA.
Selepas kasus tersebut muncul berbagai
polemik terkait uang amplop yang diterima pegawai KUA selepas menikahkan. Hal
tersebut membawa kerisauan bagi setiap pegawai KUA, bahkan kabarnya sebanyak
661 KUA di wilayah Jawa Timur akan melakukan mogok menikahkan jika di luar
balai nikah hingga ada pernyataan yang jelas dari KPK (Tribunnews.com).
Berdasarkan pasal 12B Ayat (1) UU No.31 tahun 1999
juncto UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini
adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Jika
kita cermati dari definisi di atas, gratifikasi yaitu pemberian dalam arti
luas, kemudian disertai dengan contoh dari gratifikasi. Artinya dalam definisi
di atas gratifikasi tidak merujuk kepada definisi yang konotasinya negatif, sehingga
tidak semua bentuk gratifikasi melanggar ketentuan hukum. Sebab, telah menjadi
kebiasaan masyarakat Indonesia untuk memberikan sejumlah tanda terima kasih
kepada penghulu baik dalam bentuk barang maupun uang atas jasa pelayananannya. Padahal
hal ini dapat memicu timbulnya potensi korupsi di kemudian hari, sehingga
hal tersebut dicegah melalui undang-undang.
Dalam kasus ini, penulis memiliki beberapa
ide yang dapat ditempuh demi mengurangi polemik ini. Pertama, setiap pegawai KUA yang hendak menikahkan para calon
pengantin saat berada pada waktu jam kerja hendaknya meminta kepada calon
pengantin untuk dinikahkan di balai nikah KUA. Kedua, jika penghulu yang menikahkan calon pengantin berada diluar
jam kerja, sah-sah saja untuk menerima uang transport namun tetap harus
melaporkan kepada KPK karena merupakan bentuk dari gratifikasi. Setiap pelaporan
yang kurang dari 30 hari sejak tanggal penerimaan uang transport tersebut tidak
akan terkena sanksi hukum.
KPK yang pada level ini sebagai salah
satu instansi yang berwenang dalam pengusutan kasus gratifikasi, seharusnya
mampu memberikan kejelasan mengenai definisi gratifikasi secara mendetail agar
tidak terjadi polemik yang berkepanjangan. Jangan sampai tugas para penghulu
untuk mempersatukan kedua mempelai dalam ikatan yang sah terhambat oleh hal-hal
teknis yang kurang substantial. Kementrian Agama pun harus turut berembuk
mencari solusi yang tepat guna penyelesaian masalah ini, sehingga perlu adanya
koordinasi baik dari pihak Kementrian Agama maupun KPK.
Bagaimana pun hal ini terjadi karena
pengambil kebijakan yang kurang akomodatif dalam mengambil kebijakan. Perlunya
peraturan yang jelas dan akomodatif dari pemerintah mengenai gratifikasi
penghulu akan menjadi sebuah solusi dari polemik ini. Sehingga para penghulu
tetap menjalankan amanahnya dengan aman dan penuh tanggung jawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar