Sabtu, 07 Mei 2016
On 05.29 by Unknown 2 comments
Oleh : Irfan
Fauzi
Saya adalah
tipikal orang yang mudah termotivasi dengan kesuksesan seseorang. Mungkin lebih
tepatnya terpancing untuk melakukan hal sama yang sudah dilakukan orang-orang
berhasil, termasuk berhasil melangkah ke jenjang pernikahan. Seminggu sebelumnya,
saya banyak ‘didoktrin’, ‘diintervensi’, atau ‘diceramahi’ tentang pernikahan
oleh teman dan senior yang sudah atau akan segera menikah. Maka pada Hari
Minggu, 24 Juli 2016, setelah saya disibukkan dengan menjaga posko banjir
Bekasi, saya meluncur menuju Provinsi Banten. Tepatnya di daerah Rangkasbitung.
Tanpa ada rencana matang, dan persiapan yang seadanya, saya beranikan diri
untuk berangkat ke Rangkasbitung, tempat dimana restu akan naungan masa depan
berlabuh.
Malam minggu, saya sudah sampai di kediaman seorang kawan karib, di daerah Klender Jakarta Timur. Jika ditempuh dari Klender perjalanan menuju Rangkasbitung akan lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan dari Bekasi. Pagi-pagi sekali saya berangkat menggunakan Commuter line dengan jurusan Klender - Tanah Abang, transit sekali di Stasiun Manggarai. Jasa transportasi Commuter line ini saya rasa cukup efektif di tengah padatnya arus lalu lintas Ibukota yang superpadat dan boros waktu.
Klender – Tanah Abang akhirnya saya tempuh dalam waktu kurang lebih 35 menit sudah termasuk menunggu kedatangan Commuter line. Kurang lebih pukul 08.05 saya sudah tiba distasiun yang cukup padat ini. Tanah Abang memang menjadi incaran bagi para pengulak atau reseller segala jenis produk fashion karena harganya yang cukup miring dibandingkan dengan pasar lainnya.
Ada dua pilihan rute transportasi kereta dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung. Pertama kita bisa gunakan kereta ekspress meski tidak se-ekspress proyek kereta cepat yang dicanangkan Jokowi. Nama keretanya Rangkasjaya, dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dan tiket seharga nasi goreng, hanya 15 ribu rupiah saja. Kedua, kita bisa gunakan Commuterline terlebih dahulu hingga stasiun Palmerah, atau parung panjang. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menggunakan kereta api lokal, dengan waktu tempuh yang lebih lama, bisa 2,5 – 3,5 jam lebih, dengan harga tiket 2 ribu untuk Commuterline dan 5 ribu untuk Kereta api lokal. Sayangnya, pagi itu saya terlambat 5 menit setelah kereta ekspress Rangkasjaya meluncur. Tidak ada pilihan lain selain “ngeteng” menggunakan Commuterline dan dilanjutkan Kereta api lokal.
Walhasil saya baru sampai di stasiun Rangkasbitung kurang lebih pukul 13.00 WIB. Sebelumnya, saya sempat tertahan di Parungpanjang lebih dari setengah jam, juga harus lama menunggu kereta api lokal di Stasiun Maja yang merupakan stasiun terakhir Commuterline.
Sesampainya
di stasiun Rangkasbitung, saya segera mengirim pesan kepada beliau. Tak
dinyana, sesaat setelah keluar gerbang stasiun, sebuah mobil mungil terparkir
sembari keluar dua orang tua yang menjadi tujuanku datang ke Rangkas. Dengan
senyum gembira ku salami satu persatu calon mertuaku (Camer). Ada rasa grogi,
cemas, dan canggung saat saya duduk dikursi depan disamping Bapak Camer sambil berkeliling
kota Rangkas. Dengan semangat, Bapak menceritakan tentang kondisi Rangkasbitung
yang tenang, dan masih termasuk daerah berkembang. Sesekali beliau bernostalgia
saat pertama kali merantau ke Banten.
Siang itu saya tak langsung pergi ke rumah Camer. Saya dibawa ke sebuah rumah makan Padang, dan praktis saya ditraktir oleh Camer untuk pertama kalinya. Sungguh hangat penerimaan yang dilakukan oleh Camerku itu. Selama makan, kami membincangkan banyak hal mulai dari permasalahan sekolah, kurikulum, sarana sekolah, profesi masyarakat Rangkas, bahkan hingga urusan ormas keislaman. Sesekali membincangkan background keluarga. Saya terus saja menanyakan banyak hal, agar suasana canggung bisa segera mencair.
Saat awan hitam di langit Rangkasbitung sudah menggelayut di sudut-sudut langit, kami segera bergegas menuju rumah. Sepertinya, curahan hujan akan segera membasahi kota sepi ini. Benar saja, setelah kami tuntas makan siang, hujan segera mengguyur rumah-rumah dan beberapa ruas jalan di sekitar kota Rangkas. Untungnya kami sudah berada di dalam mobil dan menuju rumah Camer. Suasana sejuk khas pedesaan mulai terasa.
Selama di rumah Camer, yang cukup bersih dan tenang, saya tak henti hentinya bertanya kepada kedua Camer, lagi-lagi membincangkan masalah pendidikan, ataupun background keluarga. Rasanya tidak ada habisnya topik yang kami bahas, karena jujur saja saya tidak ingin terlihat canggung dan grogi didepan mereka. Sesekali suasana hening. Cemilan, kue kering, serta dua gelas Teh manis hangat disuguhkan oleh Ibu.
Dengan ramah Ibu menawarkan suguhan itu,
“Ayo Nak, silahkan di makan kuenya”,
“Ia bu, terimakasih banyak, jadi ngerepotin nih” Jawabku sambil malu-malu untuk mengambil.
Disela obrolan, terselip keheningan saat saya berhenti bertanya. Secara perlahan kuseruput teh hangat yang disajikan sambil menikmati suasana teduh selepas hujan reda. Sebenarnya saya menunggu-nunggu pertanyaan dari Bapak. Pertanyaan yang merupakan kode tentang keseriusan hubungan saya dengan anak gadisnya. Setelah ditunggu beberapa menit, pertanyaan tak kunjung terucap dari Bapak. Akhirnya ku beranikan diri untuk memulai obrolan serius.
“Jadi begini
pak”, Ucapku untuk membuka perbincangan.
“Maksud dan tujuan saya datang kemari, bukan hanya sekedear silaturahim”, lanjutku sembari menggeser posisi duduk agar lebih tenang.
“Seperti yang sudah bapak dan Ibu ketahui, saya sudah dekat dengan anak Bapak untuk waktu yang cukup lama, kami pun merasa sudah saling cocok. Rasanya tidak etis kalau berlama-lama berhubungan tapi tidak ada status yang jelas” Tambahku.
“Oleh karena itu, saya kesini ingin meminta restu dari Bapak dan Ibu agar hubungan kami bisa berlanjut ke arah yang lebih serius. Seandainya diizinkan insyaAllah, saya dan keluarga akan kembali datang ke sini”, Ucapku sambil sedikit gemetaran karena grogi.
Suasana kembali hening. Tapi saya sedikit merasa lega, karena berhasil menyampaikan pesan substantif dari kunjungan ini yang sedari tadi tertahan. Tidak lama kemudian, Bapak akhirnya angkat bicara. Inilah yang kutunggu-tunggu.
“Ya kalau Bapak dan Ibu sih, sebetulnya tergantung sama anaknya saja. Seandainya anak sudah cocok, saling mencintai, dan saling menyayangi insyaAllah kami berdua merestui” Jawab beliau.
“Alhamdulillah” ucapku spontan. Senyum sumringah seketika terukir di ekspresi grogiku. Akhirnya secara lisan penerimaan dari Camer sudah diucapkan. Perasaan pun semakin tenang dan tertantang untuk menyegerakan akad. Tak henti-hentinya saya mengucap hamdalah setelah mendengar itu.
Selepas itu, Bapak banyak menasehati inti dari sebuah hubungan orang dewasa. Tidak hanya sekedar perasaan cinta, tapi juga komitmen untuk saling menerima dan memahami. Beliau juga mulai menggunakan kata “ Ibumu .., Bapakmu.., Masmu..” saat menceritakan ibu dan kakak calonku. Artinya, beliau sudah siap menerima kehadiranku di keluarganya. Saya sangat bersyukur, pertemuan dengan kedua Camer ternyata tidak begitu menegangkan dan begitu akrab.
Sampai saat pulang kembali ke Jakarta, senyum kemenangan senantiasa menghiasi wajahku. Sembari teringat suasana sejuk siang tadi di Rangkas. Guratan wajah manis calon teman hidup ku ingat kuat-kuat. Rasanya tak sabar untuk segera menghubungi dan memberi kabar baik ini pada calon teman hidupku.
Saya sadar, ini adalah langkah awal dari perjuangan untuk penyempurnaan separuh agama. Pasca permohonan restu, masih banyak lagi tahapan-tahapan yang harus saya lewati baik itu berkaitan dengan materi maupun mental. Semoga saja saya mampu melewatinya dan berhasil meminang gadis berinisial “D” yang insyaAllah akan menjadi pendamping hidupku. Amiin!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
bisaan si eta hahaha
BalasHapuscoba cek ieu
www.gensofa.com
haha ,,,siap
BalasHapus