Rabu, 09 April 2014
On 20.22 by Unknown No comments
Irfan Fauzi
Mahasiswa
UIN Sunan
Kalijaga
Gunung kidul
merupakan sebuah kabupaten yang terletak di ujung tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wilayah selatan didominasi oleh kawasan karst yang banyak terdiri dari goa-goa
alam dan beberapa sungai bawah tanah yang mengalir dengan deras. Kondisi
tersebut menyebabkan kondisi lahan di kawasan selatan kurang subur yang berimbas
kepada budidaya pertanian di kawasan ini menjadi kurang maksimal.
Walaupun secara
pertanian kurang subur, namun gunung kidul memiliki keindahan alam yang tidak
didapatkan di kabupaten –kabupaten lainnya yang berada di DIY. Beberapa Goa dan
Pantai yang bukan main indahnya seperti
Goa Pindul (Cave Tubing), Goa Oangobaran, Goa Seropan, Goa Ngirong,
Pantai Indrayanti, Pantai Pok Tunggal, Pantai Baron, Pantai Wedi Ombo, dan
lebih dari 60 pantai lainnya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal
dan mancanegara. Hal ini merupakan sebuah jalan dari tuhan kepada Gunung Kidul
dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat.
Potensi
wisata yang begitu menggiurkan, tentunya tidak lepas dari lirikan pemilik modal
atau pengusaha-pengusaha yang jeli dalam melihat peluang bisnis yang ada di
kawasan wisata Gunung Kidul. Terbukti dengan maraknya jual beli tanah
masyarakat kepada pemilik modal yang berada dilokasi strategis seperti di
pinggiran pantai dan kawasan yang dekat dengan jalan raya yang menuju pantai
–pantai di ujung selatan Gunung Kidul.
Menurut
Mujiono Mantan Camat saptosari di wilayahnya hampir tidak ada tanah milik di
tepi jalur yang dilalui Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) sampai pantai karena
sudah banyak dibeli oleh para pemodal besar (HariaJogja.com, 20/02/2014). Masyarakat yang menginginkan
keuntungan dengan cara yang instan pasti tergiur untuk menjual tanahnya kepada
pemodal besar karena rata-rata harga tanah disekitar kawasan wisata melonjak
hingga 5 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Padahal
kawasan JJLS dan sekitar pantai selatan, beberapa tahun mendatang diprediksi
akan terdapat peningkatan wisatawan yang cukup besar, yang tentunya akan
memberi keuntungan tersendiri bagi masyarakat yang memiliki lahan bisnis
disekitar kawasan strategis tersebut, tapi kini mayoritas tanah yang ada telah
dimiliki oleh segelintir pemilik-pemilik modal yang akan meraup keuntungan
besar dari pengelolaan wisata di ujung selatan Gunung Kidul. Jika hal tersebut
terjadi, maka kapitalisme pun akan terbentuk dengan sendirinya. Masyarakat
hanya menjadi penggembira dalam perputaran mekanisme pasar yang dibentuk oleh
pemilik –pemilik modal.
Disinilah
awal mulanya muncul berbagai konflik, karena keadilan ekonomi bagi masyarakat
Gunung Kidul tidak akan tercapai jika pengelolaan wisata di dominasi oleh segelintir
pemilik-pemilik modal. Sebut saja konflik yang terjadi pada pengelolaan wisata
Cave Tubing, Goa Pindul yang memanas pada Agustus 2013 silam, kemudian konflik
pengelolaan wisata Pantai Indrayanti antara pemilik lahan dan masyarakat
sekitar dan konflik lainnya. Dalam memecahkan konflik tersebut, perlunya peran
pemerintah dalam memberikan ketegasan kepada pihak-pihak yang hanya ingin
meraup keuntungan besar saja.
Disisi
lain, pemerintah merupakan salah satu unsur yang berhak dalam pengelolaan
wisata perlu bertindak cepat dalam mengakomodir aspirasi masyarakat.
Pengelolaan yang baik, akan terjadi disaat pemerintah mampu mensinergiskan pengusaha
dan masyarakat setempat dalam pengelolaannya sehingga tidak ada pihak yang
termarginalkan. Dengan pembangunan sarana dan prasarana yang baik, penataan
wisata yang efektif, publikasi yang gencar, maka tidak menutup kemungkinan
wisata alam Gunung Kidul akan sejajar dengan wisata alam di Bali yang akan
mendatangkan wisatawan –wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Dengan
demikian keadilan ekonomi akan terwujud dimana tidak terdapat lagi penumpukan
harta pada satu pihak, serta kesejahteraan menjadi milik bersama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar