Minggu, 26 Juli 2015
On 03.47 by Unknown No comments
Oleh : Irfan Fauzi
Warga Babakan Jaya, Gabus Wetan,
Indramayu
“Nanging
Benjing Allah Nyukani
Kerahmatan
Kang Linuwih
Darma
Ayu Mulih Harja” Babad Indramayu
Berdasarkan
riwayat sejarah, tepatnya dalam Babad Indramayu menyebutkan bahwa kelak saat
Pangeran Aria Wiralodra (yang sering disebut sebagai pendiri Indramayu)
menemukan lembah Sungai Cimanuk dan mendirikan pemukiman di sekitarnya, niscaya
daerah tersebut akan menjadi daerah yang subur dan makmur serta Pangeran Aria
akan berkuasa dan memerintah hingga tujuh turunannya berturut-turut.
Hal ini
cukup menarik untuk di renungkan kembali, dimana peran sejarah dalam sebuah
komunitas/entitas masyarakat akan berpengaruh dalam penentuan jati diri dan
identitas sebuah masyarakat, begitu pula dengan masyarakat Indramayu. Berpikir
terhadap sejarah berarti berpikir terhadap perkembangan. Membicarakan masa lalu
sangat penting agar kita bisa mengetahui penyebab kondisi masa kini.
Membicarakan masa kini juga penting untuk merekayasa kondisi kita di masa
depan.
Beruntung
bagi masyarakat Indramayu yang memiliki sejarah pendirian Kabupaten Indramayu
yang pernah “diramalkan” akan menjadi daerah yang subur dan makmur. Setidaknya
dengan sejarah yang menjanjikan tersebut, masyarakat Indramayu memiliki
kepercayaan diri yang tinggi untuk benar-benar mewujudkan “ramalan” Babad
Indramayu.
Kini kita
sudah terlampau jauh dengan waktu terjadinya ekspedisi Pangeran Aria Wiralodra
saat membentuk pemukiman di kawasan Sungai Cimanuk, yang kemudian dijadikan sebagai
waktu pendirian Kabupaten Indramayu. Kurang lebih pada tahun 1527 M atau
bertepatan dengan Tahun 924 H. Sekarang kita sudah menginjak Tahun 2015 atau 1436
M. Hampir lima abad usia Indramayu kini, namun apakah kesuburan dan kemakmuran
Indramayu sudah tercapai?
Kekayaan Alam Indramayu
Berdasarkan
data Bappeda Indramayu tahun 2009, Indramayu memiliki luas sekitar 204.600 Ha,
sebagian besar lahannya dipergunakan untuk sawah irigasi tepatnya 121.355 Ha,
serta sawah tadah hujan seluas 12.420 ha. Sedangan sisanya digunakan untuk
perkebunan, ladang, permukiman, penggaraman, hutan bakau, empang, danau rawa,
hingga kilang minyak yang juga menjadi pemasukan terbesar bagi kabupaten
Indramayu.
Dari data di
atas dapat diketahui bahwa sumber daya alam Indramayu begitu kaya. Berdasarkan
hasil penelitian Wawan& Ayi (2007), kekayaan Indramayu berupa bidang
pertanian,dimana hingga enam tahun terakhir (2007) Indramayu masih nomor satu
dalam produksi padi se-Provinsi Jawa Barat. Hal itu jelas terlihat dari luasnya
lahan persawahan yang mencapai sekitar 56 % dari luas Indramayu. Rata-rata
panen pertahun berkisar antara 1-1,2 juta ton. Hanya 400.000 ton yang
dikonsumsi oleh Indramayu, sisanya dikirim ke daerah luar yang tentu menjadi
penyumbang 16,02 % dari Produk Domestik Regional Bruto Indramayu.
Disamping
itu, kekayaan Indramayu berasal dari sektor industri (Migas). Di bidang Migas,
sejak tahun 1970 Pertamina sudah mulai mengeksploitasi sektor ini mulai dari
pengeboran hingga pembuatan sumur-sumur penghasil Migas. Kemudian pada tahun
1980 Pertamina mendirikan terminal Balongan untuk menyalurkan BBM. Sedangkan
kilang minyak balongan sendiri mulai beroperasi sejak tahun 1994 dengan
pengelola Pertamina Unit Pengelolaan VI Balongan. Produksi kilang BBM
berkapasitas 125.000 barrel ini bisa dibilang 100 persen hasilnya disalurkan
untuk DKI Jakarta. Adapun LPG yang dikelola LPG Mundu VI dengan kapasitas 37,3
juta kaki kubik per hari disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta. Jatah
untuk pemerintah daerah Indramayu hanya berasal dari dana Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) yang berkisar antara 11-12 milyar per tahun.
Selain dua
sektor utama kekayaan Indramayu di atas, masih ada sektor lain yang juga
menjadi sumber kekayaan alam Kabupaten Indramayu seperti pertambakan yang
terhampar ratusan hektar di Balongan, baik tambak udang, tambak bandeng maupun
tambak garam yang produksinya bisa mencapai 30.000 ton per tahun. Pontensi
lainnya yaitu Buah Mangga, dimana hampir setiap rumah di Indramayu selalu
memiliki pohon Mangga. Dan karena itu pula Indramayu dijuluki sebagai Kota
Mangga.
Indramayu Kini
Kini kita
kembali kepada ‘ramalan’ Babad Indramayu di atas. Apakah sudah tercapai
kesuburan dan kemakmuran di Indramayu? saya kira untuk menjawabnya perlu
sedikit jeli. Setiap kesuburan belum tentu membawa kemakmuran. Kita harus
sepakat akan hal ini. realitas-realitas sosial sudah membuktikan. Indonesia
adalah negeri yang sangat subur, tetapi apakah kesuburannya memiliki garis hubungan
yang linier dengan kemakmuran rakyatnya? Begitu pula dengan Indramayu,
kesuburan tanah-meski tidak selalu subur- yang dimilikinya tidak berbanding
lurus dengan tingkat kemakmuran masyarakatnya.
Dari sekitar
1,6 juta penduduk Indramayu, 8,12 persen adalah Tenaga Kerja Wanita,sedangkan
sekitar 63,25 % atau sekitar 382 ribu penduduk Indramayu menjadi pengangguran atau
secara lebih halus menjadi pekerja serabutan. Angka pengangguran diatas menajdi
metafora yang sangat ‘mengenaskan’ bagi sebuah daerah yang kaya akan sumber
daya alamnya.
Meskipun
dibidang pertanian Indramayu menjadi lumbung padi di Jawa Barat, namun
kesejahteraan para petani hanya menjadi angan-angan. Terlebih saat musim
kemarau tiba, beberapa daerah di Indramayu akan terancam gagal panen. Seperti
yang terjadi saat kemarau Tahun 2015 ini. Sudah hampir satu bulan lebih hujan
tidak turun. Lahan persawahan semakin hari semakin kering, tanah-tanah retak
karena tak kunjung basah untuk waktu yang lama. Pengairan di irigasi pun sudah
habis, bahkan tanah-tanah bekas irigasi di sebagian tempat sudah mulai retak (tela).
Beruntung
bagi para petani yang sawahnya dekat sungai irigasi, mereka tinggal membawa
diesel dan “menyedot” air dari sungai. Itu pun jika ada air yang mengalir di
sungai. Namun tidak semua sawah terletak di dekat sungai. Puluhan hektar sawah
terhampar jauh dari sungai irigasi. Untuk menyedot air, mereka harus merogoh
kocek dalam-dalam. Setidaknya untuk pembuatan bor/sumur air, yang dalamnya
belasan meter. Disamping itu diesel yang digunakan sebagai penyedot harus diisi
bensin terus menerus. Untuk mengairi sawah seluas seperempat bau (kurang lebih 950 m2),
mesin diesel harus bekerja tiga hari tiga malam. Setidaknya hampir 60 liter
bensin dibutuhkan agar mesin tetap bekerja. Mungkin air yang disedot hanya
bertahan selama satu minggu, sebelum sawah mengering kembali.
Permasalahan
tidak hanya disitu, sawah butuh obat agar tetap bertahan dari hama. Tidak
jarang saat mendekati musim panen, bulir-bulir padi berwarna putih dan berbuah
kosong (gabug) karena dimakan ulat
atau hama. Disamping itu, ada juga burung-burung yang iseng memakan biji padi
saat mendekati panen. Jadi permasalahan para petani dari mulai menanam hingga
panen sedemikian kompleksnya. Mereka akan tambah sengsara saat harga padi/beras
sangat murah. Karena bagaimanapun harga padi akan selalu mengikuti mekanisme
pasar, tidak peduli dengan usaha baik peluh keringat dan uang yang keluar dari
petani selama mengurus sawahnya.
Di bidang
Minyak dan Gas, masyarakat Indramayu hanya menjadi penonton terhadap
eksploitasi Migas yang dilakukan oleh Pertamina. Mungkin hanya segelintir orang
Indramayu yang kebetulan merasakan ‘manisnya’ Migas Balongan dan sekitarnya.
Mereka berada tak jauh di lingkaran para penguasa Indramayu dan antek-anteknya.
Sebagian besar masyarakat Indramayu hanya menjadi buruh kasar dari semua
sumur-sumur Minyak yang ada. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah. Masyarakat yang terbiasa mengolah sawah dan ladang,
pasti sangat gagap ketika diharuskan mengolah minyak.
Selain
masalah di atas, tentu masih banyak lagi masalah-masalah sosial dan
kesejahteraan masyarakat Indramayu yang bagaikan benang kusut hingga sangat
sulit untuk mengurainya. Permasalahan di atas mungkin terkesan diskriminatif
terhadap peran dari pemerintah daerah yang tak kunjung muncul. Tapi itu lah
faktanya. Hingga tulisan ini dibuat, kehadiran pemerintah daerah seakan hanya
pada tataran adminsitratif saja. Masyarakat akan merasa sering berbaur dengan
pemda dan bawahannya , jika mengurus soal akta kelahiran, pembuatan E-KTP,
Tagihan listrik, surat keterangan tidak mampu, SKCK, dan surat-surat lainnya.
Dalam hal
kesejahteraan masyarakat, hampir tidak terasa kehadiran pemda di tengah masyarakat. Mungkin hanya
jalan yang direnovasi atau pembagian sembako/raskin saja yang dianggap sebagai
peran pemda. Tentunya hal ini menjadi hutang bagi pemda Kab. Indramayu dan ‘konco-konconya’
untuk bisa setidaknya mengukir sedikit senyum di wajah masyarakat karena
melihat sawahnya yang subur, harga sembako yang murah, berkurangnya KKN, akses
pendidikan yang baik, hingga melihat harapan bahwa anak-anaknya bisa tumbuh
dengan baik di lingkungan tempat tinggalnya.
Terlebih
masa kepemimpinan bupati dan ‘konco-konconya’ yang habis pada akhir tahun 2015
ini, jangan sampai hutang-hutang kesejahteraan masyarakat menjadi hutang yang
tak terlunaskan, dan terus menumpuk hingga kepemimpinan-kepemimpinan
berikutnya. Dan jangan sampai ramalan Babad Indramayu hanya menjadi dongeng
sebelum tidur bagi seantero warga Indramayu. Darma Ayu Mulih Harja. Semoga !
Garut, 16
Juli 2015
Minggu, 05 Juli 2015
On 21.47 by Unknown No comments
Waktu itu (5/6/2015), masa
belajar saya di Pare Kediri sudah hampir habis. Saya berinisiatif untuk
mengajak teman - teman seperjuangan di Pare untuk berwisata ke alam terbuka
sebelum kita kembali ke kampung halaman masing-masing. Setelah berdebat cukup
alot mengenai tempat dan waktu untuk berwisata, akhirnya kami memutuskan untuk
pergi ke Puncak B-29. Sebuah puncak gunung yang berada di desa Argosari,
Senduro, pegunungan Tengger, Lumajang.
Perjalanan dari Kediri ke Lumajang
Kami berangkat ber-enam
menggunakan tiga sepeda motor. Saya dan Yudi berboncengan; Ajin, (alumnus UNHAS
Makasar) berboncengan dengan Finda (alumnus Univ. Negeri Malang), sedangkan
Hamdan (Alumnus UNSRI Palembang) berboncengan dengan Ima (alumnus UNESA). Oh
ya, kami berenam kenal saat kursus di Kresna, salah satu lembaga kursus bahasa
inggris di Pare.
Setelah persiapan dirasa
cukup seperti persediaan makanan, minuman, dan alat-alat camping lainnya, pagi
itu sekitar pukul 10.30 WIB kami berangkat. Rute yang kami tempuh melalui
Pare-Jombang-Mojokerto-Pasuruan-Bangil-Probolinggo-Lumajang-Senduro-Argosari. Berdasarkan
perkiraan kami, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke lumajang adalah 4 jam.
Tapi, faktanya benar-benar jauh diluar dugaan kami. Setelah menempuh empat jam
kami baru sampai kabupaten Mojokerto. Meskipun sebenarnya kami sempat istirahat
untuk shalat Jum’at sejenak di Kabupaten Jombang.
Sungguh, perjalanan dari
Mojokerto menuju Lumajang masih sangat Jauh. Saat waktu ashar sudah lewat
(pukul 15.30 WIB), kami baru sampai di Kabupaten Pasuruan. Padahal kami sudah
memacu gas motor konstan berada pada kecepatan 80-85 km/jam. Meski demikian,
karena kami sudah terlalu jauh untuk pulang, mau tidak mau kami meneruskan
perjalanan meski dengan fisik yang lelah serta motor yang panas. Kammi tetap
melaju stabil. Akhirnya setelah menempuh perjalanan kurang lebih 8 jam kami
sampai di perbatasan Kabupaten Lumajang, berbarengan dengan waktu Magrib tiba. Kami
shalat magrib sejenak di masjid serta mengisi perut yang sedari siang belum
diisi di warung nasi goreng pinggir jalan.Hanya sepiring nasi goreng merah
dengan rasa yang cukup aneh yang mengisi perut kami malam itu. Kurang lebih
pukul 19.30 WIB kami kembali melanjutkan perjalanan menuju kawasan pasar
Senduro. Sejam kemudian kami sudah berada di kawasan Pasar Senduro. Jalan yang
kami lewati mulai menanjak perlahan, hingga beberapa kali kami lewati tanjakan
curam yang disisinya terdapat kawasan pepohonan pinus.
Pukul 21.00 WIB kami tiba di
pertigaan antara arah Ranupani Gunung Semeru serta arah puncak B-29. Kami
memilih jalan lurus menuju Puncak B-29. Setelah bebera menit kami memasuki area
perhutanan. Jalannya terbuat dari tanah becek yang habis diguyur hujan. Tidak
ada penerangan sama sekali. Suasana area itu sangat gelap, hanya sedikit suara
serangga- serangga hutan. Kami punya firasat buruk, meskipun jalan yang
ditunjukkan “plang” sudah benar. Akhirnya kami memutuskan balik arah, dan
mengendarai motor ke arah pemukiman warga di Pasar Senduro.
Pukul 21.30 WIB, suasana
desa sudah sunyi. Hanya beberapa motor yang dikendarai remaja-remaja melintas
di jalanan desa. Kabut putih mulai turun menambah hawa dingin malam itu.Rintikan
hujan pun perlahan semakin ramai menghujani kami. Finda dan Ima berinisiatif
untuk bertanya ke warga sekitar. Akhirnya, kami dipersilahkan masuk ke dalam
sebuah rumah warga. Mereka sangat ramah dan baik kepada kami, yang pada malam
itu benar-benar kedinginan dan sedikit basah. Ada dua Bapak-bapak (Bapak yang lebih
tua berumur sekitar 50an dan Bapak yang tampak lebih muda berumur sekitar 30an)
dan seorang Ibu beserta balita yang malam itu kebetulan sedang berbincang di
ruang tamu. Kami pun duduk lesehan setelah menyalami mereka dan memperkenalkan
diri.
Kopi hitam hangat segera
disuguhkan dihadapan kami. Padahal kami baru saja kenal beberapa menit yang
lalu. Sebelum keburu dingin, Yudi dan Ajin segera meminum kopi hitam itu
perlahan. “sruuuupp,,ahh..” suara seruputan kopi Yudi dan Ajin terdengar cukup
renyah. Saya pun turut mencoba. Lumayan, setidaknya segelas kopi hitam bisa
menghangatkan tubuh.
Ima dan Finda berbincang
dengan kedua bapak tersebut danmenyampaikan maksud bahwa kami sedang menuju
Puncak B-29. Bapak yang terlihat lebih tua,-saya lupa namanya- kemudian
memberikan kami petunjuk agar bisa sampai di Puncak B-29 melalui jalur yang
aman. Mereka tentu bercakap dengan bahasa Jawa khas Jawa Timur. Saya sedikit
paham, tapi banyak tidak pahamnya. Kami –para cowo- hanya berbincang-bincang
dengan si Ibu dan bermain dengan si kecil yang asik duduk dipangkuan Ibunya.
Waktu sudah larut, hampir
jam sepuluh malam. Sedangkan menurut keterangan Bapak yang agak tua, untuk
mencapai basecamp Puncak B-29 kurang lebih memakan waktu 2 jam perjalanan
menggunakan motor. Kami tak mau terlalu larut sampai di basecamp, disamping itu
kami juga tak enak jika bertamu terlalu larut. Setelah di beri nomer ponsel
adiknya si Bapak yang lebih tua, yang kebetulan dia menyediakan tempat parkir
di dekat basecamp, kami segera pamit dan langsung meluncur sesuai arahan kedua
Bapak yang ramah tersebut.
Trek Terjal Pasar Senduro Menuju Argosari
Perjalanan yang berat mulai
terasa saat kami sudah memasuki trek Pasar Senduro menuju Desa Argosari. Jalan
yang kami lewati berupa jalan aspal yang lebarnya hanya seukuran lebar mobil truck.
Dengan medan yang menanjak perlahan. Beberapa tanjakan juga cukup terjal,
hingga motor kami hanya bisa berada pada perseneling satu dan dua agar tetap
bisa melaju. Selanjutnya, daerah yang kami lewati berangsur sepi. Bukan hanya karena
waktu yang sudah larut (sekitar pukul 22.30 WIB), tapi juga karena pemukiman
penduduk sudah tidak tampak lagi di sekitar jalan. Daerah yang kami lewati
berganti menjadi padang rumput yang luas, serta beberapa pohon khas pegunungan
yang menjulang tinggi. Suasana malam itu sangat sepi sekali, hanya ada
rombongan kami yang terdiri dari dua motor matic dan satu motor bebek.
Tiba-tiba saja, sebuah motor
lokal mengikuti rombongan kami, dan melaju cepat menyusul Hamdan yang menyetir
motor paling depan. Saya kira, motor itu adalah begal yang selama ini sering di
wanti-wanti oleh masyarakat terhadap kawanan penjahat motor tersebut. Untungnya,
motor lokal tersebut adalah adiknya Bapak tua yang kami temui sebelumnya di
kawasan Pasar Senduro. Namanya Mas Syamhuri. Dia yang akan menuntun perjalanan
kami dalam mendaki trek terjal menuju Desa Argosari.
Selama perjalanan, kami
banyak menhirup nafas dalam-dalam saat melihat trek tanjakan yang terjal serta
belokan yang sangat curam. Belum lagi, jalan nya dipenuhi kerikil-kerikil serta
pasir yang tentu saja membuat jalan sangat licin. Hanya mengguankan gigi satu
bagi motor bebek agar bisa tetap melaju di trek seperti itu. Rupanya
keterkejutan kami belum berakhir, saat memasuki trek berupa tanah merah yang
menanjak, becek, licin, serta ada beberapa bebatuan sekuruan bola sepak yang
tersebar tak beraturan. Hal ini membuat teman kami yang dibonceng harus turun,
agar motor tetap stabil dalam menanjak.
Terbukti, motor Ajin yang
berusaha tetap membonceng Finda harus merosot mundur karena tidak kuat mendaki
trek ekstrem itu. Bahkan setelah direm (baik depan dan belakang) motor tetap
mundur. Finda pun harus loncat jika tak mau jatuh tertimpa motor. Serentak kami
berhenti dan membantu Ajin menstabilkan motornya.
Trek selanjutnya yang tidak
kalah ekstrim dengan sebelumnya membuat teman-teman kami yang dibonceng harus
segera turun agar motor bisa melewatinya. Tak jarang, Mas Syamsuri harus antar
jemput membantu motor matic yang dikendarai Ajin atau Hamdan agar bisa lewat
trek licin dan berbatu. Beberapa kali ban motor saya selip dan tak bisa
menapaki trek yang sangat licin. Dalam kondisi seperti ini, rem depan dan
belakang bekerja maksimal. Bahkan dua kali motor yang saya kendarai kehilangan
keseimbangan dan jatuh ke samping jalan. Padahal saya sendiri saat
mengendarainya. Memang trek Senduro-Argosari sangat menantang.
Pendakian dari Basecamp ke Puncak B-29 dan B-30
Kurang lebih pukul 00.20 WIB kami sampai di rumah Mas
Syamsuri yang juga menjadi basecamp pendakian Puncak B-29. Ketiga motor kami
benar-benar dalam kondisi kotor dan panas. Bau kampas rem depan maupun belakang
yang sedari tadi digunakan benar-benar tercium. Mesin motor juga sudah sangat
panas.
Dini hari itu cuaca sangat
cerah. Bintang-bintang di langit berkilauan sangat indah. Kabut tipis pun hanya
sedikit yang turun di area basecamp. Di sebelah selatan, puncak gunung semeru
tampak menjulang dibawah sinar bulan. Sedangkan di sebelah barat, pintu gerbang
pendakian sudah menunggu kami. Beberapa bapak-bapak yang berjaga di dekat posko
sebelah pintu gerbang nampak asyik menyeruput kopi panas. Sangat cocok untuk
cuaca pegunungan yang dingin.
Kami sudah packing dan siap
mendaki. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.40 WIB. Sudah sangat larut, bagi para
pendaki gunung. Sebelumnya, kami tidak lupa berfoto ria untuk mengabadikan
momen di depan pos pendakian.
Pendakian menuju puncak
dimulai saat kami melewati pintu pendakian dan jauh meninggalkan perkampungan
warga. Suhu saat itu lumayan dingin namun langit malam tampak cerah terkena
sinar bulan purnama. Dua headlamp
yang kami bawa pun praktis kami simpan untuk menghemat daya. Trek yang dilewati
hanya jalan setapak yang cukup luas dan bisa dilewati oleh kendaraan bermotor.
Menurutku, pendakian menuju Puncak B-29 tidak cocok disebut pendakian. Mungkin
lebih tepatnya rekreasi, karena hanya dengan satu jam berjalan kaki kita sudah
sampai puncaknya. Apalagi dengan adanya jasa ojek dari basecamp ke puncak hanya
dengan Rp 20.000-35.000. Yang benar-benar menjadikan puncak B-29 seperti wahana
rekreasi bukan wahana pendakian. Namun tetap saja, perjalanan malam itu
menyisakan rasa penasaran akan keindahan Puncak B-29.
Selama diperjalanan menuju
puncak, kami sering menemui para pendaki lain yang “ngojeg” menggunakan motor
yang banyak mangkal di basecamp tadi. Meskipun agak “nyesek” gara-gara mereka
yang dengan cepat sampai puncak menggunakan motor, kami tetap berjalan
menyusuri jalan setapak menuju “Top Of B-29’s Summit”. Dan akhirnya, setelah
satu jam lebih kami berjalan, kami sudah berada di area puncak B-29 pada pukul
01.15 WIB.
Dini hari itu cukup ramai di
puncak. Beberapa tenda warung makan sudah siap sedia dan memang menetap di
puncak untuk menlayani kebutuhan konsumsi para pendaki. Mereka menjual mie
instan, baik mie rebus maupun mie goreng, ada juga popmie, roti, biskuit hingga
minuman-minuman hangat.
Selain tenda para penjual,
tenda para pendaki juga sudah banyak didirikan. Adalebih dari 10 tenda yang
sudah menempati lahan-lahan datar di sekitar puncak. Kami mendirikan tenda di
area yang lebih atas lagi. Dari area puncak B-29 kami terus mendaki menuju area
puncak B-30. Setelah melewati pura kecil dibawah pohon besar di sisi kanan
jalur pendakian, kami menemukan area yang cukup luas untuk mendirikan tenda.
Pukul 01.30 WIB, Tenda sudah
kami dirikan. Satu tenda berkapasitas empat orang dan satu tenda di dedapannya
berkapasitas tiga orang. Sebelumnya kami berbagi tugas, para pria mendirikan
tenda dan para wanita memasak. Sebelum beristirahat, kami yang sedari tadi
kelaparan langsung menyantap mie rebus dan minuman sereal hangat yang cukup
untuk mengganjal perut.
Menangkap Sunrise Puncak B-29
Sinar Mentari Pagi mulai
membangunkan kami dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Udara dingin tak
kunjung hilang. Namun perlahan kabut putih mulai turun ke bawah lembah dan
bukit-bukit. Pukul 05.30 WIB, Sunrise di sebelah Timur kami begitu memukau.
Sinarnya berwarna orange cerah sera memberi kehangatan di tubuh kami yang sejak
malam benar-benar kedinginan. Lautan awan putih bergelombang memanjand dari
bukit ke bukit, dari lembah ke lembah, membuat kami seakan berada di atas
lautan awan. Keindahan yang tak cukup tergambarkan melalui kata-kata. Sangat
indah. “Wow, Keren Bro!” , “Subhanallah, indahnya” , kalimat-kalimat itu yang
bisa kami katakan.
Di sisi barat, kabut putih
sudah mulai menghilang. Menyisakan pemandangan yang tak kalah menakjubkan.
Hamparan padang pasir Gunung Bromo dengan pola bergelombang tampak begitu
menenangkan. Puncak gunung Bromo juga sedikit mengeluarkan asap tipis, yang
menambah keindahan pemandangan alam pagi itu. Benar-benar menakjubkan. Tampak
juga mobil-mobil jeep yang membawa wisatawan Bromo hilir mudik menuju kaki
gunung Bromo. Mereka tampak begitu kecil, karena jarak yang kami lihat sangat
jauh. Menara –menara telepon seluler juga tampak berdiri diatas bukit di
seberang Gunung Bromo. Begitu juga rumah-rumah penduduk di sekitarnya yang
tampak amat kecil dari puncak B-29.
Tak perlu berlama-lama, area
puncak yang kami tempati sudah dienuhi oleh para pendaki. Ada sekitar 30 orang
lebih pagi itu. Mereka terkagum-kagum dengan pemandangan pagi itu yang luar
biasa indahnya. Mereka tak lupa berfoto ria, begitu juga dengan kami yang tak
mau kehilangan “The Most Beautiful
Scenery”. Alam Indonesia ini benar-benar menakjubkan. Tak sia-sia
perjalanan lebih dari 10 jam yang kami lewati. Pagi itu, alam pegunungan
Tengger benar-benar membayar lunas rasa lelah dan penasaran kami terhadap
pesona puncak B-29. Alam yang benar-benar menginspirasi agar kita tetap menjaga
dan melestarikannya.
Meninggalkan
B-29
Pukul 09.00 WIB, setelah
kami puas memandang dan menikmati semua keindahan puncak B-29, kami segera
memenuhi kebutuhan fisik. Breakfast
!. Meski sarapan kami hanya dengan roti, minuman sereal, serta tak lupa mie
rebus, tapi kami benar-benar menikmati makanan itu. Selama kita berada di alam
terbuka, apapun makanannya (asal halal) akan selalu terasa nikmat apalagi
ditambah daging dan telur, he.
Pukul 10.00 WIB setelah
packing tenda dan peralatan camp lainnya, kami pun harus rela berpisah dengan
pesona puncak B-29. Sebelum pulang, kami harus membawa sampah-sampah baik bekas
makanan maupun minuman selama berada di kawasan puncak B-29. Ini penting sekali
untuk menjaga kelestarian alam di sekitar puncak. Setelah berdoa dan meminta
pendaki lain untuk mengambil gambar kami, kami pun segera turun dan
meninggalkan B-29. Seperti sebelumnya satu jam perjalanan harus kami tempuh
untuk mencapai basecamp.
Pukul 11.30 WIB kami sudah
tiba di basecamp. Kami disambut hangat oleh keluarga mas Syamhuri, ada istri,
anak serta Ibunya. Bahkan Istrinya sempat membuat kan kami teh hangat yang
nikmat. lumayan untuk menyegarkan fisik yang sudah mulai lelah. Kami juga
memasak mie, serta melahap semua cemilan-cemilan yang tersisa sebelum
meninggalkan desa Argosari. Makanan ini penting untuk mengganjal perut yang
sudah hampir kosong, karena energinya terpakai selama turun gunung tadi.
Terlebih, nanti kami harus menuruni trek terjal dari Desa Argosari menuju Pasar
Senduro, yang tentu saja sangat menguras energi.
Akhirnya, saat waktu
menunjukkan pukul 14.00 WIB, kami segera pamitan kepada keluarga Mas Syamhuri.
Kami juga tak lupa untuk berdoa agar perjalanan kami senantiasa lancar dan
selamat. Perjalanan pulang menuju Pare, menempuh rute yang berbeda dari pada
rute berangkat. Kami pulangmelalui rute Lumajang- Candipuro- Kab. Malang-Kota
Malang- Kota Batu-Kediri-Pare. Rute yang kami tempuh saat pulang seharusnya
lebih cepat karena hanya melewati beberapa kabupaten saja. Namun karena medan
yang dilewati berupa pegunungan dengan jalan berkelok dan menanjak, tetap saja
membutuhkan waktu yang cukup lama. Walhasil kami baru sampai Pare kurang lebih
pukul 23.30 WIB. Benar-benar menguras tenaga, tapi tetap saja perjalanan yang
hebat bersama teman-teman Pare dan pemandangan yang menakjubkan di puncak B-29
tak kan pernah terlupa. Dan untuk itu perjalanan ini selalu membawa kisah yang
menarik untuk di tuliskan.
Sayonara, See you again my
friend !
Langganan:
Postingan (Atom)