Sabtu, 15 November 2014
On 22.59 by Unknown No comments
Oleh Irfan
Fauzi
Koordinator MPKPK HMI
Komfak. Saintek UIN Sunan Kalijaga
Bulan November menjadi penanda datangnya
musim hujan di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Musim penghujan pada musim ini
sepertinya agak terlambat jika kita merujuk pada prakiraan cuaca yang diumumkan
oleh Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menandakan
musim hujan akan turun pada bulan Oktober. Di Yogyakarta sendiri hujan turun di
minggu pertama November yang membasahi beberapa bagian ujung Utara daerah
lereng Gunung Merapi hingga Ujung
Selatan daerah Bantul di kemudian hari.
Memasuki musim hujan sebagian besar
masyarakat menyambutnya dengan suka cita. Terutama para petani padi yang sangat
membutuhkan pengairan di sawahnya begitu pula dengan warga di daerah Gunung
Kidul, beberapa kawasan Bantul, maupun Kulonprogo yang kesulitan mendapatkan air bersih. Namun,
datangnya musim hujan jika tidak diiringi dengan sikap manusiawi sangat mungkin
akan menjadi masalah bagi beberapa wilayah. Akibat manusia yang tidak bersikap
manusiawi dengan membuang sampah ke sungai, menebang pohon secara liar, serta padatnya pembangunan di sekitar kawasan
drainase membuat alam turut ‘mengamini’ akibat dari kelalaian manusia dalam
bersikap. Banjir, longsor, pohon tumbang, dan fenomena alam lainnya menjadi
peringatan akan kecerobohan sikap manusia yang tidak manusiawi.
Pendekatan Anthropogenic
Untuk itu, agaknya perlu adanya kesepahaman
terhadap masing-masing individu untuk menganggap bahwa banjir, longsor, dan
fenomena alam musiman lainnya bukanlah sebuah bencana melainkan sebuah akibat
dari faktor manusia (anthropogenic). Hal ini
diperkuat oleh kajian FKS Chan dan kawan-kawan Universitas Leeds (2012)
menemukan bahwa risiko banjir di kawasan mega-delta Asia sangat ditentukan
beberapa faktor anthropogenic, seperti pertumbuhan populasi, penurunan
muka tanah akibat pengambilan air tanah, serta peningkatan timbunan sedimen
akibat erosi dan pembuangan sampah di kawasan hulu.
Jelas bahwa
faktor anthropogenic adalah salah satu hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena alam destruktif terlepas dari faktor perubahan iklim yang tak terduga.
Oleh karena itu penanganan yang dilakukan harus melalui pendekatan kemanusiaan.
Perubahan mental masyarakat di setiap wilayah untuk menekankan pentingnya menjaga
lingkungan hidup perlu di lakukan baik melalui perangkat desa maupun dari pihak
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Disamping itu perlu adanya
koordinasi kepada seluruh perangkat desa untuk siaga terhadap bencana dan
melaporkan kepada BNPB jika terdapat tanda-tanda bencana. Selain itu
penanggulangan yang dilakukan pemerintah haruslah bersifat jangka panjang
seperti restorasi danau dan rawa, sistem drainase kota yang berkelanjutan, dan
fasilitas penampungan hujan buatan.
Pendekatan
Yuridis
Secara yuridis,
dalam Pasal 1 UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa yang dimaksud
sebagai bencana adalah ”peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Dalam pasal
tersebut di jelaskan bahwa penyebab bencana bisa merupakan faktor alam maupun
faktor non alam maupun faktor manusia (anthropogenic). Maka jika sebuah
bencana terjadi akibat faktor manusia, patutnya kita memperhatikan UU No
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan
”kerusakan lingkungan” sebagai akibat perusakan lingkungan oleh manusia . Dalam
UU ini setiap individu yang merusak lingkungan hidup wajib menanggulangi,
memulihkan, dan mengenalikan kerusakan lingkungan hidup. Disamping itu, juga
terdapat hak perlindungan bagi pihak yang mengadukan adanya perusak lingkungan
hidup.
Dengan demikian
penanggulangan terhadap bencana terutama pada musim penghujan dapat dilakukan
melalui dua pendekatan di atas. Secara manusiawi, merupakan kewajiban bagi
manusia untuk menjaga lingkungan hidup di sekitarnya, maka jika manusia
“khilaf” dan melakukan tindakan destruktif terhadap lingkungan langkah selanjutnya adalah pendekatan yuridis melalui
proses hukum yang ada.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar