sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Jumat, 25 Juli 2014

On 08.52 by Unknown   No comments


Irfan Fauzi
Mahasiswa Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Sunan Kalijaga

Dimuat di Harian Jogja 1/07/14

Sebuah terma yang menjadi keniscayaan di negeri kita bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang murah. Pendidikan yang kita kenal yaitu pendidikan yang tidak terlepas dari sisi ekonomi. Terma tersebut berlaku di pusat satuan pendidikan yaitu sekolah. Sekolah sebagai institusi formal maupun non formal dalam pemerataan pendidikan tak mampu melepaskan diri dari belenggu sistem ekonomi.
Sudah menjadi lumrah bahwa sekolah membutuhkan biaya. Biaya tersebut dapat dikemas dalam bentuk uang sumbangan pembangunan, uang seragam, uang SPP, uang laboratorium dan pungutan lainnya. Selama uang tersebut digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, menurut hemat penulis hal itu patut didukung. Namun saat pungutan yang dilakukan diluar kepentingan pendidikan dan diluar kewajaran, maka prinsip bisnis lah yang bekerja. Hal ini terlihat dari beberapa kasus pungutan yang tidak wajar, seperti yang terjadi pada salah satu SMA Negeri di Makassar menarik pungutan dalam bentuk sumbangan wajib kepada siswa sebesar 1 juta rupiah  dengan dalih pengadaan infrastruktur (Tempo, 01/08/13). Di kulonprogo DIY juga masih ditemukan pungutan bagi siswa baru di beberapa SMP negeri setempat, padahal Kepala Dinas Pendidikan Kulonprogo sudah melarang pungutan bagi siswa baru (Harian Jogja, 23/06/14)
Dalam hal ini pemerintah sudah mengatur kebijakan mengenai pengelolaah dana pendidikan khususnya dana sumbangan yang di atur dalam PERMENDIKBUD Nomor 44 Tahun 2012. Dalam Pasal 9 menyatakan bahwa satuan pendidikan yang berada di bawah naungan pemerintah (sekolah negeri) tidak diperkenankan menarik pungutan.    Disamping itu pada pasal 11 dinyatakan bahwa sekolah tidak diperkenankan melakukan pungutan kepada orang tua/wali siswa yang tidak mampu secara ekonomi serta dimanfaatkan untuk kesejahteraan komite sekolah maupun lembaga yang menaungi sekolah.
Jika kita cermati beberapa modus operandi pungutan di sekolah, mayoritas berbalut pungutan infrastruktur serta study tour. Sangat disayangkan saat pungutan yang terjadi sudah melanggar PERMENDIKBUD diatas. Disamping itu beberapa sekolah menjadikan pungutan sebagai modus ekonomi, bukan modus pendidikan lagi. Hal ini sama saja dengan menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis bukan sebagai tempat mendidik para calon generasi penerus bangsa.
Dengan kondisi yang seperti ini tentu sangat sulit untuk mewujudkan  peran pendidikan yang dinyatakan oleh Jared Bersntein dalam  All Together Now: Common sense for a fair Economy (2006) bahwa menolong orang miskin untuk memperoleh pendidikan yang baik dan layak merupakan jawaban maksimal untuk menurunkan tingkat kemiskinan suatu negara. Sejalan dengan itu dalam pandangan Stephen P. Heynemen (2002) salah satu ciri untuk mewujudkan pendidikan yang efektif dan terencana dengan baik perlu adanya kesempatan memperoleh pendidikan (equality of access to educational oppurtinity).
Kesempatan untuk memperoleh akses pendidikan mustahil terwujud jika sekolah menerapkan prinsip bisnis dalam pengelolaan sekolah terutama bagi para siswa/i yang orang tua/wali nya tidak mampu secara ekonomis. Pendidikan sebagai kunci dari perang melawan buta aksara (illiteracy) secara perlahan akan kehilangan arah nya untuk mencerdaskan anak bangsa jika masih terjadi praktik pungutan yang melanggar aturan yang ditetapkan.
      Perlu kebijakan yang tegas dari pemerintah khususnya dinas pendidikan daerah setempat untuk mencari usaha solutif atas masalah ini. Perwujudan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 Pasal 53A mengenai pengalokasian akses pendidikan menengah maupun tinggi bagi calon peserta didik yang tidak mampu minimal 20 persen harus benar-benar terrealisasi.
Oleh karena itu, kebijakan yang meringankan siswa secara ekonomis perlu ditingkatkan. Pemerintah DIY yang membebaskan siswa SMA dari pungutan sejak november 2013 patut dicontoh. Disamping itu perlu kesadaran dari pengelola sekolah untuk bersama-sama menciptakan akses pendidikan yang merata bagi semua kalangan siswa dengan memberikan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu. Sebab, pada dasarnya siswa yang menempuh pendidikan saat ini adalah penerus estafeta kepemimpinan negeri ini 10 atau 20 tahun mendatang.

0 komentar:

Posting Komentar