Senin, 03 Oktober 2016
On 06.22 by Unknown No comments
Oleh : Irfan Fauzi
Yogya selalu menjadi kota yang
nyaman bagi saya. Meskipun saya terlahir bukan di Yogya, hati ini rasanya
selalu terpaut dengan kota yang biasa disebut Kota Pelajar ini. Mungkin karena
itulah kenapa saya semakin mantap dengan keputusan bahwa calon pendamping hidup
adalah warga Jogja.
Hari idul adha tahun ini, terpaksa saya tak merasakan empuk dan lezatnya daging kambing atau sapi. Setelah shalat Id dan makan pagi, Saya dan Ayah bergegas ke stasiun. Kami tak ingin ketinggalan kereta Gaya Baru Malam yang akan tiba di stasiun ba'da dhuhur.
Senin siang, 12 September 2016, saya menunggu datangnya kereta di Stasiun Haurgeulis, Indramayu. Ayah masih duduk setia disampingku, sambil memberi nasihat dan wejangan pra nikah. Saya terus mendengarkan dan meresapi setiap kalimat yang keluar darinya. Beliau selalu berpesan untuk hati-hati, jaga diri, jaga sikap, dan jaga lisan. Wejangan yang sederhana namun sarat makna.
Hari itu, saya mencoba menyerah
dengan semua ego yang biasa saya bawa ketika berbicara dengan ayah. Saya
sadar,hari itu adalah hari terakhir dimana saya menjadi tanggungan Ayah dan
beralih menjadi seorang pemimpin keluarga. Tak lama kemudian, sebuah informasi
dari pengeras suara di stasiun berbunyi. Kereta Gaya Baru Malam sudah hampir
tiba. Saya menyalami Ayah dengan penuh harap akan doa-doa beliau.
Kereta mulai berangkat pukul 12.30
WIB. Di dalam kereta saya bertemu dengan dua pemuda yang akan turun distasiun
yang sama dengan saya. Mereka sempat bertanya tujuan saya ke Yogya. Saya agak
ragu untuk jujur. Saya pikir tidak ada salahnya juga mengabarkan kabar gembira
ini. Saya bilang kepada mereka, “ Saya ke Yogya mau nikah Mas “. Awalnya,
mereka heran, mau nikah kenapa berangkat sendirian?, tapi tak lama mereka pun
mendoakan. “ Wah semoga lancar ya”.
Selama didalam kereta, saya terus
menikmati perjalanan yang akan menjadi sejarah dalam hidup. Banyak hal sudah
berubah tentang kereta. Kini, kereta lebih nyaman untuk digunakan. Perjalanan
pun lebih cepat karena hanya berhenti di stasiun-stasiun tertentu. Namun,
kadang saya rindu dengan suara-suara nyaring pedagang yang berteriak, “Poocari,
Mizon, Qua” (baca : Pocarisweat, Mizone, Aqua), mbok-mbok pecel, atau pedagang
batere, headset dan seperangkat pelengkap gadget yang kadang juga dibutuhkan
dalam perjalanan. Saya tak tahu bagaimana nasib mereka sekarang. Transaksi jual
beli di dalam kereta yang dulu laiknya pasar berjalan, kini terintegrasi oleh
tim pedagang berseragam yang disediakan kereta.
Kereta tiba di Lempuyangan 10 menit
lebih cepat dari jadwal. Sebelum keluar dari stasiun yang menjadi pijakan
pertama saat merantau ke Yogya, saya sudah mendapat pesan di BBM dari calon
istriku.
“Ping, Bang aku dah d depan stasiun
ya”.
Kami bertemu kembali setelah dua
bulan yang lalu memendam rindu. Ya, Dua bulan sebelumnya pada 13 juli september
setelah semarak arus mudik lebaran yang padat, saya melakukan khitbah atau lamaran. Kini, dua hari
lagi saya akan melangsungkan akad nikah.
Malam itu, tak ada lagi kata selain
bahagia. Calon istriku dengan senyum manisnya, menyapa lalu mengajakku
berkeliling dan bernostalgia tentang cerita cinta yang pernah dirajut di Yogya.
Kami mengulang romantisme masa-masa bahagia di Yogya. Menyambangi tempat makan
sambil duduk lama dan bercerita tentang perasaan rindu dan kangen, yang saya
rasa tak ada bedanya, tapi sama manisnya.
Di sebuah tempat makan sederhana,
dekat kampus UIN, kami berbagi cerita dan rasa. Saya pesan Nasi Goreng.
Dia-calon istriku- mencoba nikmatnya Cap Cai khas kaki lima. Tak dinyana, kami
bertemu dengan kawan lama. Namanya Ihsan. Dia adalah kawan saat kami menjalani
masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Mantrijeron dulu. Dia bersama pacar barunya,
juga menikmati hidangan yang tak jauh berbeda dengan kami. Akhirnya kami
bertukar cerita dan kembali bernostalgia tentang masa-masa pengabdian di desa
orang, pada tahun 2013 lalu.
Kami tak bisa berlama-lama di
tempat itu. Waktu terasa berputar dengan cepat jika saya bersama calon istri. Saya
menyusun beberapa rencana tempat istirahat malam ini. Bukan di wisma, hotel,
apalagi apartemen. Pilihan jatuh kepada kos seorang kawan di kawasan Papringan.
Tepat pukul 21.00 saya sudah sampai di kos kawan. Disitu, kembali saya melepas
senyum manis calon istri. Malam itu, kami berpisah untuk beberapa jam saja. Tidak
banyak kata yang terucap selain ucapan, “hati-hati ya dinda, sampai jumpa esok
hari” Serta senyum ikhlas dan penuh harap.
Sebagai penutup hari, kututup dengan obrolan
ringan bersama kawan kos ku. Fayakun namanya, tapi biasa kupanggil Mas Fay
karena usianya lebih matang. Sebelum terlelap, tak lupa saya izin kepada
kawanku ini,
“ Bro, aku turu sik yo, capek
banget.e hari ini”.
Dia hanya menjawab, “Yoo”.
Tak lama, saya mulai tak sadar dan mulai masuk
ke alam mimpi sambil berharap hari esok dan hari H semakin lancar dan semakin baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar