sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Selasa, 17 Maret 2015

On 21.20 by Unknown   No comments



Oleh Irfan Fauzi
 
Senin (16/3) kemarin, saya sempat iseng menuliskan komentar di status facebook seorang teman yang men-share- sebuah berita tentang kebijakan pemerintah yang memaksimalkan pajak di berbagai sektor demi menutupi kekurangan Anggaran dan Pendapatan Nasional (APBN). Beberapa teman pun juga turut berkomentar, yang akhirnya memunculkan dua lokus pendapat, pertama  lokus yang mengkritik pemerintah, karena banyak ketidakbecusan dalam mengurus negara, kedua lokus yang berpendapat jangan melulu mengkritik pemerintah, karena pemerintah juga manusia dengan ketidaksempuraannya.

Tentu menjadi hal yang melegakan bagi saya, saat masing-masing individu ikut peduli terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, meskipun hanya melalui kritik di sosial media. Setidaknya, dia peka terhadap kinerja kepemerintahan Kabinet Kerja yang kini dipimpin oleh Yang Terhormat Bapak Joko Widodo. Hal ini membuktikan bahwa pengawasan terhadap kinerja pemerintah diawasi oleh dua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia maya. Bentuk pengawasan berupa kritik yang disampaikan melalui tulisan, petisi, hingga aksi adalah salah satu bagian penting dari tegaknya demokrasi di sebuah Negara.

Demokrasi di Indonesia

Seperti kita ketahui bersama, secara normative demokrasi sudah ada sejak kemerdekaan sebut saja demokrasi liberal dan demokrasi termpimpin-nya Soekarno, serta demokrasi pancasila yang melahirkan kempemimpinan otokratik Soehrato. Namun secara substansial demokrasi di Indonesia berjalan sejak runtuhnya rezim soeharto pada tahun 1998. Ditandai dengan adanya pemilihan umum yang regular, partisipasi rakyat pemilih melalui partai, pembuatan undang-undang melalui legislator, serta pengawasan kinerja cabinet melalui lembaga pemerintahan. Dengan demikian demokrasi bukanlah barang yang baru bagi negeri ini.

Waktu pun membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia sudah banyak diuji. Kebebasan sipil yang hampir terenggut, saat akhir periode pemerintahan otokratis Soeharto yang mendiskreditkan etnis keturunan tionghoa, kini tak tampak lagi. Bahkan salah satu warga keturunan tionghoa, kini sudah memimpin Jakarta. Fenomena Terorisme di Indonesia juga sempat mewarnai ujian dari demokrasi, bahkan hingga munculnya usaha-usaha pendirian Negara Islam Indonesia (NII) dan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS), demokrasi tetap bertahan di negeri ini. Tak heran saat Freedom House, sebuah lembaga penelitian Amerika yang memetakan keberhasilan pelaksanaan demokrasi di sebuah Negara, mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara berkembang yang berhasil dalam menjalankan demokrasi.

           
Demokrasi Era Digital

Kini demokrasi di Indonesia, di uji kembali dengan hadirnya Era digital. Era dimana segala bentuk teknologi di format menjadi digital. Hadirnya berbagai jenis gawai denga macam-macam operating system yang memberi kemudahan kepada kita untuk mengakses berbagai informasi ternyata memberi warna baru bagi proses berjalannya demokrasi.

Masyarakat dengan mudah bisa mengkritik pemerintah melalui status maupun meme yang dibuat se-kocak- 
mungkin di sosial media. Respon masyarakat yang sudah melek digital tak perlu diragukan lagi dalam menanggapi setiap kebijakan pemerintah. Bullying yang dikemas dalam bentuk gambar pun kerap hadir di tengah-tengah sosial media yang digunakan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah hingga setiap prilaku dari para pejabat pemerintah.

Bayangkan saja, menurut sebuah survey yang disiarkan Bloomberg Tv Indonesia, menemukan bahwa Indonesia sudah memiliki lebih dari 70 juta orang pengguna gawai/smartphone yang biasa mengakses sosial media baik itu facebook, twitter, instagram, path, Whatsapp, dan lainnya. Artinya, setiap informasi tentang kebijakan pemerintah sangat mudah untuk dikritisi melalui wahana sosial media. Interaksi yang melibatkan lebih dari 70 juta orang, membuat ruang diskursus baru yang bisa memunculkan opini publik baik konstruktif maupun destruktif di tengah masyarakat dunia maya. Sehingga muncul lah istilah “netizen” yang menjadi representasi “citizen” dengan proses interaksi sosial yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Masyarakat yang berada di ujung Barat Indonesia-Aceh- dengan sangat mudah berinteraksi maupun berkonsolidasi dengan masyarakat di Ujung Timur –Papua- melalui sosial media. Bahkan tidak sedikit warga Indonesia yang berinteraksi dengan masyarakat internasional juga melalui sosial media.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Don Tapscott dalam artikelnya yang berjudul “Is the Digital Economy Still a Capitalist Economy?”, bahwa revolusi sosial media sudah merambah ke berbagai sector kehidupan manusia.” The social media revolution is transforming the way we create wealth, work, learn, play, raise our children, and probabliy even the way we think.”  Dengan demikian, hadirnya era digital yang ditandai dengan maraknya penggunaan sosial media mampu merubah tatanan sosial dalam sekejap. 

Oleh karena itu, kiranya pemerintah bisa melihat Demokrasi pada Era digital ini sebagai sebuah peluang. Peluang dimana ruang diskursus semakin terbuka lebar, pemerintah bisa meminta kritik dan saran tanpa harus bertemu langsung dengan warganya. Sosialisasi setiap kebijakan pemerintah juga mudah dilakukan melalui dunia maya. Namun, pemeritah juga harus siap menghadapi bullying saat ucapan, tindakan, maupun keputusannya kontradiktif dengan kesejahteraan masyarakat.

Tentu banyak sekali pekerjaan rumah yang harus segera di selesaikan oleh pemerintah. KPK yang untuk kesekian kalinya di tempa badai pelemahan oleh sesama lembaga Negara harus diperkuat dan didukung oleh pemerintah selama tindakan yang diambil KPK tidak bertentangan dengan konstitusi. Janji kampanye Jokowi yang akan memaksimalkan pemberantasan korupsi selama masa jabatanya, semoga tidak hanya manis di bibir saja. Penurunan nilai tukar mata uang rupiah yang nyaman berada di kisaran Rp.13.200,- juga harus ditindak secepatnya karena menyangkut hajat orang banyak. Para pelaku usaha mulai was-was dan cemas dengan keadaan ini. Jangan sampai kita mengulang kembali krisis moneter yang terjadi 17 tahun silam.

Pendidikan moral demi menopang tegaknya gagasan revolusi mental juga tidak menemui kejelasan. Aksi amoral dari para pelajar dalam bentuk tawuran, geng motor, kejahatan seksual, hingga pembegalan sudah cukup untuk dijadikan sebuah realitas kebobrokan moral sebagian anak-anak Indonesia. Inilah yang harus segera di revolusi oleh pemerintah. Semoga apa yang tertulis dalam Nawacita bukanlah hanya sebuah gagasan, namun harus menjadi tindakan yang harus diwujudkan demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan di tengah masyarakat Indonesia.

Peran kita sebagai masyarakat jangan hanya menonton dan berpangku tangan. Hal kecil yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontraproduktif dengan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah yang mengeluarkan kebijakan kontraproduktif adalah sebuah kedzaliman bahkan kemunkaran. Ingat isi sebuah hadis shahih, bahwa jika kamu melihat sebuah kemunkaran maka rubahlah dengan tanganmu, jika tidak sanggup maka rubahlah dengan ucapanmu, dan jika tidak sanggup rubahlah dengan hatimu. Tetapi merubah dengan hati ialah serendah-rendahnya iman. Tindakan apatis dan mementingkan diri itulah serendah-rendahnya iman.

Pemerintah adalah pemimpin/khalifah. jika benar wajib kita dukung, jika salah wajib kita kritik, jika ngeyel wajib kita turunkan ! Karena Negara ini bukan milik mereka yang duduk di istana, parlemen, atau meja sidang. Negara ini milik kita, rakyat Indonesia.
Wallahu a’alam.

0 komentar:

Posting Komentar