sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Selasa, 07 Februari 2017

On 07.10 by Unknown   No comments
 Oleh Irfan Fauzi

Mengingat kebaikan orangtua, rasanya tak ada habisnya. Mereka akan melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya. Meskipun, harta dan nyawa yang menjadi taruhannya. pada suatu hari di saat saya menginjak kelas 3 SD, saya mengikuti study tour bersama para guru. Kebetulan, bapak menjadi guru di tempat saya sekolah. Saat itu, study tour diadakan di sebuah kolam renang, Linggarjati, Kuningan.

Kolam renang terdiri dari beberapa macam. Ada yang dangkal, sedang, ada juga yang dalamnya sekitar 2 meter, khusus untuk orang dewasa. Ada kolam yang dilengkapi dengan perosotan mini, ada juga waterboom yang cukup menantang. Pengunjung cukup ramai saat hari libur seperti ini.

Di usia yang masih 8 tahun, dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, saya iseng melihat waterboom yang sangat menantang. Saya masih ragu, karena saya yakin, waterboom ini mengarah ke kolam dewasa yang sangat dalam. Tiba-tiba, anak SMP dibelakang saya menggendong, dan mendorong tubuh kecil ini, untuk menaiki waterboom. Rasanya, saya ingin teriak dan melompat keluar sambil mendengus kesal. Tapi apa daya, tubuhku tetap terbawa arus gravitasi, dan dorongan dari papan waterboom yang sangat licin. Hingga di ujung waterboom, saya berusaha menahan yang pada akhirnya hanya sia-sia. Terdorong oleh anak-anak SMP dibelakang.

“Bruushhhhh”, seketika saya tercebur. Saya mendadak panik, saat ujung-ujung kaki dan jemari tak kunjung menyentuh dasar kolam. Sedangkan kepala, dengan sekuat tenaga berusaha saya angkat ke permukaan agar bisa menghirup oksigen. Kedua tangan, yang tidak bisa berenang ini, terus bergerak tak jelas, meminta pertolongan. 10 detik lamanya saya terjebak dalam kondisi itu. huppppp,, satu gelas lebih air kolam sudah tertelan, saat mencoba menghirup udara di permukaan. Panik. Gemetar.

Untungnya, penjaga kolam sigap mengangkat saya dengan kedua tangannya. Saya terduduk dipinggir kolam, sambil memuntahkan air, dan tentunya menangis tersedu-sedu. Bapak, dengan rona wajah yang cemas bercampur panik, langsung menghampiri. Menanyakan kenapa saya bisa naik waterboom itu. saya pun menceritakannya sambil tetap menangis dan sedikit shcok.

Sore itu, kami pamit kepada rekan-rekan ayah. Sebuah topi, yang menjadi topi favorit saya saat itu, harus tertinggal di kolam renang yang menyisakan kenangan mengerikan. Gara-gara topi tersebut, saya menangis dan terus merengek selama perjalanan di bus Luragung. Bapak, tak henti - hentinya menenangkanku, sambil memeluk dan berjanji akan membelikanku topi yang baru.


Mengingat kejadian itu, betapa khawatirnya seorang Bapak saat mengetahui anaknya yang berada dalam kondisi berbahaya terlebih kondisi tersebut diciptakan oleh si anak yang polos dan ingin serba tahu. Suatu saat nanti, saya juga akan memiliki perasaan yang sama kepada anak-anak saya. Secara sederhana, seperti itulah kasih sayang seorang Bapak.

0 komentar:

Posting Komentar