Minggu, 29 Maret 2015
On 23.16 by Unknown No comments
Hari sudah sore, saat kami tiba di basecamp pendakian Gunung Sindoro via
kledung, Parakan, Temanggung. Lebih dari 90 motor terparkir di dalam aula basecamp, penuh sampai ke halaman luar.
Diperkirakan lebih dari 500 pendaki sedang menikmati indahnya alam gunung
sindoro. Libur akhir pekan menjadi waktu yang pas untuk mendaki, sehingga tak
heran jika pendakian pada sabtu sore itu benar-benar ramai.
Kabut tebal,
sudah mulai turun ke area basecamp. Suhu turun secara drastis membuat para
pendaki benar-benar kedinginan. Untung kami semua sudah siap tempur, dengan
modal jaket tebal, slayer, sarung tangan, hingga kaos kaki yang digunakan agar
menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sebelum berangkat, kami berempat (saya, fay,
Jodi, dan Nur) packing perlengkapan terlebih dahulu agar carrier yang kami bawa lebih nyaman digunakan. Pendaki lain pun
demikian, mereka packing dulu di masjid dekat basecamp. Ada sekitar 20an pendaki yang siap menaklukkan sindoro
malam itu, termasuk kami.
Pukul 18.40
WIB, kami berempat mulai berjalan menuju pos 1 dibantu penerangan senter
seadanya. Dibelakang kami rombongan bapak-bapak yang berasal dari purwodadi
juga memulai pendakian. Rumah-rumah warga menjadi tanda garis start pendakian.
Batu-batu gunung yang disusun berundak-undak agar tidak licin saat dilewati.
Udara cukup dingin malam itu. Dinginnya udara sedikit teratasi jika kami terus
berjalan. Memang begitu teori pendaki, jika dingin maka berjalanlah, agar tubuh
mengeluarkan kalor.
Rumah warga
telah terlewati, kami mulai masuk kawasan ladang pertanian yang sangat luas. Meskipun
hari sudah malam, sayuran-sayuran di ladang itu agak terlihat. Ada sesin, yang
biasa disajikan dengan mie ayam, ada tomat, cabai rawit, dan lainnya. Bau pupuk
kandang yang bercampur dengan hawa dingin gunung juga ikut tercium selama
perjalanan. Jarak basecamp menuju pos 1 Kurang lebih 3,5km dengan medan yang
tidak terlalu terjal, tapi cukup menanjak. Beberapa pendaki bahkan menggunakan
jasa ojek “ekstrim” untuk mencapai pos 1 dengan hanya membayar 20 ribu rupiah. Beberapa
kali kami “break” untuk mengumpulkan tenaga, serta minum sedikit air. Bagi Nur,
ini adalah pendakiannya yang pertama, jadi selama perjalanan dia sering minta
“break” untuk meregangkan otot-otot kakinya.
Sekitar 500
meter lagi kami sampai pos 1, hujan turun dengan deras. Kami segera menggunakan
mantel dan terus berjalan. Pukul 20.00 kami tiba di pos 1 dengan ketinggian
kurang lebih 1600 mdpl. Banyak pendaki lain yang “break” di bawah saung sederhana yang dibuat khusus untuk tempat
istirahat tukang ojek gunung. Tapi kami tetap melanjutkan perjalanan, karena
kalau berdiam diri, kami jelas kedinginan.
Perjalanan
menuju pos 2, medan yang dilalui mulai menanjak. Beberapa pohon tumbang
menghalangi track pendakian, sehingga tak jarang kami harus menunduk atau
melangkahi pohon-pohon tumbang. Disamping itu Hutan-hutan pinus serta tanaman
paku mengiringi perjalanan kami. Sementara hujan dengan derasnya mengguyur
tubuh kami yang dengan susah payah membawa carrier
berlapis mantel. Sesekali kami “break” untuk sekedar meregangkan pundak yang
pegal membawa carrier, makan snack
dan roti, atau untuk menghabiskan sebatang rokok.
Satu jam kemudian,
kami tiba di pos 2 dengan ketinggian sekitar 2150 mdpl. Disana ada “saung” yang
beratapkan asbes, dan ditopang oleh kayu hutan dengan luas kurang lebih 4 x 4,5
m. kami berempat segera berteduh untuk istiriahat dan meluruskan kaki agar
tidak terlalu tegang. Kurang lebih setengah jam kami istirahat di sana. Makan
snack, minum sedikit air, serta sembari berdiskusi tentang perjalanan kami.
Saya, fay, dan Jodi memiliki background keilmuan Sains, sedangkan Nur, adalah
mahasiswa ushuluddin (ilmu agama). Sehingga saat berdiskusi sering kami
bertukar pikiran tentang sains dan agama, hingga saya berpikiran, “gimana kalau
temen-temen ushuluddin itu membuat artikel/essay tentang agama yang kemudian di
digitalkan sama temen-temen saintek, bisa berupa java, android, atau aplikasi
lainnya” usulku.
Tidak lama
kemudian rombongan bapak-bapak tadi menyusul kami, saat istirahat di pos 2.
Kemudian, rombongan pendaki yang berasal dari solo juga sampai di pos 2.
Akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan pendakian, tidak lupa Jodi memotret
plang pos 2 yang ada di samping saung.
Sekitar
pukul 21.30 WIB, kami melanjutkan pendakian menuju pos 3 dengan track yang lebih
terjal. Batu-batu besar setiggi 1 meter lebih menjadi tantangan yang harus kami
lewati. Hutan pinus pun sudah tidak tampak, yang ada hanya rumput ilalang,
serta sedikit pepohonan besar. Jalan yang terjal, dan menanjak tajam berupa
batu besar membuat kami kehabisan energy. Seringkali Nur, atau Fay minta “break” meskipun baru jalan beberapa
meter. Selama perjalanan menuju pos 3, kami berjumpa dengan beberapa pendaki
lain yang baru turun gunung. “mas pos 3 masih jauh ga ya?” Tanya kami. “lumayan
mas, paling sejam lagi” jawab mereka enteng. Pertanyaan seperti itu yang sering
kami tanyakan. Meskipun terkadang jawaban mereka membuat kami putus asa, saat
mengetahui pos 3 masih jauh.
Belum juga
sampai di pos tiga, tenda-tenda para pendaki banyak kami temukan di sekitar
semak belukar. Mungkin, kami akan kesulitan mencari tempat untuk ngecamp. Dugaanku benar-benar terjadi.
Saat kami sampai di pos 3 pukul 23.40 WIB, puluhan tenda para pendaki sudah
berjajar padat memenuhi tanah-tanah kosong di area pos 3.
Dengan susah
payah, kami mencari lahan untuk ngecamp.
Seluruh area pos 3 kami susuri dengan berpencar. Tapi hasilnya tetap nihil.
Tidak ada lahan yang cukup akomodatif untuk bisa didirikan sebuah tenda
kapasitas 4 orang. Akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian,
dengan harapan selama di perjalanan kami bisa menemukan lahan untuk ngecamp.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kami masih bleum menemukan tempat ngecamp yang akomodatif. Saat itu kami
sudah berada di antara pos 3 dengan hutan lamtoro, sekitar ketinggian 2700
mdpl. Suhu pada dini hari itu, sangat dingin. Kalau kami berdiam diri, kami
akan menggigil. Sedangkan tubuh sudah lelah dan lapar karena sejak siang kami
belum melahap makanan, satu butir nasi sekalipun. Setelah mencari sekitar 30
menit, akhirnya kami memutuskan untuk ngecamp di sebuah tanah berumput
berukuran 4x3,5 m sangat sempit untuk tenda berukuran 4 orang. Dengan pojok
sebelah utara agak curam. Tanah berumput itu berada kurang lebih 2,5 meter di
atas permukaan jalur pendakian dan semak belukar. Dengan tanah yang agak
miring. Jadi kami tidur dengan posisi menurun.
Fay, dan
Jodi mendirikan tenda dengan pintu tenda menghadap jalur pendakian. Saya dan
Nur memasak mie, untuk mengganjal perut yang sangat lapar. Sekitar pukul 01.30
kami baru istirahat, setelah memastikan barang-barang aman dan tenda tertutup
rapat.
Sejuknya
udara pagi hari langsung terasa di hidung kami. Segar dan bau khas pegunungan.
Pukul 05.00 kami bangun dan segera merapihkan tenda. Suhu pada pagi hari itu
sangat dingin. Membuat kami tak henti menggigil kedinginan. Sunrise masih belum muncul. Sedikit demi
sedikit cahaya oranye keluar dari balik punggung Sumbing. Namun awan da kabut
pagi samar samar menutupi cahaya sunrise.
Tapi tetap indah. Gradasi warna yang menyegarkan pagi. Rasa dingin pun mulai
terkurangi saat hangatnya cahaya sunrise
menerpa kulit kami yang pucat. Kami tak mau kehilangan momen, akhirnya kami sedikit
berselfi ria dengan background sunrise
dan Gunung Sumbing. Sungguh indah kawan!. Inilah surga nya para pendaki.
Matahari
sudah beranjak meninggi. Meninggalkan momen sunrise
yang sangat indah. Kami juga sudah selesai packing
dan siap melanjutkan pendakian. Kurang lebih pukul 06.20 kami mulai mendaki
kembali. Track yang dilewati lebih
sulit. Batu-batu besar serta curam harus kami lewati satu persatu dengan tetap
membawa carrier yang cukup
merrepotkan. Pukul 08.00 akhirnya kami tiba di kawasan Hutan Lamtoro (2800
mdpl). Disitu banyak pohon lamtoro tapi tidak terlalu padat, ada beberapa tanah
kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan dengan medan yang agak curam. Tapi
dengan begitu, kami dapat melihat jelas track pendakian di bawah, serta
tegaknya gunung sumbing di depan kami. Melihat kondisi Nur yang kelelahan,
akhirnya kami masak sarapan pagi di kawasan Hutan Lamtoro. Setelah berdiskusi
sejenak, serta merelakan ego pribadi, saya dan Jodi melanjutkan perjalanan
menuju batu tatah. Sedangkan Fay dan Nur masak untuk sarapan di Hutan Lamtoro.
Kami menitipkan carrier ke Fay dan
Nur agar pendakian menuju batu tatah lebih ringan dan cepat.
“kira-kira
berapa lama fan sampe ke batutatah?” Tanya Jodi.
“ya, satu
setengah jam lah jod, kan kita ga bawa carrier,
apalagi lapar pasti ingin cepat naik dan cepat turun he “candaku yang diiringi
tawa mereka.
Dengan bekal
setengah liter air mineral, beberapa potong roti, dan satu bungkus mie instan
saya dan Jodi melanjutkan pendakian. Di jalan, kami sering berpapasan dengan
pendaki lain baik yang naik atau turun gunung. Salah satunya kami berpapasan
dengan “keluarga pendaki” yang terdiri dari Bapak, Ibu, serta tiga orang anak.
Dua orang seumuran remaja, dan satu orang masih balita. Hebat bukan? Sepertinya
si bungsu itu baru berumur 5 tahun. dengan gaya manja nya dia meminta dan
merengek kepada kakaknya agar makanannya di bagikan secara rata. Lucu dan gemas
melihatnya. Sedangkan Ibu dan ayahnya dengan tergopoh-gopoh menyusul
anak-anaknya yang sudah hampir mencapai batu tatah.
“Jod, tu
anak kecil aja bisa, masa kita ga bisa” candaku kepada Jodi yang mulai terlihat
kelelahan.
Kami
akhirnya beristirahat sembari menghabiskan roti tawar dan mie instan yang kami
bawa. Sambil melihat pemandangan sekitar serta keharmonisan “keluarga pendaki”.
Sayang kabut tebal tiba-tiba datang dan menutup pemandangan indah itu. Suhu pun
menjadi sangat dingin. Kita harus segera berjalan.
“Fan, kita
turun aja yu,, aku ga ada motivasi lagi naek. Ditambeh lapar belum sarapan” .
“hehe,,
bilang aja lapar jod, “balasku.
Waktu yang sudah
siang, sekitar pukul 10.00 serta kabut yang semakin tebal memaksa kami untuk
segera turun dan menyantap sarapan yang disiapkan Fay dan Nur. Saat itu kami
baru samai ketinggian sekitar 2870 mdpl. Kami menargetkan agar selepas ashar
sudah sampai di basecamp. Karena
penyewaan tenda dan peralatan lainnya dibatasi hanya sampai malam ini. Kalau
kelewat kami kenda denda.
Hanya
membutuhkan waktu setengah jam, untuk turun kembali ke batu tatah. Dari
kejauhan kami melihat fay dan nur sudah siap menghidangkan sarapan. Nasi putih,
sayur oseng tempe, serta telur dadar dan bumbu pecel. Sangat sedap. Ditambah,
kondisi perut yang sedari kemarin sore sama sekali belum diisi oleh sebutir
nasi pun. Kami berempat makan dengan lahap, sambil memandang gagahnya gunung
Sumbing. Pukul 10.30 kami mengakhiri sarapan yang nikmat, serta merapihkan
barang-barang dan segera menuruni gunung sindoro yang mempesona, meskipun
puncaknya sama sekali tak terlihat.
Selema
menuruni gunung sindoro, kami tidak lupa untuk membawa sampah-sampah non
organic agar tidak mencemari keasrian gunung. Tapi sayang, di area pos tiga
banyak sekali kami temukan sampah-sampah plastic berserkana, bekas bungkus mie,
roti, kopi, susu, dan sampah plastic lainnya. Sungguh sangat mengganggu dan
mencemari. Mungkin mereka inilah yang disebut pendaki “karbitan”. Hanya
menikmati alam, bukan mencintai alam! . semoga pendaki seperti ini tidak
ditemukan di gunung –gunung lainnya.
Hujan besar
menemani kami menuruni pos 3 menuju pos 2. Baru mulai reda saat kami tiba di
pos 1. Badan kami basah kuyup meskipun ditutupi mantel. Kaki serta persendian
mulai terasa ngilu. Nur dan Jodi memutuskan untuk menggunakan ojek, saat
menuruni pos 1 menuju basecamp. Saya dan Fay tetap berjalan sambil menikmati
pemandangan lahan pertanian yang hijau dan segar. Pukul 16.00 kami semua sudah
tiba di basecamp. Sungguh perjalanan yang singkat, namun berkesan. Keindahan
alam gunung Sindoro serta pemandangan gagahnya gunung Sumbing tak kan
terlupakan. Ini juga bentuk kecintaan kami terhadap Indonesia. Kecintaan
terhadap indahnya alam Indonesia. Semoga para pendaki dan pecinta alam tidak
hanya menikmati alam Indonesia, tetapi dengan mencintai alam Indonesia.
Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan slogan. Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai
tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesaia bersama
rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung! (Soe Hok Gie).
Kledung, Parakan Temanggung 21-22 Maret 2015
Irfan, Jodi,
Fay dan Nur
Selasa, 17 Maret 2015
On 21.20 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Senin (16/3) kemarin, saya sempat
iseng menuliskan komentar di status facebook seorang teman yang men-share- sebuah berita tentang kebijakan
pemerintah yang memaksimalkan pajak di berbagai sektor demi menutupi kekurangan
Anggaran dan Pendapatan Nasional (APBN). Beberapa teman pun juga turut
berkomentar, yang akhirnya memunculkan dua lokus pendapat, pertama lokus yang
mengkritik pemerintah, karena banyak ketidakbecusan dalam mengurus negara, kedua lokus yang berpendapat jangan
melulu mengkritik pemerintah, karena pemerintah juga manusia dengan
ketidaksempuraannya.
Tentu menjadi hal yang melegakan
bagi saya, saat masing-masing individu ikut peduli terhadap kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah, meskipun hanya melalui kritik di sosial media. Setidaknya,
dia peka terhadap kinerja kepemerintahan Kabinet Kerja yang kini dipimpin oleh
Yang Terhormat Bapak Joko Widodo. Hal ini membuktikan bahwa pengawasan terhadap
kinerja pemerintah diawasi oleh dua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia maya.
Bentuk pengawasan berupa kritik yang disampaikan melalui tulisan, petisi,
hingga aksi adalah salah satu bagian penting dari tegaknya demokrasi di sebuah
Negara.
Demokrasi di Indonesia
Seperti kita ketahui bersama, secara
normative demokrasi sudah ada sejak kemerdekaan sebut saja demokrasi liberal
dan demokrasi termpimpin-nya Soekarno, serta demokrasi pancasila yang
melahirkan kempemimpinan otokratik Soehrato. Namun secara substansial demokrasi
di Indonesia berjalan sejak runtuhnya rezim soeharto pada tahun 1998. Ditandai
dengan adanya pemilihan umum yang regular, partisipasi rakyat pemilih melalui
partai, pembuatan undang-undang melalui legislator, serta pengawasan kinerja
cabinet melalui lembaga pemerintahan. Dengan demikian demokrasi bukanlah barang
yang baru bagi negeri ini.
Waktu pun membuktikan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah banyak diuji. Kebebasan sipil yang hampir
terenggut, saat akhir periode pemerintahan otokratis Soeharto yang
mendiskreditkan etnis keturunan tionghoa, kini tak tampak lagi. Bahkan salah
satu warga keturunan tionghoa, kini sudah memimpin Jakarta. Fenomena Terorisme
di Indonesia juga sempat mewarnai ujian dari demokrasi, bahkan hingga munculnya
usaha-usaha pendirian Negara Islam Indonesia (NII) dan Negara Islam Irak dan
Suriah (NIIS), demokrasi tetap bertahan di negeri ini. Tak heran saat Freedom
House, sebuah lembaga penelitian Amerika yang memetakan keberhasilan
pelaksanaan demokrasi di sebuah Negara, mengatakan bahwa Indonesia adalah salah
satu Negara berkembang yang berhasil dalam menjalankan demokrasi.
Demokrasi Era Digital
Kini demokrasi di Indonesia, di uji
kembali dengan hadirnya Era digital. Era dimana segala bentuk teknologi di
format menjadi digital. Hadirnya berbagai jenis gawai denga macam-macam operating system yang memberi kemudahan
kepada kita untuk mengakses berbagai informasi ternyata memberi warna baru bagi
proses berjalannya demokrasi.
Masyarakat dengan mudah bisa
mengkritik pemerintah melalui status maupun meme yang dibuat se-kocak-
mungkin
di sosial media. Respon masyarakat yang sudah melek digital tak perlu diragukan
lagi dalam menanggapi setiap kebijakan pemerintah. Bullying yang dikemas dalam bentuk gambar pun kerap hadir di
tengah-tengah sosial media yang digunakan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan
pemerintah hingga setiap prilaku dari para pejabat pemerintah.
Bayangkan saja, menurut sebuah
survey yang disiarkan Bloomberg Tv Indonesia, menemukan bahwa Indonesia sudah
memiliki lebih dari 70 juta orang pengguna gawai/smartphone yang biasa
mengakses sosial media baik itu facebook, twitter, instagram, path, Whatsapp,
dan lainnya. Artinya, setiap informasi tentang kebijakan pemerintah sangat
mudah untuk dikritisi melalui wahana sosial media. Interaksi yang melibatkan
lebih dari 70 juta orang, membuat ruang diskursus baru yang bisa memunculkan opini
publik baik konstruktif maupun destruktif di tengah masyarakat dunia maya. Sehingga
muncul lah istilah “netizen” yang menjadi representasi “citizen” dengan proses interaksi
sosial yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Masyarakat yang berada di ujung
Barat Indonesia-Aceh- dengan sangat mudah berinteraksi maupun berkonsolidasi
dengan masyarakat di Ujung Timur –Papua- melalui sosial media. Bahkan tidak
sedikit warga Indonesia yang berinteraksi dengan masyarakat internasional juga
melalui sosial media.
Memang benar apa yang dikatakan
oleh Don Tapscott dalam artikelnya yang berjudul “Is the Digital Economy Still a Capitalist Economy?”, bahwa revolusi
sosial media sudah merambah ke berbagai sector kehidupan manusia.” The social media revolution is transforming
the way we create wealth, work, learn, play, raise our children, and probabliy
even the way we think.” Dengan
demikian, hadirnya era digital yang ditandai dengan maraknya penggunaan sosial
media mampu merubah tatanan sosial dalam sekejap.
Oleh karena itu, kiranya pemerintah
bisa melihat Demokrasi pada Era digital ini sebagai sebuah peluang. Peluang
dimana ruang diskursus semakin terbuka lebar, pemerintah bisa meminta kritik
dan saran tanpa harus bertemu langsung dengan warganya. Sosialisasi setiap
kebijakan pemerintah juga mudah dilakukan melalui dunia maya. Namun, pemeritah
juga harus siap menghadapi bullying
saat ucapan, tindakan, maupun keputusannya kontradiktif dengan kesejahteraan
masyarakat.
Tentu banyak sekali pekerjaan rumah
yang harus segera di selesaikan oleh pemerintah. KPK yang untuk kesekian
kalinya di tempa badai pelemahan oleh sesama lembaga Negara harus diperkuat dan
didukung oleh pemerintah selama tindakan yang diambil KPK tidak bertentangan
dengan konstitusi. Janji kampanye Jokowi yang akan memaksimalkan pemberantasan
korupsi selama masa jabatanya, semoga tidak hanya manis di bibir saja. Penurunan
nilai tukar mata uang rupiah yang nyaman berada di kisaran Rp.13.200,- juga harus
ditindak secepatnya karena menyangkut hajat orang banyak. Para pelaku usaha
mulai was-was dan cemas dengan keadaan ini. Jangan sampai kita mengulang
kembali krisis moneter yang terjadi 17 tahun silam.
Pendidikan moral demi menopang tegaknya
gagasan revolusi mental juga tidak menemui kejelasan. Aksi amoral dari para
pelajar dalam bentuk tawuran, geng motor, kejahatan seksual, hingga pembegalan
sudah cukup untuk dijadikan sebuah realitas kebobrokan moral sebagian anak-anak
Indonesia. Inilah yang harus segera di revolusi oleh pemerintah. Semoga apa
yang tertulis dalam Nawacita bukanlah hanya sebuah gagasan, namun harus menjadi
tindakan yang harus diwujudkan demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan di
tengah masyarakat Indonesia.
Peran kita sebagai masyarakat
jangan hanya menonton dan berpangku tangan. Hal kecil yang dapat dilakukan
adalah dengan mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontraproduktif
dengan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah yang mengeluarkan kebijakan
kontraproduktif adalah sebuah kedzaliman bahkan kemunkaran. Ingat isi sebuah
hadis shahih, bahwa jika kamu melihat sebuah kemunkaran maka rubahlah dengan
tanganmu, jika tidak sanggup maka rubahlah dengan ucapanmu, dan jika tidak
sanggup rubahlah dengan hatimu. Tetapi merubah dengan hati ialah
serendah-rendahnya iman. Tindakan apatis dan mementingkan diri itulah
serendah-rendahnya iman.
Pemerintah adalah pemimpin/khalifah.
jika benar wajib kita dukung, jika salah wajib kita kritik, jika ngeyel wajib
kita turunkan ! Karena Negara ini bukan milik mereka yang duduk di istana, parlemen,
atau meja sidang. Negara ini milik kita, rakyat Indonesia.
Wallahu a’alam.
Langganan:
Postingan (Atom)