sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Jumat, 18 Agustus 2017

On 03.21 by Unknown   No comments


Oleh Irfan Fauzi
Sekretaris Umum, PC Pemuda Persis Kota Bekasi

Muda dan Pemuda adalah dua diksi yang berasal dari satu kata tetapi berbeda makna. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, Muda dan Pemuda menjadi Young and Youth. Young adalah kata sifat yang bisa dimiliki oleh siapapun dan kapanpun. Sedangkan Youth adalah kata benda yang melekat pada individu namun terbatas waktu. Maka, menjadi muda bisa dilakukan semua orang, tak pandang usia. Namun, menjadi Pemuda adalah anugerah usia produktif bagi mereka yang sedang berada pada rentang usia 16-30 tahun jika merujuk pada UU No. 40 Tahun 2009.

Banyak orang yang tidak sadar bahwa dirinya sedang berada di rentang usia pemuda. Mungkin, mereka sadar secara hitungan angka, tapi mereka tak sadar bahwa menjadi pemuda harus dibarengi dengan semangat dan jiwa muda. Setidaknya, kita harus melihat kembali bagaimana negeri ini dipelopori oleh generasi muda saat itu.

Pemuda Masa Kemerdekaan

Generasi yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, mereka adalah pemuda-pemuda progresif yang menentang status quo, bahwa negara mereka bukanlah sapi perah yang harus tunduk dan pasrah pada kolonialisme Belanda. Mereka adalah pemuda yang berjiwa muda sehingga terus melakukan terobosan-terobosan demi menyatukan Nusantara.

Pasca runtuhnya kolonialisme Jepang yang ditandai dengan hancurnya Hiroshima dan Nagasaki, para perjuang terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan tua dan golongan muda. Keduanya sama-sama menginginkan kemerdekaan. Bedanya, golongan muda lebih tidak sabar untuk segera memproklamirkan kemerdekaan sehingga mengharuskan mereka untuk mengintervensi golongan tua, yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat.

Pasca kemerdekaan, 10 November 1945, lagi-lagi golongan muda dari bagian timur pulau Jawa, tepatnya Surabaya, dibawah kepemimpinan Bung Tomo yang saat itu berusia 25 tahun, berhasil menggelorakan semangat ‘muda’ dan memimpin pertempuran melawan Tentara NICA yang berusaha merebut kembali kemerdekaan Indonesia. 

Tentunya, selain tiga kejadian di atas, masih banyak lagi fakta-fakta sejarah yang menunjukkan bahwa pemuda adalah mereka yang memiliki semangat, daya juang, inovasi dan keberanian untuk menjadi pelopor. Maka tak heran, jika Pramoedya Ananta Toer, dengan lantang berucap, “Kalian para pemuda, kalau tidak punya keberanian, maka sama saja dengan hewan ternak! Karena fungsi hidupnya hanya beternak diri!”

Pemuda di kalangan Sahabat

Membicarakan tentang pemuda, penulis menjadi teringat kembali tentang sebuah acara yang diisi oleh wakil ketua STID M. Natsir Bekasi. Sesi tersebut mendiskusikan bahwa sahabat-sahabat yang ikut berjihad bersama Nabi Muhammad SAW, mayoritasnya adalah pemuda.

Ali bin Abu Thalib saat mengikuti rasul dan memeluk islam, kurang lebih berusia 10 tahun. Saad bin Abi Waqqash masuk islam pada usia 17 tahun. Zaid bin Tsabit, dari pemuda Anshar masuk islam pada usia 11 tahun. Beliau berkeinginan untuk mengikuti perang namun dilarang oleh Rasul, karena usianya yang belum cukup. Zaid bin tsabit diijinkan mengikuti Perang Khandaq pada tahun 5 Hijriah. Anas bin Malik juga berusia 10 tahun saat menjadi pelayan Rasulullah, hingga akhirnya beliau menjadi salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadis.

Salah satu yang menarik untuk dijadikan contoh adalah Usamah bin Zaid. Seorang anak dari Zaid bin Haritsah yang juga sudah menjadi cucu kesayangan Rasulullah SAW. Di usianya yang baru menginjak 14 tahun, Usamah mengikuti Perang Mut’ah bersama kaum muslimin, untuk mempertahankan diri dari serangan tentara Romawi yang berjumlah sekitar 20.000 pasukan. Sedangkan, pasukan muslim hanya berjumlah 3000. Pada perang ini, Usamah harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika sang ayahanda yang bertugas sebagai komandan perang harus syahid.

Menginjak usia ke-18, saat Rasulullah SAW wafat, Usamah ditunjuk oleh Abu Bakr Asshidiq menjadi komandan pasukan perang untuk melawan pasukan Romawi sesuai dengan wasiat Rasulullah SAW. Saat itu, banyak yang meragukannya, dikarenakan usianya yang belum matang untuk menjadi pemimpin pasukan.

Semua keraguan umat muslim ditepis dengan kemenangan telak pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Usamah yang senantiasa menerapkan nilai-nilai Qur’an dan sunnah rasul berhasil memenangi pertempuran tersebut. Bahkan, sangat jarang sekali pasukan muslim bisa menang dan kembali dengan utuh, tanpa ada pasukan yang syahid satupun. Sejak saat itu, banyak sahabat dan kaum muslim umumnya yang secara usia lebih matang, menghormati beliau. Tak heran jika Umar bin Khattab menyapanya dengan ucapan, “Marhaban Bi Amiri! (Selamat datang, wahai komandanku!).

Pemuda Masa kini?

Mencermati dari berbagai kejadian di atas, penulis merasa malu bahwa pemuda saat ini mungkin tak sehebat dan tak setangguh pemuda baik di zaman Sahabat maupun Pra dan Pasca Kemerdekaan. Hal ini merupakan degradasi dari ketidakjelasan identitas pemuda masa kini terlebih pemuda islam ditengah gempuran moral dan materil di zaman digital.

Pemuda saat ini, cenderung lebih personal dan individualistis. Mementingkan diri sendiri dan golongannya meskipun harus dengan berbagai cara. Yang penting, posisi studinya lancar, pekerjaan aman, gaji besar, dan koneksi luas. Jadi, ketika butuh sesuatu, tinggal hubungi ‘orang dekat’ atau ‘orang dalam’. Dijamin semuanya beres. Pemuda kini seakan lupa bahwa mereka juga bagian entitas dari masyarakat yang komunal.

Lebih menghkawatirkan lagi, pemuda-pemuda di perkotaan yang tidak mengenyam bangku pendidikan  seakan-akan kehilangan gairah mudanya. Mereka lebih menikmati hidup santai, nongkrong sambil mendendangkan lagu-lagu di pinggiran jalanan, menjadi calo parkir, bahkan sampai melakukan tindakan kriminalitas.

Problematika ini harus menjadi tanggung jawab bersama, terlebih kita para pemuda islam yang berkesempatan mengenyam bangku pendidikan. Bangkit dan sadarkan saudara-saudara kita bahwa masa depan masih panjang. Masa depan harus diperjuangkan tidak dengan bersantai-santai apalagi melakukan tindak kejahatan.

Masa depan islam tak akan gemilang jika dimotori oleh pemuda-pemuda yang suka dengan budaya instan maupun rutinitas pekerjaan. Masa depan islam akan cerah jika para pemuda saat ini kembali bergiat, berkolaborasi, melakukan inovasi, serta mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama yang tak produktif. Rasanya, kita tidak pernah kehabisan role model pemuda ideal dalam islam. Hanya saja, kita perlu sesekali membaca sejarah dan membandingkan. Apakah kita memiliki karakter-karakter pemuda di zaman Rasul? Apakah kita memilki semangat juang pemuda di zaman pra kemerdekaan?

Walallahu A’am.

*Tulisan dimuat di web pemuda persis kota bekasi



Jumat, 21 April 2017

On 05.33 by Unknown   No comments
Oleh Irfan Fauzi

Pendidik di Sekolah Alam Natur Islam
Owner Pulangpergi Travel


Dalam buku Self Driving (2016), Pak Rhenald Kasali mengisahkan kejadian yang menimpa dirinya saat naik pesawat komersial amerika untuk kembali ke tanah air pada 1998. Beliau saat itu sedang menenteng tas besar dengan satu tangan. Tangan kirinya mengalami cedera dan dibalut dengan gips yang menggantung pada kain segitiga. Istrinya yang baru menjadi ibu muda sulit membantu karena sedang menggendong bayi yang usianya kurang dari satu setengah tahun.

Ditengah ketergopohan, seorang pramugari bule tiba-tiba menghardiknya. “tas tersebut tak bisa dibawa masuk, terlalu besar!” ucapnya tegas. “lalu bagaimana?” tanya beliau. “I dont know”, ujar kru bule tadi dengan cuek. “We will call your agent.” Ucapnya ketus. Tanpa menunggu solusi dari agen, Pak Rhenald berusaha memasukkan tas besar tadi ke dalam kabin. Beberapa penumpang lain turut membantu dengan susah payah. Akhirnya setelah menggeser dan menata tas lainnya, tas besar milik Pak Rhenald berhasil dimasukkan. Semua penumpang bersorak gembira, sambil menunjukkan ketidaksukaan pada pelayanan airline yang buruk.

Dalam kisah tersebut, Pak Rhenald menggambarkan salah satu karakter yang ditunjukkan oleh pramugari bukanlah ketegasan (assertiveness) melainkan sikap garang dan agresif. Hal ini ternyata banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari dimana kebanyakan orang akan sulit membedakan mana ketegasan mana agresifitas. Seringkali saat mengantri di sebuah loket pembayaran commuterline, tiba-tiba ada yang menyelak masuk barisan depan. Dia akan dengan cuek menggeser antrian lain hanya untuk mendapatkan barisan lebih depan. Siapapun pasti faham bahwa hal tersebut tidak sopan dan tidak beretika. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran dimana kesopanan dan etika sangat diagungkan.

Kini, rasanya adat ketimuran perlahan mulai luntur dan hilang. Terlebih di kota besar, dimana setiap orang seakan dituntut untuk bergerak cepat, bekerja lebih keras, meskipun harus mengabaikan hak-hak orang lain. Mudah saja untuk mencari contoh prilaku yang demikian. Perhatikan lampu merah yang ada di sudut kota baik Jakarta maupun kota satelitnya, Bekasi, Tangerang, Depok, ataupun Bogor. Sangat jarang ditemukan pengendara motor atau mobil yang tertib lalu lintas. Lampu masih merah, tapi pengendara sudah menerobos jalanan. Contoh lain, jika di lampu merah yang padat maka ada area yang berwarna merah dikhususkan untuk pengendara motor. Namun faktanya, tak sedikit mobil atau angkot yang dengan cueknya menempati area motor tersebut.

Menjelang dan pasca musim Pilkada, kita temukan banyak sekali ucapan atau komentar yang bernada negatif, cenderung mencaci tanpa pandang usia baik di dunia offline maupun online. Mereka dengan enteng menghina sambil mengeluarkan kata-kata negatif. Semua jenis hewan mereka sebutkan. Anjing, babi, ayam, kambing bahkan hingga (maaf) diksi diksi yang bermakna kotoran. Yang terbaru, kasus penghinaan yang dialami oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang, Zainul Mahdi saat mengantri di sebuah airport Singapura yang dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Steven, yang ternyata juga warga Indonesia.

Prilaku-prilaku demikian, secara tak sadar sudah sangat membudaya bagi masyarakat perkotaan. Hal ini tentu bertentangan dengan adat ketimuran yang selama ini menjadi panutan masyarakat Indonesia.  Rasanya, kalau tidak salah generasi-generasi yang saat ini tumbuh menjadi generasi Milenial, adalah mereka yang mengenyam pendidikan budi pekerti saat di bangku sekolah dasar dulu. Dalam pelajaran tersebut setidaknya, sudah diajarkan bagaimana berprilaku yang baik dan berbudi yang luhur. Namun, kelemahanya adalah budi pekerti hanya diajarkan dalam ranah teoretis dan minus praktik. Maka tidak heran, prilaku negatif dan tak beretika cenderung berkembang di era digital yang memungkinkan masyarakat mendapatkan akses secara mudah terhadap informasi.

Dalam ulasan Pak Rhenald, setidaknya ada tiga jenis karakter bagi kebanyakan masyarakat perkotaan saat ini. Pertama, mereka yang dominan, karakter dominan ini bukanlah dalam konteks yang positif. Mereka bertindak dan berucap terlalu agresif bahkan cenderung garang hanya untuk mempertankan kebenaran menurut sudut pandang yang subjektif. Dalam kasus yang lebih parah mereka akan cenderung menggunakan sikap agresifnya untuk mengelak dan mengabaikan hak-hak orang lain demi pencapaian keinginan pribadi.

Kedua, mereka yang resesif. Karakter ini cenderung pasif dan terlalu toleran terhadap keinginan orang lain. Bahkan mereka cenderung mengalah meskipun hak-hak individunya dihilangkan oleh orang lain. Contoh kecilnya, saat antri dalam pembayarat loket, mereka akan mengalah saat ada orang lain yang menyelak dengan beralasan tidak ingin memperpanjang masalah.

Nah, di tengah-tengah kedua karakter tersebut ada karakter ketiga, yaitu mereka yang pasif-agresif namun sarkastik. Mereka tidak terima diserobot, tetapi tidak berani menegur atau memperbaik cara-cara yang tidak tepat. Mereka berbicara kasar, sinis, nyinyir, tetapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, atau lewat sosial media dengan nama samaran.

Tentunya, ketiga karakter tersebut bukanlah karakter ideal. Maka untuk mengimbanginya perlu ditanamkan sebuah sikap ketegasan (assertiveness) yang proporsional. Sikap assertive adalah sikap yang mampu mengungkapkan ketidaknyamanan dan unek-unek secara terbuka namun dengan seni yang tinggi tanpa merendahkan martabat orang lain. Malah mereka yang dikritik dapat menerima secara respek karena disampaikan dengan cara yang halus, santun, dan tidak menyakiti perasaan. Sikap ini tidak akan didapat secara tiba-tiba. Butuh waktu dan latihan untuk menumbuh kembangkan sikap assertive. Akan lebih baik jika sikap assertive ini dibiasakan sejak dini terhadap anak-anak kita.

Bagaimana sikap assertive diterapkan? Secara sederhana dapat kita biasakan dengan mengucapkan kata “maaf” dan “terimakasih”. Kata “maaf” digunakan saat kita memiliki kesalahan ataupun saat ingin mengingatkan orang lain. Kata “terimakasih” kita gunakan saat mendapatkan bantuan sekecil apapun atau saat orang lain yang melakukan kekhilafan lalu berubah, maka ucapkanlah terimakasih. Kedua kata ini memiliki efek yang sangat baik jika dibiasakan sejak dini. Kata maaf, yang diikuti oleh kalimat kritik atau pun peringatan berarti menegur atau mengkritik dengan tegas namun sopan.

Laiknya di sekolah kami, Sekolah Alam Natur Islam, anak-anak sudah terbiasa dengan kedua kata super tersebut. Jika ada temannya yang mengganggu, maka dengan sopan dan tegas, si anak akan berucap, “Maaf, aku tidak nyaman, Tolong, tidak mengganggu ku lagi”. Di lain waktu saat sang anak berbuat kesalahan, lalu ada temanya yang mengingatkan, tidak segan si anak tersebut akan berucap “terimakasih, sudah mengingatkan”. Hal – hal demikian jika dibiasakan sejak dini, insyaallah akan membentuk karakter individu yang tegas dan sopan.

Maka, jika kita mendapati orang yang berkata secara kasar atau garang, belum tentu dia berkarakter tegas, malah bisa jadi adalah tipe yang agresif. Sebaliknya jika ada orang yang menegur dan mengingatkan kesalahan orang lain secara tegas dan sopan, maka dia lah yang berkarakter assertive. Jadi, apakah kita sudah menerapkan assertiveness dalam kehidupan kita? Atau jangan-jangan kita masih masuk dalam kategori agresif, pasif, atau agresif-resesif?



Sabtu, 11 Februari 2017

On 19.47 by Unknown   No comments

Oleh Irfan Fauzi


Laiknya dalam setiap rumah tangga selalu ada perbincangan yang menarik. Hal- hal kecil pun bisa berubah menjadi perbincangan yang serius dan debatable. Sebagai contoh, kebiasaan menyimpan benda-benda kecil secara sembarangan seperti dompet, smartphone, charger hingga gunting kuku adalah kebiasaan yang sebenarnya tidak baik. Namun, karena sudah menjadi kebiasaan rasanya sulit dirubah. Dari hal-hal tersebut tak ayal, kami berdebat mengenai kebiasaan-kebiasaan kecilku. Disinilah menariknya membangun rumah tangga. Perlu lebih dari pemahaman dan juga kesabaran.

Kabar baik datang kepada kami, hampir sebulan yang lalu. Hal yang ditunggu – tunggu bagi kebanyakan pasangan yaitu kehamilan. Ya, alhamdulillah hampir dua bulan istri saya tak didatangi tamu bulanan. Setelah diperiksa secara sederhana menggunakan testpack, garis dua merah muncul beberapa menit setelah di teteskan urine. Artinya, baik samar maupun jelas garisnya, testpack menunjukkan positif kehamilan. saya dan istri mengucap hamdalah dan berbahagia.

Setelah mengetahui kehamilan, kami jadi lebih berhati-hati dalam bertindak. Misal saat perjalanan menggunakan sepeda motor, pada setiap polisi tidur atau jalan berlubang, saya akan memperlambat laju motor hingga melintas dengan mulus dan nyaman. Tidak hanya perjalanan, sekarang, kami begitu pemilih untuk menyantap makanan. Makanan yang dibakar atau dimasak setengah matang, lalapan mentah, atau buah nanas yang super legit sekalipun kami hindari. Oh ya saya lupa, tepatnya istri saya yang harus menghindari. Kalau suaminya, ya semua makanan boleh dong asal halal.

Dengan demikian, praktis tidak banyak jenis makanan yang bisa dikonsumsi istri. Hanya makanan yang bersih, bergizi jelas, dan tidak terlalu beraroma yang bisa dikonsumsi. Beberapa hari kemudian, permasalahan makanan menjadi serius. Hampir setiap makanan yang biasa dikonsumsi, kini aromanya menjadi sangat menyebalkan bagi istri. Melihat nasi saja, raut wajah istri berubah, lalu mulai menyunggingkan bibir sekaligus menutup hidung seraya berkata,

“hmmm, bau bang ah, ga mau, bikini mual”

Kalau sudah begitu, ya saya harus lebih kreatif dalam memilah dan memilih makanan yang cocok. Cocok di lidah, cocok aromanya, dan juga cocok harganya.

Masak-memasak atau semua hal yang berkaitan dengan dapur juga terasa menyebalkan bagi istri. Semuanya selalu membuat mual seluruh isi perut. Begitu kata istri. Makanan yang kami makan akhir-akhir ini, lebih banyak membeli di warung makan, atau sesekali warung sate. Tapi istri saya kan tidak boleh mengkonsumsi sate. Jadi biar suami saja yang menikmatinya.

Nah dari banyak keunikan dan anomali karakter dari istri saat kehamilan menjadikan saya lebih banyak belajar. Seperti yang saya tuliskan di awal, menjalani rumah tangga butuh ekstra kesabaran dan pemahaman. Terlebih, mendampingi istri yang sedang hamil.

Menjadi suami siaga – sebutan untuk suami pendamping istri hamil (SAPIH), harus selalu bisa menerima jika disalahkan, meskipun bukan kita sumber masalahnya. Memang, hormon ibu hamil mudah berubah-ubah yang mengakibatkan kepada perubahan karakter dan kesukaan dalam waktu yang singkat. Contoh, jika kita salah membelikan makanan, lalu istri tidak suka. Ya terima saja jika disalahkan. Atau ketika saat mau bepergian keluar tiba-tiba hujan, ya siap siap saja ketika kita yang disalahkan.

Hal ini juga berlaku dalam mengkonsumsi makanan. jika hari ini istri menyukai lontong, maka belum tentu tiga hari lagi dia menyukai lontong. Jika hari ini istri menyukai daging kambilng belum tentu besok masih suka. Hal penting yang tidak boleh berubah adalah menyukai suami, jangan sampai keesokannya menyukai suami tetangga. Itu sangat berbahaya dan tidak dianjurkan.

Jadi, inti dari semua ini adalah menjadi seorang suami sudah seharusnya bersabar, tulus dan terus meningkatkan perhatian serta rasa cinta kepada istri. Kita, para pria, tidak pernah tau rasanya mual saat hamil. Kita juga tidak pernah tau betapa sakitnya proses persalinan. Maka, menjadi suami haruslah bersabar dan bersyukur. Buktikan semua itu dengan pengbadian dan perhatian kepada istri. Ingat, cinta itu tidak butuh pengorbanan lho. Sekali kita merasa berkorban, maka sejak saat itu kita sudah merasa tidak tulus. Begitu kata Mbah Sudjiwo Tejo.

Demikian catatan dari saya. Mohon doanya juga ya supaya istri dan kandungannya sehat selalu. Oh ya tidak lupa, doa terbaik untuk rekan – rekan pembaca yang masih belum bertemu jodoh. Semoga disegerakan datangnya jodohmu. Jodoh hanya akan datang kalau Allah mengganggap kita sudah siap. Tidak perlu baper, cukup berdoa dan berusaha.

Jazakumullah Khoiran Katsiran.



Bogor, 12 Febuari 2017

Selasa, 07 Februari 2017

On 07.10 by Unknown   No comments
 Oleh Irfan Fauzi

Mengingat kebaikan orangtua, rasanya tak ada habisnya. Mereka akan melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya. Meskipun, harta dan nyawa yang menjadi taruhannya. pada suatu hari di saat saya menginjak kelas 3 SD, saya mengikuti study tour bersama para guru. Kebetulan, bapak menjadi guru di tempat saya sekolah. Saat itu, study tour diadakan di sebuah kolam renang, Linggarjati, Kuningan.

Kolam renang terdiri dari beberapa macam. Ada yang dangkal, sedang, ada juga yang dalamnya sekitar 2 meter, khusus untuk orang dewasa. Ada kolam yang dilengkapi dengan perosotan mini, ada juga waterboom yang cukup menantang. Pengunjung cukup ramai saat hari libur seperti ini.

Di usia yang masih 8 tahun, dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, saya iseng melihat waterboom yang sangat menantang. Saya masih ragu, karena saya yakin, waterboom ini mengarah ke kolam dewasa yang sangat dalam. Tiba-tiba, anak SMP dibelakang saya menggendong, dan mendorong tubuh kecil ini, untuk menaiki waterboom. Rasanya, saya ingin teriak dan melompat keluar sambil mendengus kesal. Tapi apa daya, tubuhku tetap terbawa arus gravitasi, dan dorongan dari papan waterboom yang sangat licin. Hingga di ujung waterboom, saya berusaha menahan yang pada akhirnya hanya sia-sia. Terdorong oleh anak-anak SMP dibelakang.

“Bruushhhhh”, seketika saya tercebur. Saya mendadak panik, saat ujung-ujung kaki dan jemari tak kunjung menyentuh dasar kolam. Sedangkan kepala, dengan sekuat tenaga berusaha saya angkat ke permukaan agar bisa menghirup oksigen. Kedua tangan, yang tidak bisa berenang ini, terus bergerak tak jelas, meminta pertolongan. 10 detik lamanya saya terjebak dalam kondisi itu. huppppp,, satu gelas lebih air kolam sudah tertelan, saat mencoba menghirup udara di permukaan. Panik. Gemetar.

Untungnya, penjaga kolam sigap mengangkat saya dengan kedua tangannya. Saya terduduk dipinggir kolam, sambil memuntahkan air, dan tentunya menangis tersedu-sedu. Bapak, dengan rona wajah yang cemas bercampur panik, langsung menghampiri. Menanyakan kenapa saya bisa naik waterboom itu. saya pun menceritakannya sambil tetap menangis dan sedikit shcok.

Sore itu, kami pamit kepada rekan-rekan ayah. Sebuah topi, yang menjadi topi favorit saya saat itu, harus tertinggal di kolam renang yang menyisakan kenangan mengerikan. Gara-gara topi tersebut, saya menangis dan terus merengek selama perjalanan di bus Luragung. Bapak, tak henti - hentinya menenangkanku, sambil memeluk dan berjanji akan membelikanku topi yang baru.


Mengingat kejadian itu, betapa khawatirnya seorang Bapak saat mengetahui anaknya yang berada dalam kondisi berbahaya terlebih kondisi tersebut diciptakan oleh si anak yang polos dan ingin serba tahu. Suatu saat nanti, saya juga akan memiliki perasaan yang sama kepada anak-anak saya. Secara sederhana, seperti itulah kasih sayang seorang Bapak.

Sabtu, 24 Desember 2016

On 16.47 by Unknown   No comments

Oleh Irfan Fauzi
Guru Sekolah Alam Natur Islam


Hari rabu (14/12), di sekolah kami baru selesai mengadakan kegiatan olahrga rutinan, yang diadakan dua kali dalam setahun. Kami menyebutnya Sani Sport Day (SSD). Dalam perhelatan kegiatan ini, seluruh siswa diikutkan dalam berbagai permainan outbond maupun olahraga. Ada Mousetrap, Dutchball, Bola Tangan, Futsal, Badminton, Bakiak, Tarik tambang, barongsai, panahan (archery), pipa bocor, hingga yang paling menantang adalah flying fox.

Selama saya hidup, baru sekali menjajal flying fox dengan ketinggian sekitar 6-7 meter. Itupun saya ikuti saat outbond bersama rekan-rekan les inggris di Pare pada 2015 silam. Rasanya, baru menaiki tangga saja otot-otot disekujur tubuh mendadak lemas. Apalagi saat berdiri di papan pijakan sambil melihat ke bawah. Saya mendadak mual dan pucat. Ini biasanya terjadi bagi para peluncur pemula. Dilalahnya, pada hari rabu kemarin, saya ditunjuk sebagai ketua panitia acara SSD yang salah satu permainannya adalah Flying Fox.

Jujur, saya yang banyak kebingungan karena tidak paham tentang peralatan maupun safety equipment flying fox yang harus disediakan. Untungnya, suami rekan kerja saya di sekolah sudah terbiasa dengan aktivitas outbond termasuk flying fox. Namanya Pak Edy.

Lewat beliau, kami mendadak mendapatkan training singkat mengenai peralatan yang harus dipersiapkan serta teknis peluncuran klien dari atas papan pijakan. Setidaknya, untuk keamanan peluncuran dibutuhkan 6-7 orang. Masing-masing bertugas sebagai pemasang webbing (semcam tali pengaman yang digunakan di badan), bilayer, stopper, jump master, dan pelepas webbing di ujung landasan.

Peralatan flying fox yang dibutuhkan, ternyata banyak memakan biaya. Ada wire/tali kapal, pulley single atau tandom, cabiner dengan berbagai tipe, papan pijakan, tangga bambu, tali prusik, tali tambang, katrol, dan peralatan lainnya. Untuk pembelian pulley saja berkisar antara 300 – 400 ribu rupiah. Yang kami butuhkan kurang lebih 3 pulley single. Setelah pengecekan peralatan, kami menarik kembali wire hingga tegang dan aman untuk digunakan menggunakan katrol.

Mengingat persiapan yang singkat, hanya tiga hari sebelum pelaksanaan SSD, kami tak sempat membersihkan wire dengan cara merendamnya menggunakan solar. Menurut Pak Edy, itu membutuhkan waktu seharian. Belum lagi pemasangan wire dari satu pohon ke pohon lainnya. Waktu kami tidak cukup.

Akhirnya, tibalah pelaksanaan SSD. Pagi-pagi sekali kami sudah berkumpul di area lapang basket sekolah, untuk briefing dan menyiapkan seluruh perlengkapan Flying fox. Sekitar 70an siswa yang akan mencoba flying fox hari ini. Kami, terdiri dari 7 orang dengan masing-masng tugas yang berbeda. Ada yang memasang webbing, safety control, jump master, stopper, bilayer dan lain-lain.
Sembari menunggu persiapan flying fox, saya mengisi beberapa games icebreaker di tengah-tengah 70 siswa/i yang sudah excited melihat peralatan yang kami gunakan. Hal ini bertujuan agar siswa siap secara mental dan mengisi kekosongan acara agar siswa tidak jenuh.

Persiapan rampung. Satu persatu siswa mulai berkumpul dengan kelompoknya. Kami membentuk sepuluh kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari siswa kelas 1 sampai kelas 6. Mereka akan bermain berbagai jenis kegiatan outbond dan mini games secara bergantian. Untuk flying fox, kami membagi peluncuran perkelas. Sehingga, saat sudah siap seluruh anggota kelas berkumpul dan mengenakan webbing.


Peluncuran pertama dilakukan oleh siswa kelas 4. Secara fisik, dia mungil tapi pemberani. Pemasangan webbing sudah dilakukan. Dengan tenang, dia menuju ke tangga flying fox. Sebelumnya, sudah saya kaitkan carabiner ke webbing yang dipasang di pinggang. Ini berfungsi untuk pengamanan saat menaiki tangga. Dengan percaya diri siswa tersebut menaiki tangga dan tak lupa membaca doa. Saat di atas pijakan, rekan saya yang bertugas sebagai jump master memastikan semua ikatan webbing terpasang dengan baik. Carabiner yang mengaitkan pulley dengan webbing pun terpasang sempurna.

Jump Master, memberikan kode sambil bertanya kepada stopper, bilayer, dan seluruh tim apakah sudah siap meluncur atau belum. Jempol masing-masing teracung. Artinya peluncuran siap. Tak lama kemudian, siswa tersebut duduk dengan tenang di tepi pijakan. Kedua kakinya bergelantungan. Sedangkan tangannya memegang erat webbing yang terikat pada pulley. Dalam hitungan detik dia mulai meluncur mulus dan stabil.

“Sreettt,,,,,” suara gesekan pulley dengan wire begitu terasa. 
Tapi, peluncuran tetap aman dan lancar. 


Sebelum menyentuh tanah, stopper menarik tambang yang menahan pergerakan meluncurnya siswa. Dan sebelum dia sampai tanah, rekan saya di ujung landasan sudah memegangnya sembari melepas carabiner. Percobaan pertama lancar dan aman.

Semakin lama, kami semakin terbiasa dan sigap dalam mengatur peluncuran flying fox, dari pemasangan webbing hingga pelepasannya. Untuk tujuh puluh siswa, setidaknya kami menghabiskan 3,5 jam. Kami memulai pada pukul 09.00 dan berakhir pada 12.30. Waktu yang cukup cepat untuk seorang pemula seperti kami. Tepat setelah seluruh peluncuran siswa, hujan gerimis perlahan turun. Semakin lama, hujan semakin deras dan membasahi seluruh area sekolah termasuk flying fox. Maka, segera kami rapihkan peralatan sekaligus istrahat. Hal ini tentunya menjadi pengalaman sekaligus pembelajaran yang berharga buat saya.

  






Selasa, 15 November 2016

On 14.49 by Unknown   No comments

Oleh : Irfan Fauzi


"Salah satu hikmah yang juga adalah kenikmatan bagi pasangan halal yang terpisah jarak adalah kerinduan."

Kehidupan awal setelah menikah adalah hari-hari yang membahagiakan. Memandangi wajah istri ketika hendak tidur atau setelah bangun tidur adalah hal yang paling menenangkan sekaligus menegangkan. Pada saat itulah kami tinggal serumah dan berada di kamar yang sama.

Keseharian yang kami jalani setelah menikah tidak terlepas dari euphoria resepsi pernikahan. Saya dan istri, juga adik ipar beserta para ponakan yang menggemaskan , semarak membuka satu persatu kado pernikahan yang kami dapatkan dari sanak saudara maupun kerabat. Kado pernikahan yang kami terima sangat beragam, mulai dari peralatan dapur, peralatan makan, perlengkapan tidur, tas, jam tangan, bingkai foto, hingga kaos organisasi mahasiswa. Yang jelas, kami menerima kado dengan perasaan bahagia .

Selepas berubah status, kami berada di yogya tidak lebih dari 32 jam. Keesokan harinya, yaitu pada kamis malam (15/9) kami beserta keluarga yang terdiri dari dua mobil berangkat ke Indramayu untuk mengunjungi rumahku. Mungkin, istilah jawanya yaitu “Ngunduh Mantu”.

Saya kira tak banyak persiapan yang dilakukan orang tuaku, mengingat baru sehari sebelumnya rombongan keluarga melakukan perjalanan dari Yogya menuju Indramayu. Tak dinyana, saat kami datang ada Uwak ku, orang tua, dan teman-teman ibuku yang menyambut. Hidangan tersedia lengkap. Sambil berbincang kami makan bersama. Satu lagi kejutan yang kami terima yaitu pemutaran film –foto & video – saat ijab qabul dan resepsi pernikahan kami. kami melihatnya dengan senyum-senyum dan juga ada rasa terharu saat momen-momen sakral didokumentasikan.

Keluarga dari Yogya tak bisa berlama-lama di rumahku. Mereka harus melanjutkan perjalanan menuju Jakarta dan Rangkasbitung. Maka tidak sampai satu hari di Indramayu, mereka sudah melanjutkan perjalanan, tentunya tanpa istriku. Saya dan Istri tetap tinggal bersama orang tuaku sambil silaturahim dengan beberapa saudara.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlangsung tiga hari. Selepas tiga hari, saya dan Istri harus berpisah untuk sementara waktu menuntaskan tanggung jawab pekerjaan yang belum selesai. Istri kembali ke Yogya dan saya kembali ke Bekasi. Memang berat ujian jarak yang kami rasakan. Belum juga genap satu minggu kami bersama. Kami harus merentang jarak dan waktu untuk bisa berjumpa kembali dua bulan kemudian. Tapi, kami selalu mengambil hikmah dari setiap kejadian. Salah satu hikmah yang juga adalah kenikmatan bagi pasangan halal yang terpisah jarak adalah ‘kerinduan’.



Jumat, 28 Oktober 2016

On 05.26 by Unknown   No comments

Oleh Irfan Fauzi
Suami Desiana Ratri Suryandari

Setelah akad nikah

Udara Kaliurang memang sejuk. Saya hirup nafas dalam-dalam sambil menikmati kesejukan lereng Gunung Merapi. Bapak dan Ibu ku sudah siap disamping kanan dan kiri. Disusul Adik-adik, Kakek, Uwak. Di belakang, sudah berbaris dua barisan memanjang ke belakang yang menggunakan dress dan batik hijau. Mereka adalah keluarga dan teman-temanku yang mengiringi hingga menuju Masjid.
Kulihat rombongan pengantin wanita sudah mulai berjalan menuju Masjid Al-Ittihad. Kami pun mengikuti di belakang rombongan. Saya melangkah dengan tenang dan sedikit terburu-buru.

“Pelan-pelan Fan, rombongan ny ketinggalan. Udah gak sabar ya? He” celetuk salah satu rombonganku. Saya mulai tersadar dan tersenyum. Saya melangkah terlalu lebar dan meninggalkan rombongan. Saya kontrol diri dan kembali melangkah dengan tenang dan perlahan.

“Assalamuala’ikum...” Kami ucapkan serempak saat memasuki pintu Masjid Al-Ittihad.

“Wa’alaikum salam...” Jawab rombongan pengantin wanita.

Saya langsung dipersilahkan duduk di samping mempelai wanita. Di hadapan kami sudah ada bapak penghulu yang menggunakan baju seperti baju kehakiman berwarna hitam. Di sampingku duduk Bapak dan Calon Bapak Mertua. Di belakang kami, rombongan keluarga pengantin pria dan wanita berbaur. Sedangkan disamping penghulu, saksi dari kedua pihak sudah hadir. Parsel dan Maskawin pun sudah siap.

Acara dimulai ditandai dengan pembacaan basmalah bersama-sama. Om Tono, salah satu paman calon istriku, yang memandu jalannya akad pernikahan pada pagi hari yang membahagiakan itu. Sepatah dua patah kata, disampaikan dengan sangat tenang dan sopan oleh Om Tono. Intinya adalah penerimaan oleh pihak mempelai perempuan, serta menanyai kesediaan kedua belah pihak mempelai. Selanjutnya, penyerahan parsel dari pihak kami, kepada pihak perempuan. Tak lupa maskawin dan seperangkat alat shalat turut di pertunjukkan sebagai simbolis penyerahan.

Memasuki acara inti, suasana semakin syahdu dan mendebarkan. Saya tak henti-hentinya menarik nafas dalam-dalam. Terlebih saat acara sudah dipandu oleh Penghulu. Bapak Penghulu tidak berpanjang-panjang dalam berpesan. Singkat padat dan bermakna. Meski kadang tak berirama. Saya maklumi hal ini, karena beliau mungkin sedikit kesal akan keterlambatan acara akad pagi itu. Beliau berpesan tentang hak dan kewajiban baik suami maupun istri.

Tak berlama lagi, Pak penghulu kembali menanyai kesiapan dan keikhlasan kami untuk dinikahkan, yang langsung kami jawab “Ya, bersedia dan siap”. Lalu, beliau menggenggam tangan saya sambil berucap,

“Bismillahirrahmanirrahim, Anda saudara Irfan Fauzi, S. Pd yang akan dinikahkan dengan Desianar Ratri Suryandari, S. Sos. I?”

“Ya Saya”, Jawabku.

“Saya nikahkan anda saudara Irfan Fauzi S.Pd dengan saudari Desiana Ratri Suryandari, S.Sos.I binti Drs. Heri Bertus Sugeng Riyadi, dengan maskawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas 10 gram dibaaayar, tuuunai!”,
Sahhh Sahh

Deg, deg, deg, jantung mulai berdebar, terlebih saat Pak Penghulu menggerakkan tanganku, dengan maksud untuk segera berucap. Kutarik nafas dalam, dan dalam satu tarikan nafas, saya berucap,

“Saya terima nikahnya saudari Desiana Ratri Suryandari binti Bapak Heri Bertus Sugeng Riyadi dengan maskawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas 10 gram dibayar tunai!”. Tandasku.
Sah? Ucap penghulu..

“Sahh,, Sahh, sahh,,,” ucap saksi dan para rombongan keluarga.

Alhamdulillah.

Selepas itu, lantunan doa mengalir deras dari Pak Penghulu. Kami dan para rombongan turut serta menunduk dan larut dalam kesyahduan doa akad nikah. Sedikit demi sedikit, terdengar suara isak terharu bahagia. Mungkin, dari Ibuku, keluargaku, atau keluarga istriku.

Saya juga hampir menangis, terharu dan bahagia. Yang terbayang dalam benak saya, bahwa sejak detik itu, tugas dan tanggung jawab seorang suami sudah saya emban. Dan ini adalah sebuah amanah yang tak boleh dilewatkan, apalagi disalah gunakan.

Acara doa selesai. Selanjutnya, saya dan istri berdiri sambil melakukan penyerahan maskawin. Beberapa rekan turut mengabadikan gambar kami. Sayangnya, saat itu saya belum sempat mencium kening istri, laiknya di film-film.

Waktu menunjukkan sudah jam sembilan lewat. Bapak penghulu nampak terburu-buru, karena ada jadwal menikahkan dua pasangan lagi. Mungkin, dia ingin menjaga profesionalitas sebagai penghulu, yang tepat waktu. Saya merasa bersalah padanya. Di tawari untuk singgah dan makan pun, Pak Penghulu menolaknya dengan halus. Akhirnya, acara sakral pagi itu, kami akhiri dengan foto bersama di depan Masjid yang menjadi saksi ikatan janji suci kami.