sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Jumat, 18 Agustus 2017

On 03.21 by Unknown   No comments


Oleh Irfan Fauzi
Sekretaris Umum, PC Pemuda Persis Kota Bekasi

Muda dan Pemuda adalah dua diksi yang berasal dari satu kata tetapi berbeda makna. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, Muda dan Pemuda menjadi Young and Youth. Young adalah kata sifat yang bisa dimiliki oleh siapapun dan kapanpun. Sedangkan Youth adalah kata benda yang melekat pada individu namun terbatas waktu. Maka, menjadi muda bisa dilakukan semua orang, tak pandang usia. Namun, menjadi Pemuda adalah anugerah usia produktif bagi mereka yang sedang berada pada rentang usia 16-30 tahun jika merujuk pada UU No. 40 Tahun 2009.

Banyak orang yang tidak sadar bahwa dirinya sedang berada di rentang usia pemuda. Mungkin, mereka sadar secara hitungan angka, tapi mereka tak sadar bahwa menjadi pemuda harus dibarengi dengan semangat dan jiwa muda. Setidaknya, kita harus melihat kembali bagaimana negeri ini dipelopori oleh generasi muda saat itu.

Pemuda Masa Kemerdekaan

Generasi yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, mereka adalah pemuda-pemuda progresif yang menentang status quo, bahwa negara mereka bukanlah sapi perah yang harus tunduk dan pasrah pada kolonialisme Belanda. Mereka adalah pemuda yang berjiwa muda sehingga terus melakukan terobosan-terobosan demi menyatukan Nusantara.

Pasca runtuhnya kolonialisme Jepang yang ditandai dengan hancurnya Hiroshima dan Nagasaki, para perjuang terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan tua dan golongan muda. Keduanya sama-sama menginginkan kemerdekaan. Bedanya, golongan muda lebih tidak sabar untuk segera memproklamirkan kemerdekaan sehingga mengharuskan mereka untuk mengintervensi golongan tua, yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat.

Pasca kemerdekaan, 10 November 1945, lagi-lagi golongan muda dari bagian timur pulau Jawa, tepatnya Surabaya, dibawah kepemimpinan Bung Tomo yang saat itu berusia 25 tahun, berhasil menggelorakan semangat ‘muda’ dan memimpin pertempuran melawan Tentara NICA yang berusaha merebut kembali kemerdekaan Indonesia. 

Tentunya, selain tiga kejadian di atas, masih banyak lagi fakta-fakta sejarah yang menunjukkan bahwa pemuda adalah mereka yang memiliki semangat, daya juang, inovasi dan keberanian untuk menjadi pelopor. Maka tak heran, jika Pramoedya Ananta Toer, dengan lantang berucap, “Kalian para pemuda, kalau tidak punya keberanian, maka sama saja dengan hewan ternak! Karena fungsi hidupnya hanya beternak diri!”

Pemuda di kalangan Sahabat

Membicarakan tentang pemuda, penulis menjadi teringat kembali tentang sebuah acara yang diisi oleh wakil ketua STID M. Natsir Bekasi. Sesi tersebut mendiskusikan bahwa sahabat-sahabat yang ikut berjihad bersama Nabi Muhammad SAW, mayoritasnya adalah pemuda.

Ali bin Abu Thalib saat mengikuti rasul dan memeluk islam, kurang lebih berusia 10 tahun. Saad bin Abi Waqqash masuk islam pada usia 17 tahun. Zaid bin Tsabit, dari pemuda Anshar masuk islam pada usia 11 tahun. Beliau berkeinginan untuk mengikuti perang namun dilarang oleh Rasul, karena usianya yang belum cukup. Zaid bin tsabit diijinkan mengikuti Perang Khandaq pada tahun 5 Hijriah. Anas bin Malik juga berusia 10 tahun saat menjadi pelayan Rasulullah, hingga akhirnya beliau menjadi salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis.

Salah satu yang menarik untuk dijadikan contoh adalah Usamah bin Zaid. Seorang anak dari Zaid bin Haritsah yang juga sudah menjadi cucu kesayangan Rasulullah SAW. Di usianya yang baru menginjak 14 tahun, Usamah mengikuti Perang Mut’ah bersama kaum muslimin, untuk mempertahankan diri dari serangan tentara Romawi yang berjumlah sekitar 20.000 pasukan. Sedangkan, pasukan muslim hanya berjumlah 3000. Pada perang ini, Usamah harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika sang ayahanda yang bertugas sebagai komandan perang harus syahid.

Menginjak usia ke-18, saat Rasulullah SAW wafat, Usamah ditunjuk oleh Abu Bakr Asshidiq menjadi komandan pasukan perang untuk melawan pasukan Romawi sesuai dengan wasiat Rasulullah SAW. Saat itu, banyak yang meragukannya, dikarenakan usianya yang belum matang untuk menjadi pemimpin pasukan.

Semua keraguan umat muslim ditepis dengan kemenangan telak pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Usamah yang senantiasa menerapkan nilai-nilai Qur’an dan sunnah rasul berhasil memenangi pertempuran tersebut. Bahkan, sangat jarang sekali pasukan muslim bisa menang dan kembali dengan utuh, tanpa ada pasukan yang syahid satupun. Sejak saat itu, banyak sahabat dan kaum muslim umumnya yang secara usia lebih matang, menghormati beliau. Tak heran jika Umar bin Khattab menyapanya dengan ucapan, “Marhaban Bi Amiri! (Selamat datang, wahai komandanku!).

Pemuda Masa kini?

Mencermati dari berbagai kejadian di atas, penulis merasa malu bahwa pemuda saat ini mungkin tak sehebat dan tak setangguh pemuda baik di zaman Sahabat maupun Pra dan Pasca Kemerdekaan. Hal ini merupakan degradasi dari ketidakjelasan identitas pemuda masa kini terlebih pemuda islam ditengah gempuran moral dan materil di zaman digital.

Pemuda saat ini, cenderung lebih personal dan individualistis. Mementingkan diri sendiri dan golongannya meskipun harus dengan berbagai cara. Yang penting, posisi studinya lancar, pekerjaan aman, gaji besar, dan koneksi luas. Jadi, ketika butuh sesuatu, tinggal hubungi ‘orang dekat’ atau ‘orang dalam’. Dijamin semuanya beres. Pemuda kini seakan lupa bahwa mereka juga bagian entitas dari masyarakat yang komunal.

Lebih menghkawatirkan lagi, pemuda-pemuda di perkotaan yang tidak mengenyam bangku pendidikan  seakan-akan kehilangan gairah mudanya. Mereka lebih menikmati hidup santai, nongkrong sambil mendendangkan lagu-lagu di pinggiran jalanan, menjadi calo parkir, bahkan sampai melakukan tindakan kriminalitas.

Problematika ini harus menjadi tanggung jawab bersama, terlebih kita para pemuda islam yang berkesempatan mengenyam bangku pendidikan. Bangkit dan sadarkan saudara-saudara kita bahwa masa depan masih panjang. Masa depan harus diperjuangkan tidak dengan bersantai-santai apalagi melakukan tindak kejahatan.

Masa depan islam tak akan gemilang jika dimotori oleh pemuda-pemuda yang suka dengan budaya instan maupun rutinitas pekerjaan. Masa depan islam akan cerah jika para pemuda saat ini kembali bergiat, berkolaborasi, melakukan inovasi, serta mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama yang tak produktif. Rasanya, kita tidak pernah kehabisan role model pemuda ideal dalam islam. Hanya saja, kita perlu sesekali membaca sejarah dan membandingkan. Apakah kita memiliki karakter-karakter pemuda di zaman Rasul? Apakah kita memilki semangat juang pemuda di zaman pra kemerdekaan?

Walallahu A’am.

*Tulisan dimuat di web pemuda persis kota bekasi



Jumat, 21 April 2017

On 05.33 by Unknown   No comments
Oleh Irfan Fauzi

Pendidik di Sekolah Alam Natur Islam
Owner Pulangpergi Travel


Dalam buku Self Driving (2016), Pak Rhenald Kasali mengisahkan kejadian yang menimpa dirinya saat naik pesawat komersial amerika untuk kembali ke tanah air pada 1998. Beliau saat itu sedang menenteng tas besar dengan satu tangan. Tangan kirinya mengalami cedera dan dibalut dengan gips yang menggantung pada kain segitiga. Istrinya yang baru menjadi ibu muda sulit membantu karena sedang menggendong bayi yang usianya kurang dari satu setengah tahun.

Ditengah ketergopohan, seorang pramugari bule tiba-tiba menghardiknya. “tas tersebut tak bisa dibawa masuk, terlalu besar!” ucapnya tegas. “lalu bagaimana?” tanya beliau. “I dont know”, ujar kru bule tadi dengan cuek. “We will call your agent.” Ucapnya ketus. Tanpa menunggu solusi dari agen, Pak Rhenald berusaha memasukkan tas besar tadi ke dalam kabin. Beberapa penumpang lain turut membantu dengan susah payah. Akhirnya setelah menggeser dan menata tas lainnya, tas besar milik Pak Rhenald berhasil dimasukkan. Semua penumpang bersorak gembira, sambil menunjukkan ketidaksukaan pada pelayanan airline yang buruk.

Dalam kisah tersebut, Pak Rhenald menggambarkan salah satu karakter yang ditunjukkan oleh pramugari bukanlah ketegasan (assertiveness) melainkan sikap garang dan agresif. Hal ini ternyata banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari dimana kebanyakan orang akan sulit membedakan mana ketegasan mana agresifitas. Seringkali saat mengantri di sebuah loket pembayaran commuterline, tiba-tiba ada yang menyelak masuk barisan depan. Dia akan dengan cuek menggeser antrian lain hanya untuk mendapatkan barisan lebih depan. Siapapun pasti faham bahwa hal tersebut tidak sopan dan tidak beretika. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran dimana kesopanan dan etika sangat diagungkan.

Kini, rasanya adat ketimuran perlahan mulai luntur dan hilang. Terlebih di kota besar, dimana setiap orang seakan dituntut untuk bergerak cepat, bekerja lebih keras, meskipun harus mengabaikan hak-hak orang lain. Mudah saja untuk mencari contoh prilaku yang demikian. Perhatikan lampu merah yang ada di sudut kota baik Jakarta maupun kota satelitnya, Bekasi, Tangerang, Depok, ataupun Bogor. Sangat jarang ditemukan pengendara motor atau mobil yang tertib lalu lintas. Lampu masih merah, tapi pengendara sudah menerobos jalanan. Contoh lain, jika di lampu merah yang padat maka ada area yang berwarna merah dikhususkan untuk pengendara motor. Namun faktanya, tak sedikit mobil atau angkot yang dengan cueknya menempati area motor tersebut.

Menjelang dan pasca musim Pilkada, kita temukan banyak sekali ucapan atau komentar yang bernada negatif, cenderung mencaci tanpa pandang usia baik di dunia offline maupun online. Mereka dengan enteng menghina sambil mengeluarkan kata-kata negatif. Semua jenis hewan mereka sebutkan. Anjing, babi, ayam, kambing bahkan hingga (maaf) diksi diksi yang bermakna kotoran. Yang terbaru, kasus penghinaan yang dialami oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang, Zainul Mahdi saat mengantri di sebuah airport Singapura yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Steven, yang ternyata juga warga Indonesia.

Prilaku-prilaku demikian, secara tak sadar sudah sangat membudaya bagi masyarakat perkotaan. Hal ini tentu bertentangan dengan adat ketimuran yang selama ini menjadi panutan masyarakat Indonesia.  Rasanya, kalau tidak salah generasi-generasi yang saat ini tumbuh menjadi generasi Milenial, adalah mereka yang mengenyam pendidikan budi pekerti saat di bangku sekolah dasar dulu. Dalam pelajaran tersebut setidaknya, sudah diajarkan bagaimana berprilaku yang baik dan berbudi yang luhur. Namun, kelemahanya adalah budi pekerti hanya diajarkan dalam ranah teoretis dan minus praktik. Maka tidak heran, prilaku negatif dan tak beretika cenderung berkembang di era digital yang memungkinkan masyarakat mendapatkan akses secara mudah terhadap informasi.

Dalam ulasan Pak Rhenald, setidaknya ada tiga jenis karakter bagi kebanyakan masyarakat perkotaan saat ini. Pertama, mereka yang dominan, karakter dominan ini bukanlah dalam konteks yang positif. Mereka bertindak dan berucap terlalu agresif bahkan cenderung garang hanya untuk mempertankan kebenaran menurut sudut pandang yang subjektif. Dalam kasus yang lebih parah mereka akan cenderung menggunakan sikap agresifnya untuk mengelak dan mengabaikan hak-hak orang lain demi pencapaian keinginan pribadi.

Kedua, mereka yang resesif. Karakter ini cenderung pasif dan terlalu toleran terhadap keinginan orang lain. Bahkan mereka cenderung mengalah meskipun hak-hak individunya dihilangkan oleh orang lain. Contoh kecilnya, saat antri dalam pembayarat loket, mereka akan mengalah saat ada orang lain yang menyelak dengan beralasan tidak ingin memperpanjang masalah.

Nah, di tengah-tengah kedua karakter tersebut ada karakter ketiga, yaitu mereka yang pasif-agresif namun sarkastik. Mereka tidak terima diserobot, tetapi tidak berani menegur atau memperbaik cara-cara yang tidak tepat. Mereka berbicara kasar, sinis, nyinyir, tetapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, atau lewat sosial media dengan nama samaran.

Tentunya, ketiga karakter tersebut bukanlah karakter ideal. Maka untuk mengimbanginya perlu ditanamkan sebuah sikap ketegasan (assertiveness) yang proporsional. Sikap assertive adalah sikap yang mampu mengungkapkan ketidaknyamanan dan unek-unek secara terbuka namun dengan seni yang tinggi tanpa merendahkan martabat orang lain. Malah mereka yang dikritik dapat menerima secara respek karena disampaikan dengan cara yang halus, santun, dan tidak menyakiti perasaan. Sikap ini tidak akan didapat secara tiba-tiba. Butuh waktu dan latihan untuk menumbuh kembangkan sikap assertive. Akan lebih baik jika sikap assertive ini dibiasakan sejak dini terhadap anak-anak kita.

Bagaimana sikap assertive diterapkan? Secara sederhana dapat kita biasakan dengan mengucapkan kata “maaf” dan “terimakasih”. Kata “maaf” digunakan saat kita memiliki kesalahan ataupun saat ingin mengingatkan orang lain. Kata “terimakasih” kita gunakan saat mendapatkan bantuan sekecil apapun atau saat orang lain yang melakukan kekhilafan lalu berubah, maka ucapkanlah terimakasih. Kedua kata ini memiliki efek yang sangat baik jika dibiasakan sejak dini. Kata maaf, yang diikuti oleh kalimat kritik atau pun peringatan berarti menegur atau mengkritik dengan tegas namun sopan.

Laiknya di sekolah kami, Sekolah Alam Natur Islam, anak-anak sudah terbiasa dengan kedua kata super tersebut. Jika ada temannya yang mengganggu, maka dengan sopan dan tegas, si anak akan berucap, “Maaf, aku tidak nyaman, Tolong, tidak mengganggu ku lagi”. Di lain waktu saat sang anak berbuat kesalahan, lalu ada temanya yang mengingatkan, tidak segan si anak tersebut akan berucap “terimakasih, sudah mengingatkan”. Hal – hal demikian jika dibiasakan sejak dini, insyaallah akan membentuk karakter individu yang tegas dan sopan.

Maka, jika kita mendapati orang yang berkata secara kasar atau garang, belum tentu dia berkarakter tegas, malah bisa jadi adalah tipe yang agresif. Sebaliknya jika ada orang yang menegur dan mengingatkan kesalahan orang lain secara tegas dan sopan, maka dia lah yang berkarakter assertive. Jadi, apakah kita sudah menerapkan assertiveness dalam kehidupan kita? Atau jangan-jangan kita masih masuk dalam kategori agresif, pasif, atau agresif-resesif?



Sabtu, 11 Februari 2017

On 19.47 by Unknown   No comments

Oleh Irfan Fauzi


Laiknya dalam setiap rumah tangga selalu ada perbincangan yang menarik. Hal- hal kecil pun bisa berubah menjadi perbincangan yang serius dan debatable. Sebagai contoh, kebiasaan menyimpan benda-benda kecil secara sembarangan seperti dompet, smartphone, charger hingga gunting kuku adalah kebiasaan yang sebenarnya tidak baik. Namun, karena sudah menjadi kebiasaan rasanya sulit dirubah. Dari hal-hal tersebut tak ayal, kami berdebat mengenai kebiasaan-kebiasaan kecilku. Disinilah menariknya membangun rumah tangga. Perlu lebih dari pemahaman dan juga kesabaran.

Kabar baik datang kepada kami, hampir sebulan yang lalu. Hal yang ditunggu – tunggu bagi kebanyakan pasangan yaitu kehamilan. Ya, alhamdulillah hampir dua bulan istri saya tak didatangi tamu bulanan. Setelah diperiksa secara sederhana menggunakan testpack, garis dua merah muncul beberapa menit setelah di teteskan urine. Artinya, baik samar maupun jelas garisnya, testpack menunjukkan positif kehamilan. saya dan istri mengucap hamdalah dan berbahagia.

Setelah mengetahui kehamilan, kami jadi lebih berhati-hati dalam bertindak. Misal saat perjalanan menggunakan sepeda motor, pada setiap polisi tidur atau jalan berlubang, saya akan memperlambat laju motor hingga melintas dengan mulus dan nyaman. Tidak hanya perjalanan, sekarang, kami begitu pemilih untuk menyantap makanan. Makanan yang dibakar atau dimasak setengah matang, lalapan mentah, atau buah nanas yang super legit sekalipun kami hindari. Oh ya saya lupa, tepatnya istri saya yang harus menghindari. Kalau suaminya, ya semua makanan boleh dong asal halal.

Dengan demikian, praktis tidak banyak jenis makanan yang bisa dikonsumsi istri. Hanya makanan yang bersih, bergizi jelas, dan tidak terlalu beraroma yang bisa dikonsumsi. Beberapa hari kemudian, permasalahan makanan menjadi serius. Hampir setiap makanan yang biasa dikonsumsi, kini aromanya menjadi sangat menyebalkan bagi istri. Melihat nasi saja, raut wajah istri berubah, lalu mulai menyunggingkan bibir sekaligus menutup hidung seraya berkata,

“hmmm, bau bang ah, ga mau, bikini mual”

Kalau sudah begitu, ya saya harus lebih kreatif dalam memilah dan memilih makanan yang cocok. Cocok di lidah, cocok aromanya, dan juga cocok harganya.

Masak-memasak atau semua hal yang berkaitan dengan dapur juga terasa menyebalkan bagi istri. Semuanya selalu membuat mual seluruh isi perut. Begitu kata istri. Makanan yang kami makan akhir-akhir ini, lebih banyak membeli di warung makan, atau sesekali warung sate. Tapi istri saya kan tidak boleh mengkonsumsi sate. Jadi biar suami saja yang menikmatinya.

Nah dari banyak keunikan dan anomali karakter dari istri saat kehamilan menjadikan saya lebih banyak belajar. Seperti yang saya tuliskan di awal, menjalani rumah tangga butuh ekstra kesabaran dan pemahaman. Terlebih, mendampingi istri yang sedang hamil.

Menjadi suami siaga – sebutan untuk suami pendamping istri hamil (SAPIH), harus selalu bisa menerima jika disalahkan, meskipun bukan kita sumber masalahnya. Memang, hormon ibu hamil mudah berubah-ubah yang mengakibatkan kepada perubahan karakter dan kesukaan dalam waktu yang singkat. Contoh, jika kita salah membelikan makanan, lalu istri tidak suka. Ya terima saja jika disalahkan. Atau ketika saat mau bepergian keluar tiba-tiba hujan, ya siap siap saja ketika kita yang disalahkan.

Hal ini juga berlaku dalam mengkonsumsi makanan. jika hari ini istri menyukai lontong, maka belum tentu tiga hari lagi dia menyukai lontong. Jika hari ini istri menyukai daging kambilng belum tentu besok masih suka. Hal penting yang tidak boleh berubah adalah menyukai suami, jangan sampai keesokannya menyukai suami tetangga. Itu sangat berbahaya dan tidak dianjurkan.

Jadi, inti dari semua ini adalah menjadi seorang suami sudah seharusnya bersabar, tulus dan terus meningkatkan perhatian serta rasa cinta kepada istri. Kita, para pria, tidak pernah tau rasanya mual saat hamil. Kita juga tidak pernah tau betapa sakitnya proses persalinan. Maka, menjadi suami haruslah bersabar dan bersyukur. Buktikan semua itu dengan pengbadian dan perhatian kepada istri. Ingat, cinta itu tidak butuh pengorbanan lho. Sekali kita merasa berkorban, maka sejak saat itu kita sudah merasa tidak tulus. Begitu kata Mbah Sudjiwo Tejo.

Demikian catatan dari saya. Mohon doanya juga ya supaya istri dan kandungannya sehat selalu. Oh ya tidak lupa, doa terbaik untuk rekan – rekan pembaca yang masih belum bertemu jodoh. Semoga disegerakan datangnya jodohmu. Jodoh hanya akan datang kalau Allah mengganggap kita sudah siap. Tidak perlu baper, cukup berdoa dan berusaha.

Jazakumullah Khoiran Katsiran.



Bogor, 12 Febuari 2017

Selasa, 07 Februari 2017

On 07.10 by Unknown   No comments
 Oleh Irfan Fauzi

Mengingat kebaikan orangtua, rasanya tak ada habisnya. Mereka akan melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya. Meskipun, harta dan nyawa yang menjadi taruhannya. pada suatu hari di saat saya menginjak kelas 3 SD, saya mengikuti study tour bersama para guru. Kebetulan, bapak menjadi guru di tempat saya sekolah. Saat itu, study tour diadakan di sebuah kolam renang, Linggarjati, Kuningan.

Kolam renang terdiri dari beberapa macam. Ada yang dangkal, sedang, ada juga yang dalamnya sekitar 2 meter, khusus untuk orang dewasa. Ada kolam yang dilengkapi dengan perosotan mini, ada juga waterboom yang cukup menantang. Pengunjung cukup ramai saat hari libur seperti ini.

Di usia yang masih 8 tahun, dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, saya iseng melihat waterboom yang sangat menantang. Saya masih ragu, karena saya yakin, waterboom ini mengarah ke kolam dewasa yang sangat dalam. Tiba-tiba, anak SMP dibelakang saya menggendong, dan mendorong tubuh kecil ini, untuk menaiki waterboom. Rasanya, saya ingin teriak dan melompat keluar sambil mendengus kesal. Tapi apa daya, tubuhku tetap terbawa arus gravitasi, dan dorongan dari papan waterboom yang sangat licin. Hingga di ujung waterboom, saya berusaha menahan yang pada akhirnya hanya sia-sia. Terdorong oleh anak-anak SMP dibelakang.

“Bruushhhhh”, seketika saya tercebur. Saya mendadak panik, saat ujung-ujung kaki dan jemari tak kunjung menyentuh dasar kolam. Sedangkan kepala, dengan sekuat tenaga berusaha saya angkat ke permukaan agar bisa menghirup oksigen. Kedua tangan, yang tidak bisa berenang ini, terus bergerak tak jelas, meminta pertolongan. 10 detik lamanya saya terjebak dalam kondisi itu. huppppp,, satu gelas lebih air kolam sudah tertelan, saat mencoba menghirup udara di permukaan. Panik. Gemetar.

Untungnya, penjaga kolam sigap mengangkat saya dengan kedua tangannya. Saya terduduk dipinggir kolam, sambil memuntahkan air, dan tentunya menangis tersedu-sedu. Bapak, dengan rona wajah yang cemas bercampur panik, langsung menghampiri. Menanyakan kenapa saya bisa naik waterboom itu. saya pun menceritakannya sambil tetap menangis dan sedikit shcok.

Sore itu, kami pamit kepada rekan-rekan ayah. Sebuah topi, yang menjadi topi favorit saya saat itu, harus tertinggal di kolam renang yang menyisakan kenangan mengerikan. Gara-gara topi tersebut, saya menangis dan terus merengek selama perjalanan di bus Luragung. Bapak, tak henti - hentinya menenangkanku, sambil memeluk dan berjanji akan membelikanku topi yang baru.


Mengingat kejadian itu, betapa khawatirnya seorang Bapak saat mengetahui anaknya yang berada dalam kondisi berbahaya terlebih kondisi tersebut diciptakan oleh si anak yang polos dan ingin serba tahu. Suatu saat nanti, saya juga akan memiliki perasaan yang sama kepada anak-anak saya. Secara sederhana, seperti itulah kasih sayang seorang Bapak.