Sabtu, 05 Oktober 2013
On 22.08 by Unknown No comments
Dayak Indramayu adalah sekumpulan orang yang memiliki ajaran dan gaya hidup yang
berbeda dengan suku di Indonesia pada umumnya. Bahkan tidak diatur dalam
kehidupan oleh pemerintah. Dayak Sugandu sendiri berarti mengayak
pribadi. Mereka tidak berhubungan dengan suku Dayak dari Kalimantan.
Ajaran dan suku ini sendiri mulai terbentuk pada tahun 1970. Ta’mad, sang pendiri menemukan titik jenuh akan aturan pemerintah. Melihat keadaan sekitar yang tidak berubah, Ta’mad mulai instropeksi diri dan menyadari bahwa cara tersebut adalah paling baik bagi manusia.
Selain itu, filosofi kehidupan mereka adalah alam. Bagaimana cara terbaik untuk mendekatkan diri dengan alam. Mereka percaya bahwa inti ajaran dalam hidup adalah alam.
Maka, nilai-nilai alamiah harus dihargai dan dijunjung tinggi. Seperti menghargai perempuan dan anak. Bahkan para kaum pria rela untuk mencari nafkah sekaligus mengurusi pekerjaan rumah tangga seperti memasak.
Bagi mereka, kaum perempuan memiliki martabat tinggi karena dari perempuanlah lahirlah individu-individu baru. Hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh pria siapapun dan dimanapun.
Begitu pun dengan anak yang lugu dan dianggap selalu benar. Oleh karena itu, pria Suku Dayak Sugandu berpatokan untuk mengabdi kepada perempuan terutama ibu, istri serta anak mereka.
Selain itu, semua aspek kehidupan mereka berdasarkan alam. Seperti penggunaan warna hitam dan putih sebagai penanda adanya siang dan malam. Mereka tidak menggunakan baju atasan terutama kaum pria. Mereka juga tidak makan daging untuk menghormati sesama mahluk hidup yang bernyawa.
Mereka
biasanya melakukan ritual rendeman atau biasa disebut kumkum yang
berfungsi untuk melatih kesabaran. Kumkum ini dilakukan selama 4 bulan
dalam setahun. Prosesi Kumkum dimulai dengan melakukan kidung di malam
hari sekitar pukul 23.00 WIB. Usai kidung, mereka beranjak ke sungai
kecil di dekat perkampungan mereka. Kemudian merendamkan diri hingga
esok pagi.
Mereka tetap dengan tidak menggunakan baju atasan. Selama 8 jam mereka harus menahan dingin dan juga gigitan ikan-ikan kecil yang usil di dalam sungai kecil tersebut. Ya, memang sangat melatih kesabaran. Tidak semua orang bisa melakukan dalam sekejap.
Butuh latihan perlahan-lahan untuk membiasakan diri dengan suhu air dan udara malam. Usai berendam semalam, ritual belum berhenti sampai di situ. Mereka melanjutkan dengan mepe alias berjemur.
Mereka berjemur
hingga celana mereka kering. Memang fungsi mepe untuk mengeringkan badan
sekaligus mendekatkan diri dengan alam dan tanah. Hasil dari ritual
ini, mereka merasa menjadi orang yang baru.
Kemudian kembali mencari nafkah cukup selama 8 bulan untuk hidup bersama anak dan istri. Kalau ada rezeki lebih, biasanya diberikan kepada yang membutuhkan. 4 bulan sisanya digunakan untuk melakukan ritual.
Mereka adalah suku tanpa memiliki kartu identitas. Bukan berarti mereka menentang negara Indonesia. Meskipun berbeda paham dan agama mereka tetap bagian dari Indonesia.
Bagi mereka kartu idetitas hanyalah sebuah kartu yang merepotkan. Identitas utama mereka adalah diri mereka yang kasat mata dan dibawa kemanapun mereka pergi. Meski sempat mengalami kesulitan karena tidak punya KTP saat berpergian ataupun mengurus surat-surat penting lain.
Kehidupan bermasyarakat mereka sangat baik. Terbukti, saat saya berada di kampung mungil ini, tidak ada istilah berkerumun hanya karena satu suku. Mereka membaur dan bekerja bersama saat di ladang. Membeli rokok di warung yang sama dengan warga lain. Saling menegur satu sama lain.
Mereka juga sangat terbuka dengan kedatangan orang asing . Tidak ada curiga ataupun tersinggung, mereka malah dengan senang hati menjawab semua pertanyaan saya.
Sampai saya menyadari bahwa pikiran saya sudah terkonstruksi dengan konsep masyarakat yang sama. Sama-sama punya suku, identitas, agama dan lain-lain. Mereka juga mengajari saya makna perbedaan dan bagaimana menghargai orang lain lewat senyuman sederhana
sumber : travel.detik.com
Ajaran dan suku ini sendiri mulai terbentuk pada tahun 1970. Ta’mad, sang pendiri menemukan titik jenuh akan aturan pemerintah. Melihat keadaan sekitar yang tidak berubah, Ta’mad mulai instropeksi diri dan menyadari bahwa cara tersebut adalah paling baik bagi manusia.
Selain itu, filosofi kehidupan mereka adalah alam. Bagaimana cara terbaik untuk mendekatkan diri dengan alam. Mereka percaya bahwa inti ajaran dalam hidup adalah alam.
Maka, nilai-nilai alamiah harus dihargai dan dijunjung tinggi. Seperti menghargai perempuan dan anak. Bahkan para kaum pria rela untuk mencari nafkah sekaligus mengurusi pekerjaan rumah tangga seperti memasak.
Bagi mereka, kaum perempuan memiliki martabat tinggi karena dari perempuanlah lahirlah individu-individu baru. Hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh pria siapapun dan dimanapun.
Begitu pun dengan anak yang lugu dan dianggap selalu benar. Oleh karena itu, pria Suku Dayak Sugandu berpatokan untuk mengabdi kepada perempuan terutama ibu, istri serta anak mereka.
Selain itu, semua aspek kehidupan mereka berdasarkan alam. Seperti penggunaan warna hitam dan putih sebagai penanda adanya siang dan malam. Mereka tidak menggunakan baju atasan terutama kaum pria. Mereka juga tidak makan daging untuk menghormati sesama mahluk hidup yang bernyawa.
berendam bersama di kali |
Mereka tetap dengan tidak menggunakan baju atasan. Selama 8 jam mereka harus menahan dingin dan juga gigitan ikan-ikan kecil yang usil di dalam sungai kecil tersebut. Ya, memang sangat melatih kesabaran. Tidak semua orang bisa melakukan dalam sekejap.
Butuh latihan perlahan-lahan untuk membiasakan diri dengan suhu air dan udara malam. Usai berendam semalam, ritual belum berhenti sampai di situ. Mereka melanjutkan dengan mepe alias berjemur.
berjemur seharian |
Kemudian kembali mencari nafkah cukup selama 8 bulan untuk hidup bersama anak dan istri. Kalau ada rezeki lebih, biasanya diberikan kepada yang membutuhkan. 4 bulan sisanya digunakan untuk melakukan ritual.
Mereka adalah suku tanpa memiliki kartu identitas. Bukan berarti mereka menentang negara Indonesia. Meskipun berbeda paham dan agama mereka tetap bagian dari Indonesia.
Bagi mereka kartu idetitas hanyalah sebuah kartu yang merepotkan. Identitas utama mereka adalah diri mereka yang kasat mata dan dibawa kemanapun mereka pergi. Meski sempat mengalami kesulitan karena tidak punya KTP saat berpergian ataupun mengurus surat-surat penting lain.
Kehidupan bermasyarakat mereka sangat baik. Terbukti, saat saya berada di kampung mungil ini, tidak ada istilah berkerumun hanya karena satu suku. Mereka membaur dan bekerja bersama saat di ladang. Membeli rokok di warung yang sama dengan warga lain. Saling menegur satu sama lain.
Mereka juga sangat terbuka dengan kedatangan orang asing . Tidak ada curiga ataupun tersinggung, mereka malah dengan senang hati menjawab semua pertanyaan saya.
Sampai saya menyadari bahwa pikiran saya sudah terkonstruksi dengan konsep masyarakat yang sama. Sama-sama punya suku, identitas, agama dan lain-lain. Mereka juga mengajari saya makna perbedaan dan bagaimana menghargai orang lain lewat senyuman sederhana
sumber : travel.detik.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar