Jumat, 18 Agustus 2017
On 03.21 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Sekretaris Umum, PC Pemuda Persis Kota
Bekasi
Muda dan Pemuda adalah dua diksi
yang berasal dari satu kata tetapi berbeda makna. Jika diterjemahkan ke dalam
bahasa inggris, Muda dan Pemuda menjadi Young
and Youth. Young adalah kata
sifat yang bisa dimiliki oleh siapapun dan kapanpun. Sedangkan Youth adalah kata benda yang melekat
pada individu namun terbatas waktu. Maka, menjadi muda bisa dilakukan semua
orang, tak pandang usia. Namun, menjadi Pemuda adalah anugerah usia produktif
bagi mereka yang sedang berada pada rentang usia 16-30 tahun jika merujuk pada
UU No. 40 Tahun 2009.
Banyak orang yang tidak sadar bahwa
dirinya sedang berada di rentang usia pemuda. Mungkin, mereka sadar secara
hitungan angka, tapi mereka tak sadar bahwa menjadi pemuda harus dibarengi
dengan semangat dan jiwa muda. Setidaknya, kita harus melihat kembali bagaimana
negeri ini dipelopori oleh generasi muda saat itu.
Pemuda Masa Kemerdekaan
Generasi yang melahirkan Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928, mereka adalah pemuda-pemuda progresif yang menentang
status quo, bahwa negara mereka bukanlah sapi perah yang harus tunduk dan
pasrah pada kolonialisme Belanda. Mereka adalah pemuda yang berjiwa muda
sehingga terus melakukan terobosan-terobosan demi menyatukan Nusantara.
Pasca runtuhnya kolonialisme Jepang
yang ditandai dengan hancurnya Hiroshima dan Nagasaki, para perjuang terbagi
menjadi dua golongan, yaitu golongan tua dan golongan muda. Keduanya sama-sama
menginginkan kemerdekaan. Bedanya, golongan muda lebih tidak sabar untuk segera
memproklamirkan kemerdekaan sehingga mengharuskan mereka untuk mengintervensi
golongan tua, yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat.
Pasca kemerdekaan, 10 November
1945, lagi-lagi golongan muda dari bagian timur pulau Jawa, tepatnya Surabaya,
dibawah kepemimpinan Bung Tomo yang saat itu berusia 25 tahun, berhasil
menggelorakan semangat ‘muda’ dan memimpin pertempuran melawan Tentara NICA
yang berusaha merebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Tentunya, selain tiga kejadian di
atas, masih banyak lagi fakta-fakta sejarah yang menunjukkan bahwa pemuda
adalah mereka yang memiliki semangat, daya juang, inovasi dan keberanian untuk
menjadi pelopor. Maka tak heran, jika Pramoedya Ananta Toer, dengan lantang
berucap, “Kalian para pemuda, kalau tidak
punya keberanian, maka sama saja dengan hewan ternak! Karena fungsi hidupnya
hanya beternak diri!”
Pemuda di kalangan Sahabat
Membicarakan tentang pemuda,
penulis menjadi teringat kembali tentang sebuah acara yang diisi oleh wakil
ketua STID M. Natsir Bekasi. Sesi tersebut mendiskusikan bahwa sahabat-sahabat
yang ikut berjihad bersama Nabi Muhammad SAW, mayoritasnya adalah pemuda.
Ali bin Abu Thalib saat mengikuti
rasul dan memeluk islam, kurang lebih berusia 10 tahun. Saad bin Abi Waqqash
masuk islam pada usia 17 tahun. Zaid bin Tsabit, dari pemuda Anshar masuk islam
pada usia 11 tahun. Beliau berkeinginan untuk mengikuti perang namun dilarang
oleh Rasul, karena usianya yang belum cukup. Zaid bin tsabit diijinkan
mengikuti Perang Khandaq pada tahun 5 Hijriah. Anas bin Malik juga berusia 10
tahun saat menjadi pelayan Rasulullah, hingga akhirnya beliau menjadi salah
satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis.
Salah satu yang menarik untuk
dijadikan contoh adalah Usamah bin Zaid. Seorang anak dari Zaid bin Haritsah
yang juga sudah menjadi cucu kesayangan Rasulullah SAW. Di usianya yang baru
menginjak 14 tahun, Usamah mengikuti Perang Mut’ah bersama kaum muslimin, untuk
mempertahankan diri dari serangan tentara Romawi yang berjumlah sekitar 20.000
pasukan. Sedangkan, pasukan muslim hanya berjumlah 3000. Pada perang ini,
Usamah harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika sang ayahanda yang
bertugas sebagai komandan perang harus syahid.
Menginjak usia ke-18, saat
Rasulullah SAW wafat, Usamah ditunjuk oleh Abu Bakr Asshidiq menjadi komandan
pasukan perang untuk melawan pasukan Romawi sesuai dengan wasiat Rasulullah
SAW. Saat itu, banyak yang meragukannya, dikarenakan usianya yang belum matang
untuk menjadi pemimpin pasukan.
Semua keraguan umat muslim ditepis
dengan kemenangan telak pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Usamah yang
senantiasa menerapkan nilai-nilai Qur’an dan sunnah rasul berhasil memenangi
pertempuran tersebut. Bahkan, sangat jarang sekali pasukan muslim bisa menang
dan kembali dengan utuh, tanpa ada pasukan yang syahid satupun. Sejak saat itu,
banyak sahabat dan kaum muslim umumnya yang secara usia lebih matang,
menghormati beliau. Tak heran jika Umar bin Khattab menyapanya dengan ucapan, “Marhaban Bi Amiri! (Selamat datang,
wahai komandanku!).
Pemuda Masa kini?
Mencermati dari berbagai kejadian
di atas, penulis merasa malu bahwa pemuda saat ini mungkin tak sehebat dan tak setangguh
pemuda baik di zaman Sahabat maupun Pra dan Pasca Kemerdekaan. Hal ini
merupakan degradasi dari ketidakjelasan identitas pemuda masa kini terlebih
pemuda islam ditengah gempuran moral dan materil di zaman digital.
Pemuda saat ini, cenderung lebih
personal dan individualistis. Mementingkan diri sendiri dan golongannya
meskipun harus dengan berbagai cara. Yang penting, posisi studinya lancar,
pekerjaan aman, gaji besar, dan koneksi luas. Jadi, ketika butuh sesuatu,
tinggal hubungi ‘orang dekat’ atau ‘orang dalam’. Dijamin semuanya beres.
Pemuda kini seakan lupa bahwa mereka juga bagian entitas dari masyarakat yang
komunal.
Lebih menghkawatirkan lagi,
pemuda-pemuda di perkotaan yang tidak mengenyam bangku pendidikan seakan-akan kehilangan gairah mudanya. Mereka
lebih menikmati hidup santai, nongkrong sambil mendendangkan lagu-lagu di
pinggiran jalanan, menjadi calo parkir, bahkan sampai melakukan tindakan
kriminalitas.
Problematika ini harus menjadi
tanggung jawab bersama, terlebih kita para pemuda islam yang berkesempatan
mengenyam bangku pendidikan. Bangkit dan sadarkan saudara-saudara kita bahwa
masa depan masih panjang. Masa depan harus diperjuangkan tidak dengan
bersantai-santai apalagi melakukan tindak kejahatan.
Masa depan islam tak akan gemilang
jika dimotori oleh pemuda-pemuda yang suka dengan budaya instan maupun
rutinitas pekerjaan. Masa depan islam akan cerah jika para pemuda saat ini
kembali bergiat, berkolaborasi, melakukan inovasi, serta mendobrak
kebiasaan-kebiasaan lama yang tak produktif. Rasanya, kita tidak pernah
kehabisan role model pemuda ideal
dalam islam. Hanya saja, kita perlu sesekali membaca sejarah dan membandingkan.
Apakah kita memiliki karakter-karakter pemuda di zaman Rasul? Apakah kita
memilki semangat juang pemuda di zaman pra kemerdekaan?
Walallahu A’am.
*Tulisan dimuat di web pemuda persis kota bekasi
Jumat, 21 April 2017
On 05.33 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Pendidik di Sekolah Alam Natur Islam
Owner Pulangpergi Travel
Dalam buku Self Driving (2016), Pak Rhenald Kasali mengisahkan kejadian yang
menimpa dirinya saat naik pesawat komersial amerika untuk kembali ke tanah air
pada 1998. Beliau saat itu sedang menenteng tas besar dengan satu tangan.
Tangan kirinya mengalami cedera dan dibalut dengan gips yang menggantung pada
kain segitiga. Istrinya yang baru menjadi ibu muda sulit membantu karena sedang
menggendong bayi yang usianya kurang dari satu setengah tahun.
Ditengah ketergopohan, seorang
pramugari bule tiba-tiba menghardiknya. “tas tersebut tak bisa dibawa masuk,
terlalu besar!” ucapnya tegas. “lalu bagaimana?” tanya beliau. “I dont know”, ujar kru bule tadi dengan
cuek. “We will call your agent.”
Ucapnya ketus. Tanpa menunggu solusi dari agen, Pak Rhenald berusaha memasukkan
tas besar tadi ke dalam kabin. Beberapa penumpang lain turut membantu dengan
susah payah. Akhirnya setelah menggeser dan menata tas lainnya, tas besar milik
Pak Rhenald berhasil dimasukkan. Semua penumpang bersorak gembira, sambil
menunjukkan ketidaksukaan pada pelayanan airline yang buruk.
Dalam kisah tersebut, Pak Rhenald
menggambarkan salah satu karakter yang ditunjukkan oleh pramugari bukanlah
ketegasan (assertiveness) melainkan
sikap garang dan agresif. Hal ini ternyata banyak terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dimana kebanyakan orang akan sulit membedakan mana ketegasan mana
agresifitas. Seringkali saat mengantri di sebuah loket pembayaran commuterline,
tiba-tiba ada yang menyelak masuk barisan depan. Dia akan dengan cuek menggeser
antrian lain hanya untuk mendapatkan barisan lebih depan. Siapapun pasti faham
bahwa hal tersebut tidak sopan dan tidak beretika. Indonesia adalah negara yang
menjunjung tinggi adat ketimuran dimana kesopanan dan etika sangat diagungkan.
Kini, rasanya adat ketimuran
perlahan mulai luntur dan hilang. Terlebih di kota besar, dimana setiap orang
seakan dituntut untuk bergerak cepat, bekerja lebih keras, meskipun harus
mengabaikan hak-hak orang lain. Mudah saja untuk mencari contoh prilaku yang
demikian. Perhatikan lampu merah yang ada di sudut kota baik Jakarta maupun
kota satelitnya, Bekasi, Tangerang, Depok, ataupun Bogor. Sangat jarang
ditemukan pengendara motor atau mobil yang tertib lalu lintas. Lampu masih
merah, tapi pengendara sudah menerobos jalanan. Contoh lain, jika di lampu
merah yang padat maka ada area yang berwarna merah dikhususkan untuk pengendara
motor. Namun faktanya, tak sedikit mobil atau angkot yang dengan cueknya
menempati area motor tersebut.
Menjelang dan pasca musim
Pilkada, kita temukan banyak sekali ucapan atau komentar yang bernada negatif,
cenderung mencaci tanpa pandang usia baik di dunia offline maupun online.
Mereka dengan enteng menghina sambil mengeluarkan kata-kata negatif. Semua
jenis hewan mereka sebutkan. Anjing, babi, ayam, kambing bahkan hingga (maaf)
diksi diksi yang bermakna kotoran. Yang terbaru, kasus penghinaan yang dialami
oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang, Zainul Mahdi saat mengantri di sebuah
airport Singapura yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Steven, yang
ternyata juga warga Indonesia.
Prilaku-prilaku demikian, secara
tak sadar sudah sangat membudaya bagi masyarakat perkotaan. Hal ini tentu
bertentangan dengan adat ketimuran yang selama ini menjadi panutan masyarakat
Indonesia. Rasanya, kalau tidak salah
generasi-generasi yang saat ini tumbuh menjadi generasi Milenial, adalah mereka
yang mengenyam pendidikan budi pekerti saat di bangku sekolah dasar dulu. Dalam
pelajaran tersebut setidaknya, sudah diajarkan bagaimana berprilaku yang baik
dan berbudi yang luhur. Namun, kelemahanya adalah budi pekerti hanya diajarkan
dalam ranah teoretis dan minus praktik. Maka tidak heran, prilaku negatif dan
tak beretika cenderung berkembang di era digital yang memungkinkan masyarakat
mendapatkan akses secara mudah terhadap informasi.
Dalam ulasan Pak Rhenald,
setidaknya ada tiga jenis karakter bagi kebanyakan masyarakat perkotaan saat
ini. Pertama, mereka yang dominan,
karakter dominan ini bukanlah dalam konteks yang positif. Mereka bertindak dan
berucap terlalu agresif bahkan cenderung garang hanya untuk mempertankan
kebenaran menurut sudut pandang yang subjektif. Dalam kasus yang lebih parah
mereka akan cenderung menggunakan sikap agresifnya untuk mengelak dan
mengabaikan hak-hak orang lain demi pencapaian keinginan pribadi.
Kedua, mereka yang resesif. Karakter ini cenderung pasif dan
terlalu toleran terhadap keinginan orang lain. Bahkan mereka cenderung mengalah
meskipun hak-hak individunya dihilangkan oleh orang lain. Contoh kecilnya, saat
antri dalam pembayarat loket, mereka akan mengalah saat ada orang lain yang
menyelak dengan beralasan tidak ingin memperpanjang masalah.
Nah, di tengah-tengah kedua
karakter tersebut ada karakter ketiga,
yaitu mereka yang pasif-agresif namun sarkastik. Mereka tidak terima diserobot,
tetapi tidak berani menegur atau memperbaik cara-cara yang tidak tepat. Mereka
berbicara kasar, sinis, nyinyir,
tetapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, atau
lewat sosial media dengan nama samaran.
Tentunya, ketiga karakter
tersebut bukanlah karakter ideal. Maka untuk mengimbanginya perlu ditanamkan
sebuah sikap ketegasan (assertiveness)
yang proporsional. Sikap assertive
adalah sikap yang mampu mengungkapkan ketidaknyamanan dan unek-unek secara
terbuka namun dengan seni yang tinggi tanpa merendahkan martabat orang lain.
Malah mereka yang dikritik dapat menerima secara respek karena disampaikan
dengan cara yang halus, santun, dan tidak menyakiti perasaan. Sikap ini tidak
akan didapat secara tiba-tiba. Butuh waktu dan latihan untuk menumbuh kembangkan
sikap assertive. Akan lebih baik jika sikap assertive ini dibiasakan sejak dini
terhadap anak-anak kita.
Bagaimana sikap assertive
diterapkan? Secara sederhana dapat kita biasakan dengan mengucapkan kata “maaf”
dan “terimakasih”. Kata “maaf” digunakan saat kita memiliki kesalahan ataupun
saat ingin mengingatkan orang lain. Kata “terimakasih” kita gunakan saat
mendapatkan bantuan sekecil apapun atau saat orang lain yang melakukan
kekhilafan lalu berubah, maka ucapkanlah terimakasih. Kedua kata ini memiliki
efek yang sangat baik jika dibiasakan sejak dini. Kata maaf, yang diikuti oleh
kalimat kritik atau pun peringatan berarti menegur atau mengkritik dengan tegas
namun sopan.
Laiknya di sekolah kami, Sekolah
Alam Natur Islam, anak-anak sudah terbiasa dengan kedua kata super tersebut.
Jika ada temannya yang mengganggu, maka dengan sopan dan tegas, si anak akan
berucap, “Maaf, aku tidak nyaman, Tolong, tidak mengganggu ku lagi”. Di lain
waktu saat sang anak berbuat kesalahan, lalu ada temanya yang mengingatkan,
tidak segan si anak tersebut akan berucap “terimakasih, sudah mengingatkan”. Hal
– hal demikian jika dibiasakan sejak dini, insyaallah akan membentuk karakter
individu yang tegas dan sopan.
Maka, jika kita mendapati orang
yang berkata secara kasar atau garang, belum tentu dia berkarakter tegas, malah
bisa jadi adalah tipe yang agresif. Sebaliknya jika ada orang yang menegur dan
mengingatkan kesalahan orang lain secara tegas dan sopan, maka dia lah yang
berkarakter assertive. Jadi, apakah
kita sudah menerapkan assertiveness
dalam kehidupan kita? Atau jangan-jangan kita masih masuk dalam kategori
agresif, pasif, atau agresif-resesif?
Sabtu, 11 Februari 2017
On 19.47 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Laiknya dalam setiap rumah tangga
selalu ada perbincangan yang menarik. Hal- hal kecil pun bisa berubah menjadi
perbincangan yang serius dan debatable.
Sebagai contoh, kebiasaan menyimpan benda-benda kecil secara sembarangan
seperti dompet, smartphone, charger hingga gunting kuku adalah kebiasaan yang
sebenarnya tidak baik. Namun, karena sudah menjadi kebiasaan rasanya sulit
dirubah. Dari hal-hal tersebut tak ayal, kami berdebat mengenai
kebiasaan-kebiasaan kecilku. Disinilah menariknya membangun rumah tangga. Perlu
lebih dari pemahaman dan juga kesabaran.
Kabar baik datang kepada kami,
hampir sebulan yang lalu. Hal yang ditunggu – tunggu bagi kebanyakan pasangan
yaitu kehamilan. Ya, alhamdulillah hampir dua bulan istri saya tak didatangi
tamu bulanan. Setelah diperiksa secara sederhana menggunakan testpack, garis dua merah muncul
beberapa menit setelah di teteskan urine. Artinya, baik samar maupun jelas
garisnya, testpack menunjukkan positif kehamilan. saya dan istri mengucap
hamdalah dan berbahagia.
Setelah mengetahui kehamilan, kami
jadi lebih berhati-hati dalam bertindak. Misal saat perjalanan menggunakan
sepeda motor, pada setiap polisi tidur atau jalan berlubang, saya akan
memperlambat laju motor hingga melintas dengan mulus dan nyaman. Tidak hanya
perjalanan, sekarang, kami begitu pemilih untuk menyantap makanan. Makanan yang
dibakar atau dimasak setengah matang, lalapan mentah, atau buah nanas yang
super legit sekalipun kami hindari. Oh ya saya lupa, tepatnya istri saya yang
harus menghindari. Kalau suaminya, ya semua makanan boleh dong asal halal.
Dengan demikian, praktis tidak
banyak jenis makanan yang bisa dikonsumsi istri. Hanya makanan yang bersih,
bergizi jelas, dan tidak terlalu beraroma yang bisa dikonsumsi. Beberapa hari
kemudian, permasalahan makanan menjadi serius. Hampir setiap makanan yang biasa
dikonsumsi, kini aromanya menjadi sangat menyebalkan bagi istri. Melihat nasi
saja, raut wajah istri berubah, lalu mulai menyunggingkan bibir sekaligus
menutup hidung seraya berkata,
“hmmm, bau bang ah, ga mau, bikini
mual”
Kalau sudah begitu, ya saya harus
lebih kreatif dalam memilah dan memilih makanan yang cocok. Cocok di lidah,
cocok aromanya, dan juga cocok harganya.
Masak-memasak atau semua hal yang
berkaitan dengan dapur juga terasa menyebalkan bagi istri. Semuanya selalu
membuat mual seluruh isi perut. Begitu kata istri. Makanan yang kami makan
akhir-akhir ini, lebih banyak membeli di warung makan, atau sesekali warung
sate. Tapi istri saya kan tidak boleh mengkonsumsi sate. Jadi biar suami saja
yang menikmatinya.
Nah dari banyak keunikan dan
anomali karakter dari istri saat kehamilan menjadikan saya lebih banyak
belajar. Seperti yang saya tuliskan di awal, menjalani rumah tangga butuh
ekstra kesabaran dan pemahaman. Terlebih, mendampingi istri yang sedang hamil.
Menjadi suami siaga – sebutan untuk
suami pendamping istri hamil (SAPIH), harus selalu bisa menerima jika
disalahkan, meskipun bukan kita sumber masalahnya. Memang, hormon ibu hamil
mudah berubah-ubah yang mengakibatkan kepada perubahan karakter dan kesukaan
dalam waktu yang singkat. Contoh, jika kita salah membelikan makanan, lalu
istri tidak suka. Ya terima saja jika disalahkan. Atau ketika saat mau
bepergian keluar tiba-tiba hujan, ya siap siap saja ketika kita yang
disalahkan.
Hal ini juga berlaku dalam
mengkonsumsi makanan. jika hari ini istri menyukai lontong, maka belum tentu
tiga hari lagi dia menyukai lontong. Jika hari ini istri menyukai daging
kambilng belum tentu besok masih suka. Hal penting yang tidak boleh berubah
adalah menyukai suami, jangan sampai keesokannya menyukai suami tetangga. Itu sangat
berbahaya dan tidak dianjurkan.
Jadi, inti dari semua ini adalah
menjadi seorang suami sudah seharusnya bersabar, tulus dan terus meningkatkan
perhatian serta rasa cinta kepada istri. Kita, para pria, tidak pernah tau
rasanya mual saat hamil. Kita juga tidak pernah tau betapa sakitnya proses
persalinan. Maka, menjadi suami haruslah bersabar dan bersyukur. Buktikan semua
itu dengan pengbadian dan perhatian kepada istri. Ingat, cinta itu tidak butuh
pengorbanan lho. Sekali kita merasa berkorban, maka sejak saat itu kita sudah
merasa tidak tulus. Begitu kata Mbah Sudjiwo Tejo.
Demikian catatan dari saya. Mohon
doanya juga ya supaya istri dan kandungannya sehat selalu. Oh ya tidak lupa,
doa terbaik untuk rekan – rekan pembaca yang masih belum bertemu jodoh. Semoga disegerakan
datangnya jodohmu. Jodoh hanya akan datang kalau Allah mengganggap kita sudah
siap. Tidak perlu baper, cukup berdoa dan berusaha.
Jazakumullah Khoiran Katsiran.
Bogor, 12 Febuari 2017
Selasa, 07 Februari 2017
On 07.10 by Unknown No comments
Mengingat kebaikan orangtua,
rasanya tak ada habisnya. Mereka akan melakukan apapun yang terbaik untuk
anaknya. Meskipun, harta dan nyawa yang menjadi taruhannya. pada suatu hari di
saat saya menginjak kelas 3 SD, saya mengikuti study tour bersama para guru.
Kebetulan, bapak menjadi guru di tempat saya sekolah. Saat itu, study tour
diadakan di sebuah kolam renang, Linggarjati, Kuningan.
Kolam renang terdiri dari beberapa
macam. Ada yang dangkal, sedang, ada juga yang dalamnya sekitar 2 meter, khusus
untuk orang dewasa. Ada kolam yang dilengkapi dengan perosotan mini, ada juga
waterboom yang cukup menantang. Pengunjung cukup ramai saat hari libur seperti
ini.
Di usia yang masih 8 tahun, dengan
tubuh yang tidak terlalu tinggi, saya iseng melihat waterboom yang sangat
menantang. Saya masih ragu, karena saya yakin, waterboom ini mengarah ke kolam
dewasa yang sangat dalam. Tiba-tiba, anak SMP dibelakang saya menggendong, dan
mendorong tubuh kecil ini, untuk menaiki waterboom. Rasanya, saya ingin teriak
dan melompat keluar sambil mendengus kesal. Tapi apa daya, tubuhku tetap
terbawa arus gravitasi, dan dorongan dari papan waterboom yang sangat licin.
Hingga di ujung waterboom, saya berusaha menahan yang pada akhirnya hanya
sia-sia. Terdorong oleh anak-anak SMP dibelakang.
“Bruushhhhh”, seketika saya
tercebur. Saya mendadak panik, saat ujung-ujung kaki dan jemari tak kunjung
menyentuh dasar kolam. Sedangkan kepala, dengan sekuat tenaga berusaha saya angkat
ke permukaan agar bisa menghirup oksigen. Kedua tangan, yang tidak bisa
berenang ini, terus bergerak tak jelas, meminta pertolongan. 10 detik lamanya
saya terjebak dalam kondisi itu. huppppp,, satu gelas lebih air kolam sudah
tertelan, saat mencoba menghirup udara di permukaan. Panik. Gemetar.
Untungnya, penjaga kolam sigap
mengangkat saya dengan kedua tangannya. Saya terduduk dipinggir kolam, sambil
memuntahkan air, dan tentunya menangis tersedu-sedu. Bapak, dengan rona wajah
yang cemas bercampur panik, langsung menghampiri. Menanyakan kenapa saya bisa
naik waterboom itu. saya pun menceritakannya sambil tetap menangis dan sedikit
shcok.
Sore itu, kami pamit kepada
rekan-rekan ayah. Sebuah topi, yang menjadi topi favorit saya saat itu, harus
tertinggal di kolam renang yang menyisakan kenangan mengerikan. Gara-gara topi
tersebut, saya menangis dan terus merengek selama perjalanan di bus Luragung.
Bapak, tak henti - hentinya menenangkanku, sambil memeluk dan berjanji akan
membelikanku topi yang baru.
Mengingat kejadian itu, betapa
khawatirnya seorang Bapak saat mengetahui anaknya yang berada dalam kondisi
berbahaya terlebih kondisi tersebut diciptakan oleh si anak yang polos dan
ingin serba tahu. Suatu saat nanti, saya juga akan memiliki perasaan yang sama
kepada anak-anak saya. Secara sederhana, seperti itulah kasih sayang seorang
Bapak.
Langganan:
Postingan (Atom)