sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Kamis, 25 Desember 2014

On 18.39 by Unknown   No comments


Irfan Fauzi
Ketua BPL HMI Cabang Yogyakarta
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Hanya menghitung hari untuk memasuki Tahun Baru 2015. Tahun dimana Indonesia turut aktif dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang menuntut masyarakat Indonesia semakin produktif dan professional agar mampu bersaing dengan masyarakat ASEAN lainnya. Tahun dimana Kabinet Kerja Jokowi-JK memasuki memiliki segudang tugas kenegaraan terutama dalam pengentasan kemisikinan sistemik yang diakibatkan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok. Begitu pula dengan lembaga legislative yang punya setumpuk Rancangan Undang-Undang yang sangat ditunggu-tunggu kebermanfaatannya oleh masyarakat.

Pada tahun 2015 tidak ada yang menjamin bahwa negeri ini akan berubah cepat menuju kesejahteraan hakiki. Krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia tentu akan menjadi penghambat peningkatan kesejahteraan. Masyarakat kita masih sulit untuk menerapkan prinsip egalitarianism maupun toleransi keberagamaan. Sehingga tak jarang akan kita jumpai konflik keagaaman di berbagai daerah.

Sedangkan dalam dunia politik terkadang sebagian politisi kita menggunakan cara-cara yang tidak bermoral dalam mencapai tujuannya. Money Politic pun selalu ada dalam setiap pemilu baik tingkatan daerah maupun nasional. Prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang terkutuk itu seakan sudah menjadi tradisi politik di negeri ini. 

Karl Gunnar Mydral (1898-1987) menilai Indonesia sebagai “soft state” alias “negara lunak”, yaitu Negara yang masyarakatnya tidak punya ketegaran moral khususnya moral social politik. Masyarakat Indonesia umumnya mengidap kelembekan (leniency), sikap serba memudahkan (easy going), sehinga menyebabkan kekurangpekaan terhadap masalah penyelewengan kesejeahteraan. 

Tidak heran saat Louis Kraar pengamat Negara industry di Asia Timur, pada Tahun 1988 sudah meramalkan bahwa Indonesia 20 tahun mendatang hanya akan menjadi halaman belakang (back yard) Asia Timur, serta ditinggalkan oleh Negara tetangganya yang berkembang menjadi Negara maju. Penyebabnya adalah etos kerja yang lembek serta kourupsi yang gawat (Majid, 2004).

Sepertinya, ramalan Louis Kraar diatas sudah terbukti pada masa kini, Indonesia hanyalah menjadi back yard. Berbagai macam produk teknologi seperti handphone, smarthphone, laptop, printer, serta gadget lainnya dikuasai oleh produk-produk dari Korea, Jepang, China, hingga Eropa. 

Moda transportasi juga demikian, mobil, motor, kereta api, hingga pesawat terbang, hampir semua produk luar. Mobil nasional karya anak SMK yang dulu pernah menjadi kebanggan sementara masarakat Indonesia kini tak jelas lagi nasibnya. Sungguh menyedihkan bukan, negeri yang sudah merdeka 69 tahun lamanya, masih terikat secara akut pada produk-produk impor negara-negara tetangga.

Untuk itu, kiranya resolusi pada tahun 2015 ditekankan kepada, pertama mereduksi krisis moral masyarakat melalui  pendidikan. Pendidikan merupakan investasi terpenting bagi pembangunan sumber daya manusia, baik dari sisi pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Prilaku tidak bermoral akan berkurang saat masyarakat Indonesia bisa mengenyam pendidikan yang memperhatikan keseimbangan antara aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap. 

Secara formal, pendidikan seperti itu sudah tertuang dalam kurikulum pendidikan kita, baik KTSP maupun Kurikulum 2013, yang terpenting adalah pelaksanaannya secara maksimal. Pada posisi inilah peran guru sangat vidal dalam mendidik anak-anak bangsa agar bermoral baik. 

Kedua, berkaitan dengan krisis moral yang melanda lembaga trias politica, maka resolusinya dengan mewujudkan “good governance” pada semua lapisan lembaga pengelolaan Negara dengan menghilangkan budaya KKN. Prinsip-prinsip melindungi kebebasan sipil, membela hak-hak asasi manusia, menegakkan kedaulatan hukum, serta mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat adalah bagian dari moral lembaga trias politica yang harus ada.

Ketiga, peningkatan etos kerja bagi seluruh masyarakat. Etos kerja yang tinggi serta keinginan untuk berdikari secara perlahan akan meningkatkan produktifitas masyarakat Indonesia, terlebih esok kita sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pemerintah yang sekarang menamai diri sebagai Kabinet Kerja harus memberi teladan kepada masyarakatnya untuk bisa bekerja secara maksimal dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia.

Tentunya berbagai macam krisis yang melanda negeri ini begitu kompleks, sampai-sampai Nurcholis Majid menganalogikannya sebagai gunung es yang puncaknya muncul ke luar permukaan laut. Tentu penyelesaian krisis tersebut tidak akan selesai dalam satu – tiga tahun mendatang. Setidaknya dengan menetapkan resolusi sebagai usaha mengurangi krisis diatas secara perlahan akan menghancurkan gunung es krisis multidimensi di Indonesia. Semoga Indonesia menjadi negeriyang lebih sejahtera di Tahun 2015.

Minggu, 14 Desember 2014

On 11.14 by Unknown   No comments


Oleh Irfan Fauzi
Mahasiswa Pendidikan Fisika
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga
Dunia pendidikan kembali riuh dengan berbagai kejutan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Setahun yang lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh mengeluarkan kebijakan melalui PERMENDIKBUD N0.81 A tahun 2013 tetang implementasi Kurikulum 2013 secara bertahap. Tidak berselang lama pada (5/12), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anis Baswedan membatalkan implementasi Kurikulum 2013 di seluruh sekolah yang baru melaksanakan satu semester.

Kebijakan yang kontradiktif seperti di atas tentu membuat dunia pendidikan semakin berjalan tertatih, khususnya pendidikan formal dimana guru dan siswa sebagai objek yang terkena imbas langsung dari kebijakan pelaksanaan dan pembatalan Kurikulum 2013. Tidak hanya guru dan siswa, pemerintah daerah serta percetakan buku pun turut kebingungan, karena berbagai persiapan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang telah siap kini menjadi sia-sia.

Makna Pendidikan
Dalam memahami definisi pendidikan kita mengenal dua istilah yang sangat populer yaitu paedagogi dan andragogi. Paedagogi dipandang sebagai seni atau pengetahuan untuk mengajar anak-anak. Sedangkan Andragogi yang dikenalkan Alexander Kapp seorang pendidik dari Jerman pada 1883 bermakna sebagai seni atau ilmu mengajar orang dewasa (Hidayat, 2013). Dari kedua jenis istilah di atas, ada kesamaan bahwa makna pendidikan tidak terlepas dari pengajaran dan belajar.

Pendidikan pada hakikatnya mendorong seorang manusia untuk belajar tentang berbagai hal. Manusia sejak lahir hingga mati, dituntut untuk mengalami proses belajar. Saat balita, agar seorang manusia bisa berjalan saja, dia harus belajar dari merangkak, kemudian berjalan tertatih, hingga berjalan sempurna. selanjutnya manusia belajar berbicara, belajar berkomunikasi, belajar mengenal kehidupan disekitarnya dan belajar-belajar lainnya. Intinya manusia tidak akan lepas dari belajar.

Dalam dunia pendidikan, agar manusia bisa belajar secara teratur maka dibuatlah sekolah disertai sistem pendidikannya. Sistem pendidikan yang baik menuntut terjadinya proses belajar yang interaktif antara manusia yang ingin belajar dengan manusia yang mengajar kemudian kita kenal sebagai siswa dan guru. Agar pelaksanaan pembelajaran teratur maka dibuatlah Kurikulum yang mengatur seluruh hal-hal yang harus ada dalam proses pembelajaran, baik itu mata pelajaran, lamanya waktu belajar, cara mengajar, hingga system penilaian pembelajaran .

Degan demikian kurikulum hanyalah alat bantu agar seorang manusia dapat belajar secara teratur dan kontinu. Jika kita kembali pada polemik kebijakan Kurikulum, sungguh kurikulum bukanlah satu-satunya hal substantive dari pendidikan.

Alangkah bijaknya jika pemerintah lebih menekankan kepada peningkatan kualitas pembelajaran. Guru dan siswa adalah pemeran utama dalam dunia pendidikan formal. Kurikulum sebagus apapun tidak akan berhasil jika guru tidak mampu mentransformasikannya pada pembelajaran di kelas.

Sejarah mencatat bahwa Kurikulum kita berubah-ubah mulai dari kurikulum 1947, kurikulum 1952, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kuri kulum 1984, kurikulum 1994, KBK 2004, KTSP 2006, dan Kurikulum 2013. Dari situ kita dapat melihat bagaimana siswa “produk kurikulum” pada 5-10 tahun berikutnya. Untuk melihat hasil KBK kita lihat saja pada generasi pemuda saat ini yang mengenyam bangku pendidikan pada kisaran tahun 2004. Begitu juga dengan KTSP. Apakah hasilnya baik? Apakah benar genarasi pemuda saat ini sudah menjadi seorang pembelajar? Bagaimana dengan sikapnya?

Pemerintah sebagai pihak yang berwenang mengatur sistem pendidikan hendaknya mampu berpikir jernih dan reflektif atas jawaban pertanyaan di atas. Jangan sampai ada tendensi kepentingan maupun ego golongan. Kurikulum bukanlah sepeda motor yang bisa dimodifikasi semaunya sendiri karena korbannya adalah para siswa. Calon penerus pemerintah yang saat ini berjaya. Jangan sampai siswa yang sekarang menjadi penerus pemerintah yang bingung kelak, jadikanlah siswa saat ini menjadi manusia pembelajar agar kelak menjadi pemerintah yang pembelajar.