sebuah blog dari saya untuk anda untuk kita dan untuk mereka

Another Widget

Senin, 15 September 2014

On 19.10 by Unknown   No comments
Oleh 
Irfan Fauzi
Ketua BPL HMI Cabang Yogyakarta Bidang Litbang

Akhir-akhir ini, masyarakat kembali ‘ramai’ oleh rancangan undang-undang Pilkada tentang Pemilihan Kepala Daerah yang dipilih dan ditentukan melalui anggota DPRD. Polemik ini sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Maret lalu dan bulan September ini kembali muncul ke permukaan. Dari sejumlah parlemen yang ada di DPR, koalisi merah putih yang digawangi oleh Partai Gerindra, Golkar, PPP, PAN, PBB, dan PKS terus mempertahankan keingingannnya untuk meng-goalkan Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD dengan berdalih bahwa Pilkada langsung terlalu memakan biaya yang besar dan memancing konflik horizontal di antara masyarakat.

Dalam hal ini, tentu pro kontra masyarakat tak terbendung. Sebagian memandang hal ini akan memunculkan pola korupsi baru dimana calon kepala daerah yang dicalonkan akan memberikan ‘apapun’  terutama materiil kepada DPRD demi terpilihnya sebagai Kepala Daerah sebagaimana yang diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Ahok (Solopos, 8/9) yang mengatakan “Kalau saya dipilih DPRD, maka tiap hari cuma mikir bagaimana caranya untuk baik-baikin DPRD, main keluar negeri, main golf”. Begitu pula pernyataan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (8/9) bahwa Pilkada melalui DPRD akan bikin korupsi di daerah semakin parah.

Sebagian lainnya beranggapan bahwa dengan pilkada langsung oleh rakyat pun turut membuka keran “money politic” yang sangat deras dengan jangkauan yang luas baik kepada penyelenggara pemilihan, media massa, maupun masyarakat akar rumput. Setidaknya 300 kepala daerah yang masuk bui akibat korupsi di tingkatan daerah.

Sebelum kita turut memperkeruh pro kontra di atas, lebih baik kita tinjau kembali makna demokrasi.  Secara etimologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang dapat diartikan kekuasaan/pemerintahan. Dengan demikian demokrasi dimaksudkan pemerintahan yang menjunjung dan berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan kekuasaan. Secara lebih sederhana lagi Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Jika kita tinjau makna demokrasi secara definitif maka Pilkada tak langsung dengan mekanisme pemilihan yang ditentukan oleh DPRD merupakan sebuah kemunduran dari kedaulatan rakyat karena ‘porsi’ kedaulatan rakyat itu sendiri didominasi oleh elit DPRD.

Pilkada tak langsung secara logis akan ditentukan berdasarkan konsensus suara terbanyak di kalangan elit DPRD. Suara terbanyak yang diambil sangat mungkin sekali tidak berlandaskan pada kapabilitas dari calon kepala daerah melainkan berlandaskan materi, ‘kedekatan’, serta kepentingan pribadi maupun partai. Jika begini, maka Pilkada tak langsung telah menyelewengkan makna dari demokrasi. Dimana suara terbanyak yang akan menang, entah suara yang bermaksud baik maupun suara yang bermaksud buruk. Akan berbahaya jika suara terbanyak yang ada adalah suara yang dilandasi bukan kepentingan rakyat. Kedaulatan rakyat pun tak pernah terwujud.

Disamping itu, Negara kita adalah penganut sistem Presidensial. Dimana Presiden yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat, maka lembaga eksekutif dibawahnya seperti gubernur dan bupati/Walikota harus dipilih langsung oleh rakyat. Sangat mengkhawatirkan jika Kepala Daerah yang terpilih melalui DPRD tidak mendapatkan pengakuan oleh rakyat, karena rakyat tidak memilih langsung.

Di akhir tulisan ini, Penulis ingin mengingatkan bahwa sebaik apapun sistem yang diterapkan, jika pelaku dan penyelenggara sistem adalah orang-orang korup, niscaya KKN tak terbendung lagi. Baik pilkada langsung maupun tak langsung, keberhasilannya kembali kepada individu-individu yang berkecimpung di dalamnya. Pilkada yang ditentukan melalui DPRD juga sebuah sistem yang kembali kepada individu – individu di dalamnya namun sistem ini secara logis mengurangi partisipasi rakyat dalam berdemokrasi. Jika demikian, maka maksud demokrasi yang merupakan pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat kiranya perlu dipertanyakan kembali.




0 komentar:

Posting Komentar