Sabtu, 30 Mei 2015
On 23.32 by Unknown No comments
Perjalanan bagi saya adalah
sebuah proses mendewasakan sikap, hati dan lisan. Dalam setiap perjalanan saya
pasti menemui sesuatu yang baru yang ada di dunia luar. Seperti yang terjadi
pada Sabtu (16/5) saat saya dan kawan kos melakukan perjalanan yang unpredictable. Saya, Yudi dan Bang Mido
tanpa sedikit pun rencana bepergian tiba-tiba memutuskan untuk melancong ke
Malang. Bang Mido bilang sesuatu yang tak direncakan selalu menyimpan
kejutan-kejutan pengalaman bagi kita. Saya sedikit sepakat meskipun banyak tidak
sepakatnya dengan ucapannya, karena tidak semua hal harus “tidak direncanakan”.
Setelah Dhuhur, kami bertiga
mengendarai motor menuju arah Malang. Menuju Malang dari arah Pare, Kediri
cukup memakan waktu satu jam perjalanan dan kita sudah bisa merasakan sejuknya
Kabupaten Malang. Jujur, ini pertama kali saya memasuki kawasan Kabupaten dan
Kota Malang. Saya sangat excited
untuk segera menyaksikan indahnya pemandangan di Malang. Dari arah Pare kita
cukup mengikuti rute ke arah Kabupaten Malang. Setelah itu hanya jalan lurus
dan sedikit berkelok yang kita temui. Setelah melewati perbatasan Kabupaten
Malang dan Kabupaten Kediri jalan sudah mulai menanjak sedikit curam dan
berkelok. Bis dan Truk biasanya jalan pelan saat melalui jalan ini. Suhu di
daerah sini mulai terasa sejuk. Pemandangan rumah-rumah warga pun berganti
dengan hamparan sawah hijau yang berundak terasering
yang berbaris rapih. Setiap ujung sawah selalu ada pohon kelapa yang menjulang
tinggi untuk membatasi area sawah dan sungai.
Sekitar pukul setengah tiga
sore Bang Mido sudah menghentikan laju motornya dan mampir di sebuah pondokan
Duren yang terletak tepat di pinggir jalan dan membelakangi sawah-sawah.
Ternyata mbak-mbak penjual duren itu adalah salah satu kenalan wanitanya di
Malang. Sejam lebih kami menghabiskan waktu di pondokan mbak duren. Makan dua
buah duren sudah cukup membuat puas, ditambah ada ketan dan kolek duren.
Maknyus. Kami makan sambil memandangi pemandangan khas persawahan Kabupaten
Malang. Pukul empat sore lebih, setelah mendirikan shalat Ashar kami
melanjutkan perjalanan menuju arah Kota Batu.
Trek menuju kota Batu juga
berkelok-kelok dengan sedikit tanjakan. Tapi, pemandangan yang ada di
sisi-sisinya lebih indah dari sebelumnya. Suhu yang sejuk serta pemandangan
berupa sawah-sawah yang sudah menguning benar-benar memanjakan mata kami.
Sesekali saya menoleh ke samping, meskipun sebenarnya berbahaya dilakukan saat
mengendarai motor. Persawahan yang saya lihat benar-benar berbeda. Meskipun tetap
berbentuk terasering, tapi karena sawah yang sudah menguning serta disinari
oleh cahaya sore matahari membuat sawah benar-benar berkilau. Belum lagi suara
aliran air sungai berbatu yang membatasi antara jalan dan areal persawahan
benar-benar menggoda untuk disinggahi dan dinikmati kesegarannya.
Di sekitar jalan antara
Kabupaten Malang dan Kota Batu, saya menemui beberapa tempat wisata alam. Ada
waduk selorejo, yang sangat luas dan tampak dari jalan raya. Menurut seorang
teman, jika kita mengunjungi waduk itu, kita bisa menaiki perahu yang sudah
tersedia disana yang dapat dinaiki oleh 7-8 orang. Perahu itu akan membawa kita
ke tengah-tengah waduk untuk menikmati indahnya suasana sore di tengah waduk.
Sayang, saat itu kami tidak berkesempatan untuk mengunjungi waduk tersebut.
Tidak jauh dari waduk, ada tempat wisata coban sewu. Yaitu air terjun dengan
ketinggian kurang lebih 7-8 meter yang juga tampak dari jalan. Hanya dibatasi
oleh sungai berbatu dan area persawahan. Tapi kami tetap melaju menuju kota
Batu.
Memasuki kawasan Kota Batu, suara-suara
serangga khas pegunungan mulai terdengar bersahutan. Kala itu hari sudah mulai
gelap. Menyisakan remang-remang lampu jalanan sebagai penerangan malam di jalan
raya Malang-Batu. Udara mulai berubah dari sejuk menjadi dingin. Dari sisi-sisi
jalan, tampak kawasan pemukiman Songgoriti jauh di bawah kami. Karena kami
sedang berada di sisi-sisi lereng gunung, sedangkan menuju kawasan Songgoriti
kami harus menuruni lereng gunung ini.
Sekitar pukul setengah enam
sore, kami sudah dekat dengan kawasan wisata Songgoriti. Kelap kelip lampu
pemukiman di Songgoriti benar-benar indah jika dilihat dari atas lereng gunung.
Motor kami terus melaju dengan kecepatan konstan, hingga mulai melambat saat
memasuki pertigaan Songgoriti. Tampak beberapa belas pramuwisata yang sedang
mangkal mencari pelanggan, untuk diantar ke penginapan-penginapan di kawasan
Songgoriti. Kami pun mengambil jalur sebelah kiri dan belok tepat di pertigaan
itu. Dari pertigaan kurang lebih setengah jam kami sudah menaiki kembali jalan
menanjak menuju lereng paralayang. Mungkin karena saat itu malam minggu,
jalanan begitu ramai dan padat. Padahal cuaca sore itu benar-benar dingin.
Untuk masuk lereng
paralayang, kami dikenai tiket masuk sebesar Rp. 5000 untuk satu orang, dan
tiket parkir Rp.5000 untuk satu motor. Trek menuju parkiran wisata lereng
paralayang cukup menantang. Jalan tanah, berkerikil, serta menanjak harus
dilewati. Jika tidak hati-hati ban motor akan selip dan penumpangnya tergelincir.
Sesampai di parkiran, adzan magrib sudah berkumandang, udara semakin dingin,dan
kabut tipis mulai turun. Kami memutuskan untuk menangguhkan shalat dan
men-Jama’nya di waktu isya.
Suasana malam itu begitu
padat, banyak pengunjung yang sedang menikmati indahnya suasana malam kota Batu
dilihat dari bukit paralayang. Biasanya kalau siang hari ada beberapa penerjun
payung yang beraksi dan lompat dari bukit ini. Menurut seorang teman juga,
setiap penejun payung hanya dikenakan biaya Rp. 300.000,- dan sudah ditemani
pemandu cukup murah bukan? . Disamping itu, jika kita turun sedikit ke arah
samping bawah bukit paralayang, kita akan menemukan beberapa rumah pohon yang
terbuat murni dari kayu dan terletak di atas ketinggian 5-6 meter dari pangkal
pohon. Sayangnya, saat kami coba kesana, hari sudah gelap dan kunjungan wisata
rumah pohon pun ditutup. Kebetulan juga malam itu rumah pohon sudah di boking
oleh beberapa pengunjung.
Meski demikian, kami tidak
lantas kecewa karena sudah menyambangi bukit paralayang. Kelap kelip lampu
rumah, mobil dan motor para warga Kota Batu sungguh terlihat seperti bintang
yang ada di bawah kami. Bukit ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan bukit Bintang
yang ada di Yogyakarta. Selain itu lahan landai yang cukup luas dijadikan
tempat favorit bagi para pengunjung untunk berfoto ria. Tentu kami juga tak
melewatkan kesempatan berfoto bersama.
Setelah puas kedinginan di
bukit paralayang, kami segera meluncur turun menuju Kota Malang. Butuh waktu
sekitar satu jam dari Bukit Paralayang menuju Kota Malang. Memasuki kota Malang,
cuaca tidak sedingin saat berada di Kota Batu, tapi tetap tidak mengurangi
kesejukan kota Malang. Arus lalu lintas saat itu, semakin malam semakin padat.
Terlebih pada malam minggu. Mulai dari lampu merah setelah Museum Angkut sampai
ke tugu perbatasan kota Malang, mobil-mobil pribadi terjebak macet. Untung,
kami bertiga mengendarai sepeda motor yang selalu bisa selap selip meskipun di
jalan sempit.
Kurang lebih pukul delapan
malam, kami singgah di sebuah warung nasi goreng tepat depan pom bensin dekat kampus
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Memesan tiga porsi nasi goreng telor dan
tiga teh angat, cukup untuk mengganjal perut yang lapar. sembari menunggu nasi
goreng dibuat, saya dan Yudi pergi ke mushola pom bensin untuk men-jama- shalat
magrib dan Isya. Selepas itu, barulah kami menyantap nasi goreng Malang,
meskipun bukan khas Malang-karena rasanya seperti nasi goreng pada umumnya-.
Kami tidak berlama-lama
“nongkrong” di Nasi Goreng dekat UMM. Setelah bertanya-tanya kepada warga
sekitar, kami melanjutkan perjalanan menuju balaikota Malang. Kami memacu motor
cukup santai, melewati keramaian-keramaian kota Malang. Beberapa Kampus tampak
sepi di malam hari, tapi Mall, supermarket, dan cafe tampak bergairah di malam
minggu yang cerah itu. Pukul setengah 10 kami sampai di Balaikota Malang.
Di depan balaikota Malang
terdapat pancoran air yang kebetulan tidak mancur. Disekeliling pancoran
dipenuhi oleh taman bunga dan taman lampu serta spot-spot nongkrong. Suasana di
sekitar balaikota benar-benar hidup. Pemuda pemudi banyak bercengkrama di
sekitar taman balaikota. Tidak jauh dari bunderan taman balaikota, ada cafe
dengan live musicnya. Beberapa restoran juga masih buka meskipun sudah hampir
jam 10 malam. Beberapa mahasiswa menjajakan bunga mawar kepada kami. Kelak uang
hasil penjualan disumbangkan untuk dana sosial. Ada juga pengamen yang mondar
mandir memetik gitar dan bernyanyi sedikit sumbang. Yang jelas, malam itu
balaikota benar-benar ramai.
Waktu sudah menunjukkan
pukul setengah 11 malam. Setelah menikmati indahnya suasana malam balaikota
Malang, dan sedikit cuci mata, kami memutuskan untuk nongkrong lagi di bhaswara
cafe tepat di sebrang bunderan balaikota. Live musicnya membuat kami betah
menghabiskan sebotol air disana. Lagu yang dimainkan macam-macam, mulai dari
pop indo, melayu, lagu-lagu bergenre Iwan Fals, hingga pop-rock barat. Petikan
gitar dan ketukan bass yang harmonis, membuat malam begitu sayang untuk
dilewati begitu saja. Kami pun larut dalam suasana musikal di Bhaswara cafe.
Bang Mido, kawan kos kami,
sebenarnya juga seorang vokalis sebuah band Indie di Semarang. Oh ya, dia juga
garap konser musik melalui EO-nya di Semarang. Untuk itu,kami paksa Bang Mido
agar turut menymbangkan satu- dua lagu di cafe tersebut. Tapi, sampai kafe
hampir tutup, dia belum juga menyanyi bersama para pengiring musik itu. Pukul
satu pagi, kami bergegas meninggalkan Bhaswara Cafe dan mencari tempat
berteduh, tepatnya tempat tidur darurat, he. Malam itu kami tidak menginap di
tempat kawan atau menginap di hotel. Kami sengaja untuk mencari tempat tidur
“darurat”. Setelah lama berputar-putar di kawasan Balaikota, stasiun Malang,
hingga kampus UM dan UIN Malang, akhirnya kami menemukan spot untuk tempat
tidur darurat. Tempat itu adalah Wifi Corner. Cukup lumayan untuk dijadikan
tempat rehat, walau hanya ada bangku dan meja.
Mata yang makin berat untuk
terjaga serta tubuh yang lelah memaksa kami untuk segera tidur meskipun
alakadarnya. Yudi dan Bang Mido tidur di pojok area wifi corner. Sedangkan saya
tidur di bangku tengah area wifi corner. Meskipun suara para pengunjung
wificorner cukup mengganggu, tapi kami tetap bisa fokus untuk langsung terlelap
tidur. Bahkan cuaca yang cukup dingin tak mampu menahan kami untuk terjaga. Dini
hari itu, kami istirahat sejenak.
Suara adzan Subuh mulai
terdengar mengusik “tidur darurat” kami. Udara dingin, saat subuh berkurang
secara perlahan. Baru pukul setengah enam pagi, kami bergegas mencari masjid.
Akhirnya, masjid UIN Malang menjadi opsi tepat untuk mendirikan shalat,
walaupun telat.
Selepas sarapan, kami
bertiga menuju Car Free Day di dekat gereja besar Kota Malang. Jalan yang
dijadikan Car Free Day cukup panjang, kurang lebih 1 km. Di setiap sisinya
dipenuhi pedagang yang menjual macam-macam barang. Ada yang menjual kaos,
kemeja, jaket hingga koleksi mini dari tokoh film kartun yang di jajakan
melalui mobil-mobil pribadi mereka. Ada juga yang jualan dengan media lesehan
atau menggunakan meja kecil. Biasanya mereka menjaul makanan dan minuman
ringan. Ada juga yang berjual keliling menjajakan mainan, makanan atau minuman.
CFD Malang berlangsung setiak
hari Minggu pagi, pada pukul 05.00 – 10.00 WIB. Sehingga pada jam jam tersebut
jalanan dipenuhi para pejalan kaki, baik anak-anak, remaja, hingga kakek nenek
semuanya berkumpul di CFD untuk menikmati pagi di setiap weekendnya. Suasana di
CFD begitu ramai, tapi tidak terlalu sesak karena jalan yang dijadikan objek
CFD cukup luas. Yang jelas suasana kegiatan perekonomian di CFD sangat terasa.
Menjelang pukulu 10.00 WIB,
Yudi mengajak kami untuk menemui salah seorang kenalannya di Kota Malang.
Akhirnya kami bertiga pun menemui kenalan si Yudi dan sarapan bareng di sebuah
mini resto, Tentu saja, kami ditraktir he. Setelah sarapan kami memutuskan
untuk kembali ke Wifi Corner untuk sekedar istirahat dan men-charge HP kami. Barulah pada pukul 13.00
WIB kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Kota Batu.
Kami sampai di kawasan
Songgoriti, Batu sekitar pukul 15.00 WIB kemudian melepas penat sambil
menikmati semangkuk Bakso (di Malang dan Kediri Bakso biasanya disebut Pentol)
di pertigaan Indomaret setelah melewati kawasan Songgoriti. Rasanya cukup
lumayan untuk mengganjal perut yang lapar hanya dengan Rp.8000,-. Itu sudah 1 ½
porsi lho.
Setengah jam kemudian, kami
sudah meluncur lagi ke arah Kabupaten Malang sekaligus pulang. Awalnya kami
ingin berkunjung ke Coban Rondo, menurut seorang teman, Coban Rondo ini adalah
air terjun tertinggi di Malang. Tapi saat itu kami melewatinya begitu saja,
karena kami memang tidak tau letak Coban Rondo berada. Sekitar 12 Km dari Coban
Rondo menuju arah kediri, ada wisata air terjun yang tidak kalah indahnya
dengan Coban Rondo, yaitu Coban Sewu.
Untuk menuju Air terjun
Coban Sewu kita bisa memarkir kendaraan di halaman SD sebrang jalan. Kemudian,
kita melewati sebuah jembatan gantung yang melintas di antara sungai yang
memisahkan antara jalan dan kawasan air terjun. Dari situ kita akan melewati
jalan setapak berupa pematang sawah kemudian Masuk wisata ini sangat murah,
hanya dengan Rp.2000,- untuk biaya parkir kita sudah bisa menikmati Coban Sewu.
Suasana sejuk langsung
menyambut kedatangan kami di Coban Sewu. Percikan air terjun terus menerus
membasahi bebatuan dan tanaman di sekitarnya. Angin bercampur percikan air
hasil dari jatuhnya air terjun cukup kencang untuk membuat tubuh kedinginan.
Tak butuh waktu lama, kami langsung nyebur dan merasakan dingin dan sejuknya
air Coban Sewu. Tak banyak pengunjung di sana, meskipun saat hari-hari weekend.
Mungkin karena wisata ini belum banyak yang tau. Akhirnya sore itu air terjun
serasa milik kami bertiga. Air terjun ini tingginya kurang lebih 6-7 meter.
Debit air yang jatuh cukup deras membuat tanaman di sekitar air terjun tumbuh
subur.
Langit yang sudah mulai
gelap menjelang magrib membuat kami harus bergegas mengeringkan tubuh dan harus
rela meninggalkan keindahan Air terjun Coban Sewu. Barulah pada pukul 18.30
kami kembali menuju parkiran dan memacu motor untuk segera pulang ke Pare dengan hati yang puas dan fisik yang cukup lelah.
Dari perjalanan ini saya
belajar bahwa meskipun tanpa perencanaan kami bisa menikmati berbagai macam
wisata yang indah dan tidak terpikirkan sebelumnya. Meskipun demikian,
perencanaan yang matang akan membawa kelancaran dalam setiap kegiatan.Sekian,
sampai jumpa kembali Malang.
Selasa, 19 Mei 2015
On 07.01 by Unknown No comments
Sabtu Siang (2/5/2015) saya diajak oleh seorang kawan
untuk main ke rumahnya, di kota Blitar yang terletak sekitar 90 Km dari Pare.
Ada tujuh orang yang siap memulai petualangan di Kota Blitar. Saya, Yudi, Yoni,
Mr. Maro, Abud, Fitri, dan Lina. Kami adalah teman satu Kelas di Program TOEFL
ITP di ELFAST.
Perjalanan menuju Blitar cukup ditempuh dalam waktu
1,5 -2 Jam menggunakan motor dengan kecepatan standar. Kurang lebih pukul lima
sore, kami tiba di Rumah Yoni. Rumahnya cukup besar dengan kamar tidur yang
banyak. Kami pun serasa berada di rumah sendiri, karena di rumahnya saat itu
hanya ada adiknya sehingga rumah sebesar itu lebih dari cukup untuk kami
tempati.
Kami mulai menelusuri Blitar, pada keesokan harinya,
kurang lebih pukul 8 pagi kami sudah bergegas menuju Pantai Tambakudang yang
berada di ujung selatan Kabupaten Blitar. Perjalanan menuju Pantai, dari Kota
Blitar kurang lebih memakan waktu satu jam. Dengan medan yang cukup menantang.
Jalan yang bergelombang serta dipenuhi tanjakan dan turunan karena Pantai
terletak di balik bukit. Meskipun demikian, pemandangan yang indah berupa bukit
hijau yang ditumbuhi rumput alang-alang lebat khas pantai mampu mengurangi
kejenuhan selama perjalanan. Kurang lebih satu jam, kami sudah bisa merasakan
basahnya pasir putih Pantai Tambakudang. Untuk masuk pantai ini, kita cukup
membayar kurang lebih Rp. 7000 sudah termasuk motor dan tiket masuk 1 orang.
Pantai ini, cukup banyak menarik wisatawan lokal baik
dari blitar maupun dari luar kota Blitar. Sehingga saat-saat weekend, akan
selalu dipenuhi oleh para wisatawan. Yoni, mengajak kami untuk tidak sekedar
menikmati Pantai Tambakudang, tapi juga pantai yang berada di sebelahnya. Terik
matahari belum terlalu panas, saat kami menyeberangi sungai kecil dan berjalan
melewati bukit yang membatasi pantai tambakudang dan hidden paradise dari pantai ini. Kita hanya perlu berjalan sekitar
2-3km dengan medan tanah merah dan sedikit bebatuan, kita sudah bisa menikmati
indahnya “tetangga” dari pantai Tambakudang.
Deretan pasir putih, yang dibatasi bukit berbatu yang
senantiasa diterjang ombak menjadi pemandangan yang mempesona dari atas bukit
ini. Sepertinya, belum terlalu banyak wisatawan yang datang, karena untuk
mencapai pantai ini kita harus melewati sedikit track bukit berbatu.
Tanpa dikomandoi lagi, teman-teman sudah langsung
turun dan “nyebur” berbaur dengan deburan ombak sang pantai. Tidak lupa juga
kami mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama, mungkin lebh tepat disebut
“berselfie bersama”. Memang untuk urusan selfie ini sepertinya tidak pernah mengenal
usia, buktinya Mr. Maro yang sudah tidak muda lagi, dibandingkan kami, hehe
selalu semangat dan terdepan dalam berselfie ria. Tapi, tak apa yang penting
kami bisa tertawa dan melepas penat bersama setelah kurang lebih satu bulan
mempelajari grammar dan TOEFL. Saat terik matahari sudah mulai di atas kepala,
saat itulah kami harus meninggalkan keindahan pantai tambakudang.
Perjalanan selanjutnya yaitu menuju makam Bung Karno
yang terletak di kota Blitar, dari pantai membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.
Tapi sebelumnya, kami mampir di area wisata kuliner yaitu kampung coklat. Kami
tidak berlama-lama di kampung coklat, hanya membeli sedikit coklat lalu makan
siang dan langsung menuju makam Bung Karno.
Mendekati makam Bung Karno, jalanan mulai dipadati
pengunjung serta cat-cat trotoar pun tidak lagi berpola hitam putih, melainkan
merah putih khas dari warna marhaenisnya Bung Karno. Jalanan di sekitar makam
Bung Karno tidak bisa dilewati mobil, melainkan hanya bisa dilewati oleh sepeda
motor serta becak. Uniknya, mungkin ada 80an becak yang berseliweran memegang
nomor antri untuk mencari pelanggan untuk di antar dan dijemput menuju
Pemakaman Bung Karno. Saat berada disana, kita seakan-akan berada di
tengah-tengah lomba balapan naik becak, karena para tukang becak ini
benar-benar menggayuhnya dengan cepat.
Untuk masuk ke makam Bung Karno kita cukup bayar
parkir saja, tinggal memilih tempat parkir yang resmi atau yang tidak resmi,
maksudnya di sekitar rumah warga, he. Memasuki tempat pemakaman Bung Karno,
kami langsung berfoto ria di depan bendera negara-negara peserta Konferensi
Asia Afrika (KAA), yang kemarin saat KAA berlangsung di Bandung, mereka juga
menyempatkan berkunjung ke makam Bung Karno.
Komplek Makam Bung Karno ini terdiri dari tiga
bangunan utama, pertama gedung museum, kedua gedung perpustakaan/koleksi buku
tentang Bung Karno, dan ketiga yaitu aula dimana makam Bung Karno dan orang
tuanya berada. Sayangnya, karena kami tiba disana sekitar pukul tiga sore pada
hari weekend, perpustakaan Bung Karno sudah tutup. kami hanya sempat melihat-lihat koleksi serta foto-foto
tentang Bung Karno di bagian museum. Kemudian, kami juga berksempatan untuk
melihat makam beliau dan kedua orangtuanya.
Makam Bung Karno terletak ditengah aula, sedangka di
kedua sisinya bersandingan makam kedua orang tuanya. Saat itu, banyak sekali
pengunjung yang sedang berziarah sambil membacakan doa-doa serta menaburkan
bunga-bunga khas pemakaman. Malah, beberapa pengunjung memberikan beberapa uang
ribuan di dekat makam Bung Karno, entah untuk kemakmuran atau mungkin jatah
untuk pengurus makam. Oh ya, sebelumnya kami juga sudah ditarik uang masuk saat
memasuki makam Bung Karno, kalau tidak salah sekitar 4 ribu satu orang.
Padatnya makam pada sore itu, membuat kami hanya bisa
memandangi makam beliau dari jarak yang tidak terlalu dekat, tapi itu cukup
membuat kami merasakan begitu hebatnya pengaruh Bung Karno. Hingga jasad
fisiknya yang sudah tak bernyawa dan ditutup oleh tanah makam saja masih
dikagumi dan dikunjungi ribuan orang tiap bulannya. hal tersebut memang pantas
untuk seorang founding father bangsa sekaligus proklamator kemerdekaan negeri
ini, hingga sangat tepat apa yang tertulis di bagian atas perpustakaan di
komplek pemakaman ini, yaitu “ BUNG KARNO UNTUK INDONESIA”.
Menjelang pukul lima sore, kami kembali ke parkiran
motor dan segera meninggalkan kenangan dan petualangan di kota Blitar. Oh ya,
tidak lupa juga untuk berfoto lagi di gong perdamaian yang berada di samping
komplek pemakaman Bung Karno. Sayonara, semoga bisa berjumpa lagi dengan Blitar
dan teman-teman ELFAST Program TOEFL ITP A. Terimakasih Yoni, Fitri, lina, Mr.
Maro, abud, yudi dan teman2 lainnya. Semoga sukses selalu.
Langganan:
Postingan (Atom)