sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Sabtu, 19 Maret 2016

On 20.49 by Unknown   No comments

Oleh Irfan Fauzi

Hari itu adalah sore hari yang cerah. Cerah bebas dari hujan, tapi tidak dengan polusi yang tinggi. Asap kendaraan bermotor rasanya selalu menyelubungi daerah itu. Roda dua dan roda empat hilir mudik tak kenal waktu, memenuhi dan memadati sepanjang jalan dekat palang perlintasan kereta api. Aspal jalanan pun perlahan rusak, meninggalkan kerikil dan bebatuan fondasi jalan raya akibat saking beratnya beban jalanan di sekitar Stasiun Bekasi.

Sesakali pintu lintasan kereta tertutup dan menimbulkan bunyi bak sirine yang menambah bising suasana sekitar. Kendaraan pun terpaksa berhenti yang menyebabkan jalanan semakin macet. Rasanya, tak ingin berlama-lama untuk berada di daerah sekitar kawasan stasiun itu. Terlebih, di dekat pintu masuk stasiun yang banyak dipenuhi angkot-angkot tak beretika. 

Tapi jika kita masuk lebih dalam ke sebuah gang, belakang stasiun, tepatnya di kawasan kampung Pintu Air, maka akan kita temui gairah baru saat melihat bocah-bocah jalanan yang berkumpul disebuah sanggar dan tampak antusias belajar mengaji maupun pelajaran umum lainnya. Mererka berasal dari keluarga tidak mampu, sebagian ada yang yatim maupun piatu. 

Keseharian mereka sebelum bergabung di sanggar, tidak lebih dari kegiatan memenuhi kebutuhan perut. Bagi mereka, urusan perut adalah keseharian yang harus terus menerus dipikirkan. Tak kenal usia, baik balita maupun remaja, mereka terpaksa membantu kedua orang tua untuk mencari sesuap nasi, baik dengan memulung, mengamen, ataupun ikut berdagang nasi uduk di sekitar stasiun.

Keinginan untuk mengenyam bangku sekolah bagi mereka adalah utopia. Sekolah membutuhkan seragam, buku tulis, LKS, atau bahkan uang rekreasi jika sekolah mengadakan kunjugan. Itu semua membutuhkan uang. Jika mereka sekolah, maka tak ada lagi yang membantu orang tua mencari uang, yang untuk kehidupan sehari-haripun masih ketar-ketir. Ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, terlebih untuk sekedar bertahan hidup di kota. Maka kemiskinan yang dirasakan oleh mereka adalah kemiskinan sistemik dan turun temurun. 

Mereka miskin bukan karena tidak berusaha, sekeras apapun mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidup, mereka tak akan mampu untuk membeli sepetak tanah dan rumah layak huni. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan,  inovasi, serta rendahnya kreatifitas yang lagi-lagi disebabkan rendahnya tingkat pendidikan. Mereka adalah bagian kecil dari kaum tertindas sebagaimana yang digambarkan Paulo Freire. Sekalipun mereka bertindak kurang manusiawi, seperti tindakan kriminal, hal itu tidak lebih dari akibat hak-hak asasi mereka yang dinistakan.

Mereka perlu pembebasan, baik pembebasan dari belenggu kemiskinan maupun pembebasan dari jerat kebodohan. Mereka sadar, dengan menunggu campur tangan negara sama saja menunggu takdir kemiskinan yang tidak akan pernah berubah. Untuk itu, tidak perlu mencela kenyataan kemiskinan yang di alami oleh mereka. Yang dibutuhkan adalah sebuah gerakan solutif nir politik yang bisa mengangkat secara perlahan derajat kemanusiaannya. 

Secercah Harapan 

Adalah sepasang pasangan muda, yang mencoba menjadi pendobrak dari semua sistem yang memiskinkan mereka. Anak-anak sanggar biasa memanggilnya Bang Andi dan Kak Nadiah. Setidaknya sudah lebih dari delapan tahun sanggar di belakang Stasiun Bekasi ini berjalan. Tempatnya berpindah-pindah, mulai dari sanggar di alam terbuka, hingga pindah di gang sempit dekat Stasiun Bekasi. Berkatnya, anak-anak Jalanan di stasiun dan sekitarnya memiliki impian baru, lebih dari sekadar urusan pemenuhan perut. Setidaknya mereka memiliki keinginan untuk belajar- meskipun terlambat. Sebagian anak dengan semangatnya mengikuti tahapan pendidikan kejar Paket A, B, maupun C. Sedangkan sebagian lain, mengikuti pendidikan formal karena dari segi usia masih acceptable.

Di sanggar yang diberi nama Cahaya Anak Negeri (CAN) ini, sekitar 100-200 anak jalanan, dhuafa, maupun yatim/piatu pernah berproses. Mereka dibimbing, dibina, bahkan dibiayai untuk meneruskan pendidikan baik tingkat dasar, menengah, dan kabarnya sebentar lagi ada yang akan masuk perguruan tinggi. Tidak hanya masalah pendidikan, masalah pekerjaan anak-anak sanggar juga turut di akomodir. Bagi sanggar, membuat sebuah kemajuan tidak berhenti sampai mendidik atau memasukkan anak-anak ke lembaga pendidikan. Melainkan, bagaimana memikirkan dan memberi jalan bagi masa depan anak-anak yang sudah muncul gairah untuk menuntut ilmu.

Cahaya Anak Negeri adalah contoh gerakan yang lahir dari kepedulian cum gerakan sosial. Mereka bergerak tanpa mendambakan tepuk riuh media massa maupun sosial media, apalagi saweran dana dari pemerintah yang selama ini tutup mata. Meskipun sesekali membutuhkan dana, mereka mendapatkannya dengan cara terhormat tanpa menjual proposal-proposal kaleng dengan rincian dana penuh dusta. 

Adakalanya, perubahan muncul dari gerakan progresif yang hening namun berdampak massal. Menunggu sesuatu berubah, tanpa bergerak bagaikan mimpi di siang bolong. Seperti yang tertulis dalam kitab suci, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga ia merubahnya sendiri ”.

0 komentar:

Posting Komentar