Sabtu, 25 Juni 2016
On 23.58 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Muara kamal, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang terletak di utara Kota Jakarta, menjadi meeting point open trip yang kami tempuh pada hari minggu yang cerah. Jalanan yang sempit, becek, serta berbau amis adalah pemandangan yang lazim di Muara Kamal. Sedangkan warna air laut di sekitar dermaga sudah menghitam dan mengeluarkan sedikit bau tidak sedap. Tapi, itu hanyalah awal dari cerita yang penuh pengalaman dan keindahan alam yang menakjubkan.
Perjalanan menuju Muara Kamal
Sebuah poster open trip
yang diadakan oleh akun instagram @Expedition_Nusantara, menyita
perhatian kami. Sebuah paket perjalanan mengunjungi tiga pulau cantik di
gugusan kepulauan seribu yaitu Pulau Kelor, Pulau Onrust, dan Pulau
Cipir.
Perjalanan menuju TPI Muara Kamal kami tempuh setelah
berkumpul di kawasan Klender. Saya dan kedua orang teman, sengaja
meluangkan waktu di akhir pekan untuk berkumpul dan bepergian bersama
meskipun tempat kerja kami berjauhan. Saya di Bekasi, Riki di Bandung,
dan Badru di Tangerang.
Kami berangkat menggunakan jasa
Commuterline dari stasiun Klender menuju Stasiun Jakarta Kota. Setelah
itu, Mobil yang kami pesan melalui aplikasi Uber menjemput dan
mengantarkan kami dari Jakarta Kota menuju Muara Kamal. Cukup dengan
ongkos Rp. 45.000,- tentunya uang tol kami bayar sendiri. Perjalanan
dari Jakarta Kota menuju Muara Kamal kami tempuh kurang lebih 30 menit.
Bau amis dari sisi-sisi jalan menuju TPI mulai tercium. Beberapa peserta open trip
tampak sudah berkumpul sambil mengobrol satu sama lain. Riuh menunggu
peserta yang belum lengkap. Mas Agung, salah satu guide kami,
berperawakan tinggi tapi kurus, langsung melambaikan tangan ke arah kami
untuk segera berkumpul. Hingga satu jam kemudian, kami menunggu peserta
yang belum lengkap. Total peserta adalah 47 dan dibagi menjadi dua
kelompok.
Barulah pada pukul 09.00 WIB, dua perahu nelayan merapat ke dermaga Muara Kamal, dan mulai mengangkut rombongan peserta open trip.
Kami duduk di bagian depan perahu agar jelas dalam melihat luasnya
lautan kepulauan seribu. Perahu mulai membelah lautan yang kehitaman,
menuju lautan biru yang berombak. Deburan ombak semakin membesar
menghantam moncong perahu kami. Tak jarang, percikan air laut membasahi
bagian dalam perahu.
Saya mencoba berdiri dan melihat pemandangan
sekitar. Banyak tunggak-tunggak bekas nelayan yang tidak terpakai.
Tunggak bambu itu tertanam dengan kuat di dasar perairan dan bisa
membahayakan perahu nelayan. Jika saja perahu tersangkut di tunggak,
tentu bagian bawah perahu bisa bocor dan membahayakan keselamatan
seluruh penumpang. Di sebelah timur, hamparan tanah reklamasi yang penuh
kontroversi tampak ramai karena beberapa aktivitas mesin berat yang
mulai membangun fondasi-fondasi jalan dan gedung. Rupanya, berita
pemberhentian proyek reklamasi di teluk Jakarta hanya ada di layar kaca.
Faktanya di lapangan, pembangunan terus berlanjut. “Inilah ulah para
konglomerat yang serakah itu!”, batinku.
Pulau Kelor
Empat
puluh menit setelah perahu meninggalkan dermaga, kami mulai
melihatsebuah pulau kecil di depan kami. Sekilas, terlihat sebuah
benteng tua tersusun dari bata merah dan hamparan pasir putih yang
benar-benar asri. Ya, itulah Pulau Kelor. Pulau yang dahulu dikenal
dengan pulau Kherkof dan berjarak 1,8 km dari Pantai Ancol ini
benar-benar memukau mata kami. Tak lama kemudian, perahu merapat, dan
Pak Nelayan yang membawa perahu mengikatkan tali di tiang-tiang dermaga
pulau.
Pulau yang memiliki luas hanya 0,28 km2 ini pada
dasarnya memang indah. Benteng Martello yang kami lihat di bagian ujung
pulau, bekas peninggalan VOC yang dibuat sejak abad ke 17 menambah
keasrian pulau ini. Sejak pertama kami menginjakkan kaki di pulau ini,
rasanya tak ingin segera meninggalkan pulau. Air pantai nya jernih
kehijauan, udaranya sejuk, serta bunyi deburan ombaknya membuat nyaman
para wisatawan. Beberapa peserta open trip, langsung menuju
Benteng Martello yang menjadi ikon pulau ini. Begitu juga dengan kami.
Sedangkan di sisi pulau lainnya, dibatasi dengan tembok hitam yang rapih
dan asri.
Riki, teman saya dari Bandung, langsung mengambil
beberapa gambar dengan smartphone nya. Pemandangan sisi pantai beserta
galangan kapal, dan reruntuhan tembok benteng Martello tak boleh
terlewatkan untuk di abadikan. Saya dan Badru pun turut berselfie ria.
Kami memang tidak ingin merepotkan wisatawan lain, maka agar kami
bertiga bisa berfoto bersama, smartphone di letakkan di tempat yang
tinggi dalam posisi landscape lalu sebelum memotret diberi timer
dan dalam hitungan 10 detik, terdengar suara “ Jepreeett”, tanda
pemotretan sudah berlangsung. Beberapa spot foto yang sering menarik
yaitu sisi pantai pulau dekat dermaga, sisi pantai depan Benteng
Martello, Benteng Martello, serta papan nama Pulau Kelor.
Kami
tidak berlama-lama di pulau ini. Pihak Travel hanya memberikan waktu
dari pukul 09.45 – 11.30 WIB. Terlebih menjelang dhuhur, langit di Pulau
Kelor mulai gelap serta angin laut pun berhembus kencang. Itu merupakan
pertanda buruk bagi perahu nelayan yang mengantar kami. Kami harus
segera bergegas menuju pulau berikutnya
“ Mas, cepat-cepat
berkumpul dengan rombongan ya, kasian bapak nelayan nya kalau harus
melaut saat mendung, bahaya” kata seorang petugas keamanan pulau,
mengingatkan kami untuk bergegas meninggalkan pulau. Meskipun sebentar,
kami sudah cukup merasakan keindahan Pulau Kelor yang mungil dan asri
ini.
Pulau Onrust
Desitinasi selanjutnya
adalah Pulau Onrust. Dapat ditempuh dari Pulau Kelor dalam waktu 25
menit menggunakan perahu nelayan. Pulau ini berukuran lebih luas
dibanding Pulau Kelor. Letaknya berdekatan dengan Pulau Bidadari. Saat
sampai di dermaga, sudah banyak kapal dan perahu nelayan yang sedang
berlabuh. Namun sayangnya, di tepian dermaga tampak beberapa sampah
plastik mengambang dan mencemari kejernihan air dermaga. Pulau ini cukup
teduh, banyak pohon rindang di tengah pulau. Sayangnya, ombak di pulau
cukup besar dan tidak aman jika wisatawan terjun berenang di sekitar
pantainya.
Di pulau ini kami beristirahat dan makan siang. Pihak
travel menyediakan menu makanan yang sederhana tapi lezat yaitu seporsi
nasi, Ikan Cue bakar, tempe, lalap, dan tentunya sambal.
Pulau
Onrust menyimpan sejarah panjang yang dimulai pada masa kependudukan
Belanda. Pulau Onrust diambil dari Bahasa Belanda yang artinya “tidak
pernah istirahat” atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan “Unrest”.
Di pulau ini terdapat banyak peninggalan arkeologi bekas bangunan zaman
Belanda. Sekitar tahun 1615, VOC membangun galangan kapal untuk
memudahkan persinggahan koloni saat menyerang pasukan Banten dan
Inggris.
Pada tahun 1911, pulau Onrust dialih fungsikan menjadi
karantina Haji. Pada zaman itu, pergi haji memerlukan waktu
berbulan-bulan karena berlayar menggunakan kapal laut. Maka Pulau Onrust
sangat tepat untuk dijadikan persinggahan bagi jamaah haji yang ingin
pergi ke tanah suci. Rombongan kami juga sempat diajak berkeliling di
sekitar museum Onrust. Di bagian depan pulau ada kincir angin yang
bertuliskan Onrust. Sedangkan di bagian samping pulau, tulisan nama
pulau terpampang besar, menjadi objek foto yang menarik serta memoriable.
Kami
beristirahat di pulau Onrust cukup lama, sekitar 2,5 jam untuk makan
siang, shalat, serta melihat-lihat peninggalan arkeologi pulau Onrust.
Pada pukul 13.30 WIB, kami berkumpul kembali di dermaga dan melanjutkan
perjalanan menuju pulau tujuan akhir dari trip ini, yaitu pualu
Cipir. Jarak pulau Cipir dan Onrust yang tidak begitu jauh, membuat
perjalanan terasa singkat. Perjalanan dapat ditempuh dengan waktu
sekitar 10 -15 menit.
Pulau Cipir
Sebagai destinasi terakhir dari trip
ini, Pulau Cipir sangat tepat untuk disinggahi. Di pulau ini, terdapat
pantai yang bersih, landai disertai ombak yang kecil. Sangat cocok untuk
berenang atau sekedar bermain air. Terbukti banyak wisatawan yang
berenang di bagian samping pulau Cipir.
Sebagaimana Pulau Onrust,
Pulau Cipir juga memiliki peninggalan arkeologi yang cukup bernilai.
Disini akan kita temui, meriam serta bola meriam bersejarah yang berumur
lebih dari 3 abad. Disamping itu, bangunan bekas kamar dan rumah sakit
persinggahan bagi jamaah haji juga masih bisa kita telusuri di pulau
ini. Trip kami kali ini, selain merefresh jiwa dan raga dari
penatnya rutinitas, juga menambah ilmu kesejarahan dengan melihat
langsung benda-benda peninggalan Belanda abad 17 serta abad 19.
Di
bagian ujung pulau, terdapat bekas puing-puing fondasi yang
menghubungkan Cipir dengan Onrust. Kini, fondasi yang digunakan hanya
sebagian lalu dibangun lah spot/area yang beralaskan kayu dan menjorok
ke tengah laut. Sebelum masuk ke area itu, kita bisa melihat pemandangan
di sekitar Cipir dari ketinggian 10 meter menggunakan menara pemantau
yang dibuka untuk umum. Angin di menara ini cukup besar. Kami bertiga
pun saat naik menara ini, sedikit gemetar dan pucat karena tingginya
menara. Tapi, pemandangan yang indah menjadi penawar phobia ketinggian
yang kami hadapi.
Selain naik ke menara, kami juga sempat
memandang pemandangan Teluk Jakarta yang sedikit tertutup kabut dilihat
dari pulau Cipir. Setelah itu, kami duduk santai di samping pualu yang
sudah di beri pagar dan tembok yang mengarah ke tengah lautan. Angin
sepoi-sepoi serta pemandangan pantai yang indah benar-benar membuat
rilex dan betah.
Kami meninggalkan Pulau Cipir pada pukul 15.30 WIB dan langsung menuju dermaga Muara Kamal. Trip
kali ini benar-benar membuat saya kagum akan keindahan alam Kepulauan
Seribu. Saya bertekad akan kembali lagi mengunjungi pulau-pulau kecil di
sekitar Kepulauan Seribu. Trip murah ini tidak perlu merogoh
kocek terlalu banyak. Cukup dengan Rp.100.000,- kita sudah bisa
berkujung ke tiga pulau, makan siang, snack, serta biaya penyeberangan.
Demikian, semoga perjalanan kami bisa menginspirasi kita untuk menikmati
dan tetap menjaga wisata alam bahari dalam negeri. Salam Ekspedisi !.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar