Sabtu, 13 Agustus 2016
On 21.43 by Unknown 2 comments
Oleh
Irfan Fauzi
Calon
Suami Desiana Ratri Suryandari
Suasana
arus balik lebaran 2016 masih sangat terasa di jalur Pantura. Deretan kendaraan motor roda dua, empat, atau
kendaraan umum berderet mengantri di sepanjang jalan yang kami lewati. Terlebih
di daerat pintu keluar tol Brebes, atau biasa disebut dengan Brebes Exit
(Brexit). Pemudik beroda dua, tak kenal lelah, terus berjuang menyusuri celah
sempit di antara deretan mobil yang terjebak macet. Adapun pemudik beroda
empat, dengan sabar tanpa membunyikan klaskon mobil, tetap menunggu untuk
menunggu giliran melajukan mobil.
Malam
itu, 12 Juli 2016, aku dan keluarga ditemani dua tiga uwak (kakak dari
orangtua), yaitu Wak Ama, Wak Wating, dan Wak Uud turut berjibaku dalam
semaraknya arus balik. Tapi, niat kami bukanlah untuk mudik apalagi arus balik.
Kami berniat mengikat seorang gadis manis Yogya yang kukenal sejak tiga tahun
silam.
Aku
jadi ingat perkataan seorang teman saat konsultasi masalah peminangan. Menurut
dia, sebaiknya tidak perlu membawa perhiasan atau parsel, cukup membawa diri
dan jangan lupa oleh-oleh khas kampung halaman. Maka, malam itu mobil kecil
yang kami tumpangi selain sesak oleh kami, juga sesak dijejali oleh-oleh khas
kampungku, seperti beras dan beberapa tandan pisang raja yang langsung diambil dari
kebun di kampung. Sayangnya, tidak ada buah mangga yang merupakan ikon khas
Indramayu.
Perjalanan
yang kami tempuh terbilang lancar, karena berlawanan dengan arus balik. Kurang
lebih 10 jam waktu yang ditempuh dari Indramayu menuju Yogya. Sebelum subuh
kami sudah sampai di kota tempatku kuliah dulu. Sesuai rencana, acara khitbah
akan berlangsung pukul delapan pagi. Maka, kami singgah dulu di kampusku sembari
istirahat sejenak, mandi serta sarapan. Untungnya, jadwal perkuliahan belum
berlangsung. Kampuspun tidak terlalu ramai dan aman untuk disinggahi.
Semenjak
sampai di Yogya, aku mulai was-was. Bukan karena grogi menghadapi prosesi
khitbah nanti. Tapi karena ponsel aku, dua-duanya, dalam kondisi mati kehabisan
listrik. Aku tak bisa menghubungi pihak si gadis. Mungkin, mereka juga
merasakan was-was karena belum mendengar kabarku sedari malam. Dalam kondisi
seperti ini, yang kulakukan adalah berbaik sangka bahwa mereka tetap menunggu
kehadiran kita.
Pukul
08.15 WIB, sudah sampai didepan halaman rumah si
Gadis. Suasana rumah nampak sepi. Beberapa saat, belum ada yang menyambut kami
hingga akhirnya datang seorang ibu paruh baya dan si Gadis yang menyambut kami.
Belakangan, kutahu ibu paruh baya ini adalah mertua dari salah satu paman si
Gadis. Pagi itu, makanan ringan khas jogja seperti Bakpia, dan kue kering
lainnya terhidang dengan rapih di atas permadani ruang tengah.
“Sebentar
ya Bang, Pak, Bu, orang tua aku masih di pasar, kirain tadi datangnya siang”,
ucap Gadis sambil senyum tapi grogi.
Kami
pun hanya mengiyakan, sambil tersenyum manis ke arahnya. Melihat kondisi rumah
yang sepi, batinku merespon,
“Ini
sepertinya efek ponsel mati dan terputusnya komunikasi antara aku dengan
keluarga si Gadis sedari malam. Untung, mereka tetap menunggu”.
Tak
lama kemudian, keluarga si Gadis datang dengan anggota keluarga yang lengkap.
Ada dua kakak, adik, dua paman, dan tentu kedua orang tua. Mereka duduk di
samping keluarga kami. Sedangkan aku, duduk di dekat TV dan berseberangan
dengan adik dan orang tua aku.
Mengawali
acara, Paman si Gadis yang biasa dipanggil Pakde Tono mulai berbicara dan
dengan Bahasa Indonesia logat Jogja secara lisan menyambut kedatangan keluarga
dari Indramayu ini. Lalu, menjawab sambutan dari Pakde Tono, Wak Wating menjawabnya
dengan menggunakan bahasa Jawa halus logat Indramayu. Diawali dengan pengantar
serta sedikit basa-basi, hingga akhirnya Pakde Tono mulai berbicara serius namun
dengan raut muka tenang,
“Jadi,
kiranya ada maksud dan tujuan apa Bapak, Ibu, dan Mas Irfan jauh-jauh dari
Indramayu datang kemari?”
Wak
Wating menjawab menggunakan bahasa campuran Jawa dan Indonesia. Singkatnya
seperti ini.
“Jadi
begini, kami datang kemari, pertama untuk mengikat tali silaturahim antara
keluarga kami di Indramayu, dan keluarga di Jogja. Kedua, tentu kami kesini
tidak hanya sekedar silaturahim”
“Kami,
disini, mewakili anak kami, Irfan..” Wak wating berhenti sejenak, sembari
melihat ke arahku,
“
Untuk meminang anak gadis Bapak,” lanjutnya.
“Tapi
sebelumnya, kami ingin bertanya, apakah anak gadis bapak, kalau kata orang
Indramayu mah, Masih Padang tah wis
Peteng?” Kelakar Wak Wating. Maksud Wak, kalau padang : terang, berarti gadis belum ada yang meminang atau
melamar. Tapi, kalau peteng : gelap,
berarti gadis sudah ada yang melamar.
Pak
de Tono pun berbicara langsung lalu memandang ke arah si gadis dan orang tuanya,
mereka menjawab serentak, “ belum bapak-bapak, masih padang”.
Kami,
keluarga Indramayu, sontak tersenyum lega. Lalu Wak Wating melanjtukan kembali,
“kalau
begitu, apakah gadis menerima lamaran Mas Irfan secara ikhlas dan tanpa
paksaan?”
Suasana
hening sejenak, menunggu jawaban si gadis. Semua mata tertuju kepada gadis yang
akan menjawab. Mukanya sedikit memerah sambil tersenyum, lalu menjawab,
“
Ya saya terima dan saya bersedia menjadi calon istrinya mas Irfan”.
Hadirin
sontak mengucakpkan rasa syukur, begitupula denganku yang sudah menjalankan
khitbah atau lamaran dengan lancar dan membahagiakan.
Maka,
acara pagi hari itu, dilanjutkan dengan makan bersama sereta bincang-bincang
antar keluarga. Makanan yang dihidangkan, betul-betul mewakili cita rasa Jogja
yang identik dengan masakan manis. Masakan seperti rendang pun terasa manis di
lidah. Bagiku, yang sudah terbiasa dengan masakan Jogja, rendang yang sedikit
manis menjadi santapan yang cocok dan lezat. Tapi, bagi keluargaku, mencicipi
rendang manis adalah pengalaman baru.
Di
sela-sela waktu makan, Pakde Tono, berpesan kepada calon istriku, bahwa menjadi
seorang istri haruslah taat dan mengikuti keputusan suami. Kemana suami pergi,
maka disitulah istri mendampingi. Beliau sampai-sampai mengatakan, “Seandainya
suami tidur di kolong jembatan, wajiblah bagi istri untuk menemani”. Maka,
muncul lah keyakinan dalam diriku, bahwa keluarga calon istriku,adalah keluarga
yang benar-benar bervisi sakinah, mawadah, dan rahmah.
Menjelang
dhuhur dan setelah mencicip berbagai hidangan yang disediakan, kami berpamitan
kepada keluarga calon istri. Tak lupa, kue dan pisang khas Indramayu sudah
diberikan. Tak dinyana, kami juga dibekali dengan beberapa parsel kue dan salak
Jogja yang dipetik dari Kawasan perkebunan
salak, Turi, Sleman.
salak, Turi, Sleman.
Hari
itu, adalah hari yang membahagiakan bagi kami, dan keluarga calon istriku.
Langkah awal dari cita-cita penyempurnaan separuh agama serta pembentukan
generasi muslim yang selamat dan berkah. Semoga, apa yang sudah kami rencanakan
dan cita-citakan untuk mengarungi biduk rumah tangga, senantiasa di ridhai oleh
Allah SWT. Aaamin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
aaaakkk.... melting fan... semoga dilancarkan yaa... :)
BalasHapusamiiin, datang yaa,
Hapusinsyaallah tgl 14 sept, d Kaliurang