sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Selasa, 29 Maret 2016

On 15.35 by Unknown   No comments
Oleh Irfan Fauzi
Ini adalah kejadian pekan kedua di bulan Maret yang berangin. Tepatnya pada malam minggu, saat semua orang mencoba keluar dari kepenatan rutinitas pekerjaan, sekolah, atau pun transaksi bisnis. Memang, Sabtu-Minggu selalu menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi masyarakat pekerja baik negeri ataupun swasta. Weekend adalah saat yang tepat untuk sekedar keluar, makan bersama, atau pun menikmati alunan musik bergenre Jazz, Blues, Rock di kafe-kafe atau setidaknya dangdutan di pinggir jalan.
Sore itu, jalanan di sekitar Jakarta dan Bekasi seperti biasa padat dan penuh polusi. Terlebih malam minggu yang semarak akan kerumunan penikmat weekend. Aku pun turut dalam semarak kerumunan yang berbondong-bondong hilir mudik Jakarta-Bekasi. Jika ingin melihat betapa semrawut jalanan di malam minggu, lihatlah Kalimalang. Proyek jalan tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu) yang belum kunjung selesai menambah kesemrawutan jalanan Kalimalang. Tanah merah serta kepulan debu maupun asap knalpot menjadi pemandangan lazim. Meskipun demikian, tetap saja banyak masyarakat yang terpaksa nyaman hilir mudik melalui Kalimalang, karena menjadi jalur strategis penghubung Bekasi-Jakarta Timur.
Aku pergi ke Jakarta untuk berkunjung ke seorang teman karib yang kini tinggal di Klender, Jakarta Timur. Dia bilang, teman SMA kita yang kebetulan baru kerja di Jakarta, ingin berjumpa di sekitar Monas ba’da maghrib. Nama teman kami, ya sebut saja Apep. Dia teman kami sejak nyantri di Garut.
Matahari senja mulai nampak kekuningan, terlihat dari jendela kamar di kawasan Klender. Kami segera siap-siap menuju Stasiun Klender. Waktu kami akan banyak terbuang karena kami menuju Monas menggunakan Commuter Line, transportasi murah meriah ala Ibukota. Benar saja, selama kami transit di St. Manggarai lebih dari 20 menit waktu terbuang untuk menunggu datangnya kereta yang akan membawa kami ke Monas. Kurang lebih pukul 18.30 WIB, kereta kami baru tiba dan langsung meluncur menuju St.Jakartakota via St. Juanda.
“ping..”, “..Ges dimana uy?”
Tiba-tiba saja bbm ku berbunyi, sebuah pesan dari Apep. Rupanya dia sudah tiba duluan, di Monas.
“keula kedeung deui (tunggu, sebentar lagi)” jawabku.
Sepertinya itu adalah chat terakhir yang dibaca oleh Apep.
Menjelang pukul 19.00 kereta kami sudah menepi di Stasiun Juanda. Dari situ kita bisa naek bus City Tour yang bertingkat untuk membawa kami menuju Monas secara free ! Gratis!. Seumur-umur, baru kali ini aku naik bus bertingkat yang biasanya saya lihat di film-film barat zaman SD dulu. Tapi sekarang, bus bertingkat sudah mulai tersebar di beberapa kota besar seperti Bandung, Jakarta, Solo, dan kota lainnya (kalau ada).
Kami tiba di samping pintu utama Monas. Aku pikir Monas akan tampak ramai di malam minggu ini, tapi tak terlihat keramaian yang berarti disekitar Monas. Hanya ada beberapa petugas keamanan yang berjaga di pintu utama, ataupun yang berkeliling untuk sekedar memastikan agar tidak ada pedagang kaki lima atau pedagang keliling yang menjajakan daganganyya di area Monas. Rupanya, kerumunan massa sudah berpindah di samping Monas, dekat dengan stasiun Gambir. Disana ada pameran kuliner, yang memang pedagangnya ex-pedagang monas. Untuk membeli jajanan disana pun kita harus menggunakan electronic money (e-money), semacam kartu multifungsi yang bisa digunakan transaksi pembelian makanan, maupun Commuter Line dan Transjakarta.
“Inilah Relokasi Monas yang dilakukan Ahok” kata seorang teman untuk menggambarkan keadaan sunyinya malam minggu di Monas.
Oh ya, aku kembali teringat si Apep yang akan berjanji berjumpa di kawasan Monas ini. Sialnya, saat itu, susah sekali kami menghubunginya. Sms tak berbalas, BBM pun hanya tanda Delivered (D), bahkan telpon pun tak diangkat. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan mendekati tugu Monas, lalu berkeliling dengan harapan setidaknya bisa menemukan jejak-jejak Apep. Namun, jauh panggang dari api. Setelah kurang lebih setengah jam mencuci mata di sekeliling tugu monas, Apep tak kunjung kami temukan. Kami pun kelelahan dan duduk sebentar, lalu berusaha menghubunginya lagi.
Saat janji tak ditepati, prasangka buruk pun menghantui. Meski tak kunjung ketemu, kami selalu mencoba berprasangka baik. Mungkin saja, hapenya low batt, atau mungkin saja dia sudah pulang lebih dulu karena terlalu lama menunggu, atau mungkin saja dia kecopetan? Ah semoga saja tidak. Kasihan, dia baru dua bulan di Jakarta, sungguh malang jika harus berkenalan dengan kerasnya Jakarta.
Akhirnya selepas azan isya berkumandang, didorong oleh suara perut yang keroncongan, kami segera pulang mengejar Commuter Line. Tak ada Bus City Tour yang menjemput kami malam itu. karena bus yang kami tunggangi tadi rupanya bus terakhir di malam minggu. Kami lebih memilih berjalan on the foot menuju Stasiun Juanda dibanding harus pake taksi atau memanggil Go-jek. Kami ingin sedikit menyerap suasana malam Jakarta berikut dengan segala kegaduhannya.
*******
Malam beranjak larut, tapi desas desis kehidupan Jakarta tak pernah sepi. Stasiun Klender dan pasarnya menjadi bukti, bahwa denyut kehidupan kota selalu berlaku 1x24 jam. Gerobak nasi goreng di sisi jalan kecil menuju kos menggoda untuk disinggahi. Apalagi perutku sudah meraung-meraung minta jatah pada si pemilik tubuh. Hanya dengan 10 k saja, nilai yang cukup murah untuk Jakarta, seporsi nasi goreng telor, dengan taburan bawang goreng, kerupuk, serta tak lupa acar siap disantap.
Sedang asik asiknya menyantap nasi goreng khas Klender, temanku mengagetkanku seraya berucap,
“Cum, alah bener siah, Si Apep kacopetan uy” katanya saat mendapat pesan dari Facebook Messenger darir Apep.
Dan aku mendesis kesal serta membatin “...Jancukarta!”. Memang teganya Jakarta! Mereka tak pandang usia, ras atau agama, pokoknya yang kelihatan polos diembat, disikat, digarap, atau istilah lainnya yang semakna dengan perampasan harta. Aku sungguh prihatin dengan Apep. Dia belum lama merasakan manisnya jerih payah mengadu nasib di Jakarta. Tapi realita segera menyambut dengan getirnya Ibukota.
Temanku ini, Apep, kadang terlalu lurus, atau lebih tepatnya polos. Dia kecopetan sebuah smartphone pabrikan Korea, serta dompet yang ada KTP dan ATM-nya. Sialnya, dia menulis pin ATM nya dan diselipkan didalam dompet. Gara-gara itu, kami kompak menepuk jidat, terlebih setelah tahu setidaknya ada uang sebesar 3,4 juta di rekeningnya.
“..Duh Pep..”.
Dengan nada khawatir Apep, memohon bagaimana solusinya supaya ATM segera diblokir. Sedangkan Apep sendiri berada di Kantor tempat kerja dan terkunci di dalamnya, karena berusaha menghubungi kami yang sedari sore tadi punya janji dengan dia. Akhirnya seorang teman kos, satu kampung halaman denganku, menyarankan dan mencoba menghubungi call center bank, agar rekening Apep segera diblokir.
Susah payah temanku ini berusaha ‘mengibuli’ mbak-mbak atau mas-mas call center, karena saat ditanya data pribadi, kami kembali bertanya ke Apep. Mulai dari nama Ibu, tanggal lahir, alamat rumah, warna buku tabungan, dan lainnya. Dan hasilnya gagal total. Sampai lewat tengah malam, dan call center terakhir yang mengangkat, dengan dingin menjawab,
“ Maaf pak, malam ini kami tidak bisa melayani pemblokiran rekening, karena sedang ada perbaikan sistem, mohon ditunggu beberapa jam lagi”.
*******
Keesokan harinya, Apep kami jemput, dan ternyata berhasil memblokir rekeningnya. Syukurlah. Meski dengan raut muka yang lusuh dan tampak kurang tidur, setidaknya uang hasil tabungannya selamat. Dia akan segera pulang kampung dan mengurus kartu-kartu yang hilang.
Memang begitu lah Jakarta. Selalu ada kejadian-kejadian menarik, termasuk tindak kriminalitas yang sudah menjadi cirikhas Ibukota. Sampai-sampai ada lelucon seperti ini, “belum jadi orang Jakarta, kalau belum kena copet, jambret, palak dan sejenisnya”. Meski demikian, banyak orang enggan untuk beranjak dari kota ini, tentunya karena faktor materi. Janji akan karir yang cemerlang, penghasilan yang tinggi, serta gaya hidup metropolitan menjadi magnet penarik para perantau seperti kami dan Apep. Maka, memang benar apa yang dinarasikan oleh sebuah video, “ Jakarta adalah kota kejam kesayangan “.

Sabtu, 19 Maret 2016

On 20.49 by Unknown   No comments

Oleh Irfan Fauzi

Hari itu adalah sore hari yang cerah. Cerah bebas dari hujan, tapi tidak dengan polusi yang tinggi. Asap kendaraan bermotor rasanya selalu menyelubungi daerah itu. Roda dua dan roda empat hilir mudik tak kenal waktu, memenuhi dan memadati sepanjang jalan dekat palang perlintasan kereta api. Aspal jalanan pun perlahan rusak, meninggalkan kerikil dan bebatuan fondasi jalan raya akibat saking beratnya beban jalanan di sekitar Stasiun Bekasi.

Sesakali pintu lintasan kereta tertutup dan menimbulkan bunyi bak sirine yang menambah bising suasana sekitar. Kendaraan pun terpaksa berhenti yang menyebabkan jalanan semakin macet. Rasanya, tak ingin berlama-lama untuk berada di daerah sekitar kawasan stasiun itu. Terlebih, di dekat pintu masuk stasiun yang banyak dipenuhi angkot-angkot tak beretika. 

Tapi jika kita masuk lebih dalam ke sebuah gang, belakang stasiun, tepatnya di kawasan kampung Pintu Air, maka akan kita temui gairah baru saat melihat bocah-bocah jalanan yang berkumpul disebuah sanggar dan tampak antusias belajar mengaji maupun pelajaran umum lainnya. Mererka berasal dari keluarga tidak mampu, sebagian ada yang yatim maupun piatu. 

Keseharian mereka sebelum bergabung di sanggar, tidak lebih dari kegiatan memenuhi kebutuhan perut. Bagi mereka, urusan perut adalah keseharian yang harus terus menerus dipikirkan. Tak kenal usia, baik balita maupun remaja, mereka terpaksa membantu kedua orang tua untuk mencari sesuap nasi, baik dengan memulung, mengamen, ataupun ikut berdagang nasi uduk di sekitar stasiun.

Keinginan untuk mengenyam bangku sekolah bagi mereka adalah utopia. Sekolah membutuhkan seragam, buku tulis, LKS, atau bahkan uang rekreasi jika sekolah mengadakan kunjugan. Itu semua membutuhkan uang. Jika mereka sekolah, maka tak ada lagi yang membantu orang tua mencari uang, yang untuk kehidupan sehari-haripun masih ketar-ketir. Ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, terlebih untuk sekedar bertahan hidup di kota. Maka kemiskinan yang dirasakan oleh mereka adalah kemiskinan sistemik dan turun temurun. 

Mereka miskin bukan karena tidak berusaha, sekeras apapun mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidup, mereka tak akan mampu untuk membeli sepetak tanah dan rumah layak huni. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan,  inovasi, serta rendahnya kreatifitas yang lagi-lagi disebabkan rendahnya tingkat pendidikan. Mereka adalah bagian kecil dari kaum tertindas sebagaimana yang digambarkan Paulo Freire. Sekalipun mereka bertindak kurang manusiawi, seperti tindakan kriminal, hal itu tidak lebih dari akibat hak-hak asasi mereka yang dinistakan.

Mereka perlu pembebasan, baik pembebasan dari belenggu kemiskinan maupun pembebasan dari jerat kebodohan. Mereka sadar, dengan menunggu campur tangan negara sama saja menunggu takdir kemiskinan yang tidak akan pernah berubah. Untuk itu, tidak perlu mencela kenyataan kemiskinan yang di alami oleh mereka. Yang dibutuhkan adalah sebuah gerakan solutif nir politik yang bisa mengangkat secara perlahan derajat kemanusiaannya. 

Secercah Harapan 

Adalah sepasang pasangan muda, yang mencoba menjadi pendobrak dari semua sistem yang memiskinkan mereka. Anak-anak sanggar biasa memanggilnya Bang Andi dan Kak Nadiah. Setidaknya sudah lebih dari delapan tahun sanggar di belakang Stasiun Bekasi ini berjalan. Tempatnya berpindah-pindah, mulai dari sanggar di alam terbuka, hingga pindah di gang sempit dekat Stasiun Bekasi. Berkatnya, anak-anak Jalanan di stasiun dan sekitarnya memiliki impian baru, lebih dari sekadar urusan pemenuhan perut. Setidaknya mereka memiliki keinginan untuk belajar- meskipun terlambat. Sebagian anak dengan semangatnya mengikuti tahapan pendidikan kejar Paket A, B, maupun C. Sedangkan sebagian lain, mengikuti pendidikan formal karena dari segi usia masih acceptable.

Di sanggar yang diberi nama Cahaya Anak Negeri (CAN) ini, sekitar 100-200 anak jalanan, dhuafa, maupun yatim/piatu pernah berproses. Mereka dibimbing, dibina, bahkan dibiayai untuk meneruskan pendidikan baik tingkat dasar, menengah, dan kabarnya sebentar lagi ada yang akan masuk perguruan tinggi. Tidak hanya masalah pendidikan, masalah pekerjaan anak-anak sanggar juga turut di akomodir. Bagi sanggar, membuat sebuah kemajuan tidak berhenti sampai mendidik atau memasukkan anak-anak ke lembaga pendidikan. Melainkan, bagaimana memikirkan dan memberi jalan bagi masa depan anak-anak yang sudah muncul gairah untuk menuntut ilmu.

Cahaya Anak Negeri adalah contoh gerakan yang lahir dari kepedulian cum gerakan sosial. Mereka bergerak tanpa mendambakan tepuk riuh media massa maupun sosial media, apalagi saweran dana dari pemerintah yang selama ini tutup mata. Meskipun sesekali membutuhkan dana, mereka mendapatkannya dengan cara terhormat tanpa menjual proposal-proposal kaleng dengan rincian dana penuh dusta. 

Adakalanya, perubahan muncul dari gerakan progresif yang hening namun berdampak massal. Menunggu sesuatu berubah, tanpa bergerak bagaikan mimpi di siang bolong. Seperti yang tertulis dalam kitab suci, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga ia merubahnya sendiri ”.