sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Selasa, 23 September 2014

On 22.59 by Unknown   No comments

Oleh Irfan Fauzi
Mahasiswa Pendidikan Fisikan Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Sunan Kalijaga

Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis karena letaknya yang berada di sekitar garis khatulistiwa. Iklim tropis menyebabkan kondisi panas dan curah hujan yang tinggi setiap tahun. Kelembapan udara di Indonesia bisa dibilang cukup tinggi karena hampir 70% wilayah Indonesia terdiri dari perairan.  Disamping itu Indonesia juga memiliki iklim musim yang disebabkan karenan angin musim barat dan angin musim timur sehingga menyebabkan musim hujan dan musim kemarau di seluruh wilayah indonesia. Musim kemarau terjadi antara bulan April hingga bulan Oktober sedangkan musim hujan biasanya terjadi antara bulan Oktober hingga bulan April.
Saat ini hampir di seluruh wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Di saat musim kemarau, curah hujan sangat kecil sehingga jarang ditemukannya hujan di berbagai tempat di Indonesia. Begitu pula dengan Yogyakarta. Akibat hujan yang tidak kunjung turun, cadangan air semakin menipis hingga muncul lah istilah kekeringan air. Seperti yang terjadi di daerah Muja-Muju Umbulharjo yang mengeluhkan lahan pertanian yang kering, kemudian Daerah Playen, Gunung Kidul dan Imogiri, Bantul yang kesulitan mendapatkan air bersih (Harian Jogja,16/9/2014).

Kekeringan seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah siklus tahunan. Pola pikir masyarakat terkadang berpikir jika musim hujan datang, maka konsekuensinya adalah banjir. Sedangkan saat musim kemarau datang maka konsekuensinya adalah kekeringan. Ini pola pikir yang harus dirubah. Kekeringan pada dasarnya bukanlah fenomena alam saat musim kemarau tiba, tapi karena dampak dari pengelolaan air yang salah kaprah. Kekeringan terjadi tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang sedikit tetapi juga karena privatisasi air oleh segelintir kaum pemilik modal sehingga air sebagai sumber daya alam yang seharusnya gratis dan mudah dicari kini tidak lagi. Kita harus membayar dan membeli air kepada pemilik modal. Disamping itu eksploitasi hutan secara terus menerus menyebabkan hilangnya fungsi hutan yang seharusnya dapat berperan sebagai penyimpan cadangan air di dalam tanah. Akhirnya air hujan yang harusnya tersimpan kini langsung mengalir deras menuju laut, bahkan bisa menyebabkan banjir pada kawasan di bawahnya.
Pembangunan tempat tinggal skala besar seperti hotel, supermarket dan apartemen juga menjadi penyebab kekeringan. Kini regulasi izin pembangunan hotel dan apartemen sepertinya sangat longgar, terbukti dari semakin banyaknya pembangunan hotel dan supermarket di perbatasan Kabupaten Sleman-Kota Yogya. Hal ini menyebabkan rusaknya siklus hidrologi. Air pun sulit untuk meresap ke dalam tanah yang tertutup bangunan, beton, dan aspal. Cadangan air merosot drastis, air semakin turun jauh di bawah tanah. Lahan perkebunan kering dan tandus, tanah persawahan retak, sungai pun tak lagi mengalir. Sehingga air hujan lah satu-satunya harapan masyarakat.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap masalah ini? Pertama pemerintah, sebagai pihak yang menjalankan tugas kenegaraan. Seharusnya mampu mengaplikasikan  apa yang sudah di atur dalam Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya dalam UU No. 11 Tahun 2005. Dalam UU tersebut setidaknya Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan adalah hak dari rakyat yang harus diberikan oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya mampu membatasi privatisasi air oleh segelintir kaum pemodal dengan memberhetikan hak guna air kepada swasta. Disamping itu pemerintah harus membuat program terpadu atau sustainable development program untuk menyelesaikan masalah kekeringan ini. Seperti melakukan reboisasi, pembangunan sumur resapan atau rain water harvesting, distribusi air yang merata ke seluruh irigasi, serta membuat bendungan khusus lahan pertanian.

Kedua, kita sebagai rakyat harus turut menjaga kelestarian air yang ada. Hemat menggunakan air, menjaga kebersihan sungai di sekitar kita, serta mengganti pola tanam dengan mengganti tanaman yang akan ditanam saat musim kemarau dan tahan terhadap kekeringan. Jika kedua pihak di atas dapat berjalan secara sinergis, niscaya kekeringan mampu kita atasi, lahan pertanian pun tumbuh dengan subur, dan ketahanan pangan akan kita dapatkan.


Senin, 15 September 2014

On 19.13 by Unknown   No comments
9 Agustus 2014

Sarjana, sebuah kata penting bagi pemuda-pemudi yang sedang berjuang di bangku kampus. Setiap mahasiswa tentu mendambakan nama tambahan berupa gelar yang di mulai dengan huruf S. Dalam perkembangannya gelar sarjana mengalami penyempitan makna. Jika dahulu gelar sarjana disebut untuk alumnus S1, S2, dan S3 . Tidak heran jika dahulu sebelum organisasi cendekiawan muslim indonesia dengan nama ICMI dibuat, pernah dinamai sebagai Ikatan Sarjana Muslim Indonesia. kini gelar sarjana biasa kita gunakan hanya untuk panggilan alumnus S1.

Pagi itu sekitar pukul 10.30 aku berangkat menuju kampus putih tercinta, UIN Sunan Kalijaga dengan mengendarai Revo 110 cc yang diamanahi ayahku. Tujuan ku berangkat ke kampus saat weekend hanya satu, yaitu Wisuda. Bukan aku yang wisuda, tapi teman-temanku. Teman seperjuangan dalam menempuh studi di kota gudeg. Teman prodi, teman organisasi, teman etnis, teman fakultas, dan teman lainnya.

Gerbang kampus timur yang biasa sepi, kini padat dan ramai dipenuhi oleh para keluarga wisudawan wisudawati. teman-teman mahasiswa yang berasal dari pedesaan, serta minim masyarakat yang ngampus maka mereka pasti akan membawa keluarga besarnya. Tidak hanya orang tua, kakak, atau adik . Saudara dari ayah, ibu, hingga kakek, nenek, bahkan tetangga pun diajak untuk menghadiri wisuda sang mahasiswa. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga si mahasiswa. Karena secara strata sosial seorang sarjana menempati posisi kelas menengah bahkan mampu menempati posisi puncak jika kita mengikuti kelas sosial nya Marx. Sehingga wajar saja hari itu kawasan Gedung Multipurpose,poliklinik, masjid, hingga laboratorium saintek penuh oleh sanak saudara wisudawan wisudawati.

Raut wajah gembira serta gelisah yang menyelimuti para pengunjung MP pagi itu. Aku pun turut menyapu pandangan ke sekitar pintu Keluar gedung Multi Purpose. Hingga muncul beberapa teman yang kutunggu-tunggu. Jabat tangan dengan senyum sumringah menyapaku siang itu. Dengan berbalutkan baju hitam panjang, serta toga di kepalah khas para wisudawan aku mengucapkan selamat kepada mereka. Setelah itu, seakan-akan kami mengiykan analisa yang dikemukakan Don Tapscot dalam bukunya Grown Up digital mengenai net generation. Narsis dan berfoto bersama tak mungkin terlupakan di momen sepenting ini. Itulah ciri khas dari kaum Net Generation.
Belum lama rasanya kami studi di kampus ini. Sekitar 4 tahun yang lalu, dengan muka polos dan status sebagai mahasiswa baru kami bersama-sama menjalin ikatan pertemanan. Saat ini sudah saatnya mereka mengabdikan ilmu yang telah didapat selama studi di luar sana. Di tatanan masyarakat sesungguhnya. Di kehidupan nyata, tempat idealisme dan realitas beradu.

Hingga pukul 13.30, suasana kampus masih ramai dipadati euphoria para wisudawan. Hingga setengah jam kemudian, perlahan suasana kampus kembali sepi. Teman-temanku secara bergilir berpamitan untuk kembali kepada pangkuan keluarga. Hanya beberapa jam saja keceriaan ini hadir, setelahnya mungkin mereka mengalami kegalauan klasik. Setelah wisuda mau kemana? Beruntung bagi yang sudah bekerja. Bagi yang belum pasti mereka memikul beban moral dari ekspektasi keluarga nya, rekan-rekannya, hingga pasanganya.

Seberapa besar badai dan topan menghadangmu, semoga kalian tetap tegar untuk berjuang mengabdikan diri kepada entitas disekitar, agar ilmu yang didapat  bisa diamalkan dan memberi manfaat. Bagaimana pun kalian adalah para sarjana, sebuah gelar akademis yang patut dipertanggunjawabkan selama jantung masih berdegup.  Sampai jumpa kembali Sarjana Abadi !
On 19.10 by Unknown   No comments
Oleh 
Irfan Fauzi
Ketua BPL HMI Cabang Yogyakarta Bidang Litbang

Akhir-akhir ini, masyarakat kembali ‘ramai’ oleh rancangan undang-undang Pilkada tentang Pemilihan Kepala Daerah yang dipilih dan ditentukan melalui anggota DPRD. Polemik ini sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Maret lalu dan bulan September ini kembali muncul ke permukaan. Dari sejumlah parlemen yang ada di DPR, koalisi merah putih yang digawangi oleh Partai Gerindra, Golkar, PPP, PAN, PBB, dan PKS terus mempertahankan keingingannnya untuk meng-goalkan Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD dengan berdalih bahwa Pilkada langsung terlalu memakan biaya yang besar dan memancing konflik horizontal di antara masyarakat.

Dalam hal ini, tentu pro kontra masyarakat tak terbendung. Sebagian memandang hal ini akan memunculkan pola korupsi baru dimana calon kepala daerah yang dicalonkan akan memberikan ‘apapun’  terutama materiil kepada DPRD demi terpilihnya sebagai Kepala Daerah sebagaimana yang diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Ahok (Solopos, 8/9) yang mengatakan “Kalau saya dipilih DPRD, maka tiap hari cuma mikir bagaimana caranya untuk baik-baikin DPRD, main keluar negeri, main golf”. Begitu pula pernyataan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (8/9) bahwa Pilkada melalui DPRD akan bikin korupsi di daerah semakin parah.

Sebagian lainnya beranggapan bahwa dengan pilkada langsung oleh rakyat pun turut membuka keran “money politic” yang sangat deras dengan jangkauan yang luas baik kepada penyelenggara pemilihan, media massa, maupun masyarakat akar rumput. Setidaknya 300 kepala daerah yang masuk bui akibat korupsi di tingkatan daerah.

Sebelum kita turut memperkeruh pro kontra di atas, lebih baik kita tinjau kembali makna demokrasi.  Secara etimologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang dapat diartikan kekuasaan/pemerintahan. Dengan demikian demokrasi dimaksudkan pemerintahan yang menjunjung dan berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan kekuasaan. Secara lebih sederhana lagi Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Jika kita tinjau makna demokrasi secara definitif maka Pilkada tak langsung dengan mekanisme pemilihan yang ditentukan oleh DPRD merupakan sebuah kemunduran dari kedaulatan rakyat karena ‘porsi’ kedaulatan rakyat itu sendiri didominasi oleh elit DPRD.

Pilkada tak langsung secara logis akan ditentukan berdasarkan konsensus suara terbanyak di kalangan elit DPRD. Suara terbanyak yang diambil sangat mungkin sekali tidak berlandaskan pada kapabilitas dari calon kepala daerah melainkan berlandaskan materi, ‘kedekatan’, serta kepentingan pribadi maupun partai. Jika begini, maka Pilkada tak langsung telah menyelewengkan makna dari demokrasi. Dimana suara terbanyak yang akan menang, entah suara yang bermaksud baik maupun suara yang bermaksud buruk. Akan berbahaya jika suara terbanyak yang ada adalah suara yang dilandasi bukan kepentingan rakyat. Kedaulatan rakyat pun tak pernah terwujud.

Disamping itu, Negara kita adalah penganut sistem Presidensial. Dimana Presiden yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat, maka lembaga eksekutif dibawahnya seperti gubernur dan bupati/Walikota harus dipilih langsung oleh rakyat. Sangat mengkhawatirkan jika Kepala Daerah yang terpilih melalui DPRD tidak mendapatkan pengakuan oleh rakyat, karena rakyat tidak memilih langsung.

Di akhir tulisan ini, Penulis ingin mengingatkan bahwa sebaik apapun sistem yang diterapkan, jika pelaku dan penyelenggara sistem adalah orang-orang korup, niscaya KKN tak terbendung lagi. Baik pilkada langsung maupun tak langsung, keberhasilannya kembali kepada individu-individu yang berkecimpung di dalamnya. Pilkada yang ditentukan melalui DPRD juga sebuah sistem yang kembali kepada individu – individu di dalamnya namun sistem ini secara logis mengurangi partisipasi rakyat dalam berdemokrasi. Jika demikian, maka maksud demokrasi yang merupakan pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat kiranya perlu dipertanyakan kembali.