Jumat, 28 Oktober 2016
On 05.26 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Suami Desiana Ratri Suryandari
Setelah akad nikah |
Udara Kaliurang memang sejuk. Saya hirup nafas dalam-dalam
sambil menikmati kesejukan lereng Gunung Merapi. Bapak dan Ibu ku sudah siap
disamping kanan dan kiri. Disusul Adik-adik, Kakek, Uwak. Di belakang, sudah
berbaris dua barisan memanjang ke belakang yang menggunakan dress dan batik
hijau. Mereka adalah keluarga dan teman-temanku yang mengiringi hingga menuju
Masjid.
Kulihat rombongan pengantin wanita sudah mulai berjalan
menuju Masjid Al-Ittihad. Kami pun mengikuti di belakang rombongan. Saya
melangkah dengan tenang dan sedikit terburu-buru.
“Pelan-pelan Fan, rombongan ny ketinggalan. Udah gak sabar
ya? He” celetuk salah satu rombonganku. Saya mulai tersadar dan tersenyum. Saya
melangkah terlalu lebar dan meninggalkan rombongan. Saya kontrol diri dan
kembali melangkah dengan tenang dan perlahan.
“Assalamuala’ikum...” Kami ucapkan serempak saat memasuki
pintu Masjid Al-Ittihad.
“Wa’alaikum salam...” Jawab rombongan pengantin wanita.
Saya langsung dipersilahkan duduk di samping mempelai wanita.
Di hadapan kami sudah ada bapak penghulu yang menggunakan baju seperti baju
kehakiman berwarna hitam. Di sampingku duduk Bapak dan Calon Bapak Mertua. Di
belakang kami, rombongan keluarga pengantin pria dan wanita berbaur. Sedangkan
disamping penghulu, saksi dari kedua pihak sudah hadir. Parsel dan Maskawin pun
sudah siap.
Acara dimulai ditandai dengan pembacaan basmalah
bersama-sama. Om Tono, salah satu paman calon istriku, yang memandu jalannya
akad pernikahan pada pagi hari yang membahagiakan itu. Sepatah dua patah kata,
disampaikan dengan sangat tenang dan sopan oleh Om Tono. Intinya adalah
penerimaan oleh pihak mempelai perempuan, serta menanyai kesediaan kedua belah
pihak mempelai. Selanjutnya, penyerahan parsel dari pihak kami, kepada pihak
perempuan. Tak lupa maskawin dan seperangkat alat shalat turut di pertunjukkan
sebagai simbolis penyerahan.
Memasuki acara inti, suasana semakin syahdu dan mendebarkan.
Saya tak henti-hentinya menarik nafas dalam-dalam. Terlebih saat acara sudah
dipandu oleh Penghulu. Bapak Penghulu tidak berpanjang-panjang dalam berpesan.
Singkat padat dan bermakna. Meski kadang tak berirama. Saya maklumi hal ini,
karena beliau mungkin sedikit kesal akan keterlambatan acara akad pagi itu.
Beliau berpesan tentang hak dan kewajiban baik suami maupun istri.
Tak berlama lagi, Pak penghulu kembali menanyai kesiapan dan
keikhlasan kami untuk dinikahkan, yang langsung kami jawab “Ya, bersedia dan
siap”. Lalu, beliau menggenggam tangan saya sambil berucap,
“Bismillahirrahmanirrahim, Anda saudara Irfan Fauzi, S. Pd
yang akan dinikahkan dengan Desianar Ratri Suryandari, S. Sos. I?”
“Ya Saya”, Jawabku.
“Saya nikahkan anda saudara Irfan Fauzi S.Pd dengan saudari
Desiana Ratri Suryandari, S.Sos.I binti Drs. Heri Bertus Sugeng Riyadi, dengan
maskawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas 10 gram dibaaayar,
tuuunai!”,
Sahhh Sahh |
Deg, deg, deg, jantung mulai berdebar, terlebih saat Pak
Penghulu menggerakkan tanganku, dengan maksud untuk segera berucap. Kutarik
nafas dalam, dan dalam satu tarikan nafas, saya berucap,
“Saya terima nikahnya saudari Desiana Ratri Suryandari binti
Bapak Heri Bertus Sugeng Riyadi dengan maskawin seperangkat alat shalat dan
perhiasan emas 10 gram dibayar tunai!”. Tandasku.
Sah? Ucap penghulu..
“Sahh,, Sahh, sahh,,,” ucap saksi dan para rombongan
keluarga.
Alhamdulillah.
Selepas itu, lantunan doa mengalir deras dari Pak Penghulu.
Kami dan para rombongan turut serta menunduk dan larut dalam kesyahduan doa akad
nikah. Sedikit demi sedikit, terdengar suara isak terharu bahagia. Mungkin,
dari Ibuku, keluargaku, atau keluarga istriku.
Saya juga hampir menangis, terharu dan bahagia. Yang
terbayang dalam benak saya, bahwa sejak detik itu, tugas dan tanggung jawab seorang
suami sudah saya emban. Dan ini adalah sebuah amanah yang tak boleh dilewatkan,
apalagi disalah gunakan.
Acara doa selesai. Selanjutnya, saya dan istri berdiri sambil
melakukan penyerahan maskawin. Beberapa rekan turut mengabadikan gambar kami.
Sayangnya, saat itu saya belum sempat mencium kening istri, laiknya di
film-film.
Waktu menunjukkan sudah jam sembilan lewat. Bapak penghulu
nampak terburu-buru, karena ada jadwal menikahkan dua pasangan lagi. Mungkin, dia
ingin menjaga profesionalitas sebagai penghulu, yang tepat waktu. Saya merasa
bersalah padanya. Di tawari untuk singgah dan makan pun, Pak Penghulu
menolaknya dengan halus. Akhirnya, acara sakral pagi itu, kami akhiri dengan
foto bersama di depan Masjid yang menjadi saksi ikatan janji suci kami.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar