Sabtu, 24 Desember 2016
On 16.47 by Unknown No comments
Oleh Irfan
Fauzi
Guru
Sekolah Alam Natur Islam
Hari rabu (14/12), di sekolah kami
baru selesai mengadakan kegiatan olahrga rutinan, yang diadakan dua kali dalam
setahun. Kami menyebutnya Sani Sport Day (SSD). Dalam perhelatan kegiatan ini,
seluruh siswa diikutkan dalam berbagai permainan outbond maupun olahraga. Ada Mousetrap, Dutchball, Bola Tangan, Futsal, Badminton, Bakiak, Tarik tambang,
barongsai, panahan (archery), pipa
bocor, hingga yang paling menantang adalah flying
fox.
Selama saya hidup, baru sekali
menjajal flying fox dengan ketinggian sekitar 6-7 meter. Itupun saya ikuti saat outbond bersama rekan-rekan les inggris
di Pare pada 2015 silam. Rasanya, baru menaiki tangga saja otot-otot disekujur
tubuh mendadak lemas. Apalagi saat berdiri di papan pijakan sambil melihat ke
bawah. Saya mendadak mual dan pucat. Ini biasanya terjadi bagi para peluncur
pemula. Dilalahnya, pada hari rabu kemarin, saya ditunjuk sebagai ketua panitia
acara SSD yang salah satu permainannya adalah Flying Fox.
Jujur, saya yang banyak kebingungan
karena tidak paham tentang peralatan maupun safety equipment flying fox yang
harus disediakan. Untungnya, suami rekan kerja saya di sekolah sudah terbiasa
dengan aktivitas outbond termasuk flying fox. Namanya Pak Edy.
Lewat beliau, kami mendadak mendapatkan
training singkat mengenai peralatan yang harus dipersiapkan serta teknis
peluncuran klien dari atas papan pijakan. Setidaknya, untuk keamanan peluncuran
dibutuhkan 6-7 orang. Masing-masing bertugas sebagai pemasang webbing (semcam tali pengaman yang
digunakan di badan), bilayer, stopper, jump master, dan pelepas webbing
di ujung landasan.
Peralatan flying fox yang dibutuhkan, ternyata banyak memakan biaya. Ada wire/tali kapal, pulley single atau tandom, cabiner
dengan berbagai tipe, papan pijakan, tangga bambu, tali prusik, tali tambang,
katrol, dan peralatan lainnya. Untuk pembelian pulley saja berkisar antara 300 – 400 ribu rupiah. Yang kami
butuhkan kurang lebih 3 pulley single.
Setelah pengecekan peralatan, kami menarik kembali wire hingga tegang dan aman untuk digunakan menggunakan katrol.
Mengingat persiapan yang singkat,
hanya tiga hari sebelum pelaksanaan SSD, kami tak sempat membersihkan wire dengan cara merendamnya menggunakan
solar. Menurut Pak Edy, itu membutuhkan waktu seharian. Belum lagi pemasangan wire dari satu pohon ke pohon lainnya.
Waktu kami tidak cukup.
Akhirnya, tibalah pelaksanaan SSD.
Pagi-pagi sekali kami sudah berkumpul di area lapang basket sekolah, untuk briefing dan menyiapkan seluruh
perlengkapan Flying fox. Sekitar 70an
siswa yang akan mencoba flying fox
hari ini. Kami, terdiri dari 7 orang dengan masing-masng tugas yang berbeda.
Ada yang memasang webbing, safety control, jump master, stopper, bilayer dan lain-lain.
Sembari menunggu persiapan flying fox, saya mengisi beberapa games icebreaker di tengah-tengah 70 siswa/i
yang sudah excited melihat peralatan
yang kami gunakan. Hal ini bertujuan agar siswa siap secara mental dan mengisi
kekosongan acara agar siswa tidak jenuh.
Persiapan rampung. Satu persatu
siswa mulai berkumpul dengan kelompoknya. Kami membentuk sepuluh kelompok.
Masing-masing kelompok terdiri dari siswa kelas 1 sampai kelas 6. Mereka akan
bermain berbagai jenis kegiatan outbond dan mini games secara bergantian. Untuk
flying fox, kami membagi peluncuran perkelas. Sehingga, saat sudah siap seluruh
anggota kelas berkumpul dan mengenakan webbing.
Peluncuran pertama dilakukan oleh
siswa kelas 4. Secara fisik, dia mungil tapi pemberani. Pemasangan webbing sudah dilakukan. Dengan tenang,
dia menuju ke tangga flying fox.
Sebelumnya, sudah saya kaitkan carabiner
ke webbing yang dipasang di pinggang.
Ini berfungsi untuk pengamanan saat menaiki tangga. Dengan percaya diri siswa
tersebut menaiki tangga dan tak lupa membaca doa. Saat di atas pijakan, rekan
saya yang bertugas sebagai jump master
memastikan semua ikatan webbing terpasang dengan baik. Carabiner yang mengaitkan pulley
dengan webbing pun terpasang
sempurna.
Jump Master, memberikan kode sambil bertanya kepada stopper, bilayer, dan seluruh tim apakah sudah siap meluncur atau belum.
Jempol masing-masing teracung. Artinya peluncuran siap. Tak lama kemudian,
siswa tersebut duduk dengan tenang di tepi pijakan. Kedua kakinya
bergelantungan. Sedangkan tangannya memegang erat webbing yang terikat pada pulley. Dalam hitungan detik dia mulai
meluncur mulus dan stabil.
“Sreettt,,,,,” suara gesekan pulley dengan wire begitu terasa.
Tapi, peluncuran tetap aman dan lancar.
Sebelum
menyentuh tanah, stopper menarik tambang yang menahan pergerakan meluncurnya
siswa. Dan sebelum dia sampai tanah, rekan saya di ujung landasan sudah
memegangnya sembari melepas carabiner.
Percobaan pertama lancar dan aman.
Semakin lama, kami semakin terbiasa
dan sigap dalam mengatur peluncuran flying
fox, dari pemasangan webbing
hingga pelepasannya. Untuk tujuh puluh siswa, setidaknya kami menghabiskan 3,5
jam. Kami memulai pada pukul 09.00 dan berakhir pada 12.30. Waktu yang cukup
cepat untuk seorang pemula seperti kami. Tepat setelah seluruh peluncuran
siswa, hujan gerimis perlahan turun. Semakin lama, hujan semakin deras dan
membasahi seluruh area sekolah termasuk flying
fox. Maka, segera kami rapihkan peralatan sekaligus istrahat. Hal ini
tentunya menjadi pengalaman sekaligus pembelajaran yang berharga buat saya.
Selasa, 15 November 2016
On 14.49 by Unknown No comments
Oleh : Irfan Fauzi
"Salah satu hikmah yang juga adalah kenikmatan bagi pasangan halal yang terpisah jarak adalah kerinduan."
Kehidupan awal setelah menikah adalah hari-hari yang
membahagiakan. Memandangi wajah istri ketika hendak tidur atau setelah bangun
tidur adalah hal yang paling menenangkan sekaligus menegangkan. Pada saat
itulah kami tinggal serumah dan berada di kamar yang sama.
Keseharian yang kami jalani setelah menikah tidak terlepas
dari euphoria resepsi pernikahan. Saya dan istri, juga adik ipar beserta para
ponakan yang menggemaskan , semarak membuka satu persatu kado pernikahan yang
kami dapatkan dari sanak saudara maupun kerabat. Kado pernikahan yang kami
terima sangat beragam, mulai dari peralatan dapur, peralatan makan,
perlengkapan tidur, tas, jam tangan, bingkai foto, hingga kaos organisasi
mahasiswa. Yang jelas, kami menerima kado dengan perasaan bahagia .
Selepas berubah status, kami berada di yogya tidak lebih dari 32
jam. Keesokan harinya, yaitu pada kamis malam (15/9) kami beserta keluarga yang
terdiri dari dua mobil berangkat ke Indramayu untuk mengunjungi rumahku.
Mungkin, istilah jawanya yaitu “Ngunduh Mantu”.
Saya kira tak banyak persiapan yang dilakukan orang tuaku,
mengingat baru sehari sebelumnya rombongan keluarga melakukan perjalanan dari
Yogya menuju Indramayu. Tak dinyana, saat kami datang ada Uwak ku, orang tua,
dan teman-teman ibuku yang menyambut. Hidangan tersedia lengkap. Sambil
berbincang kami makan bersama. Satu lagi kejutan yang kami terima yaitu
pemutaran film –foto & video – saat ijab qabul dan resepsi pernikahan kami.
kami melihatnya dengan senyum-senyum dan juga ada rasa terharu saat momen-momen
sakral didokumentasikan.
Keluarga dari Yogya tak bisa berlama-lama di rumahku. Mereka harus
melanjutkan perjalanan menuju Jakarta dan Rangkasbitung. Maka tidak sampai satu
hari di Indramayu, mereka sudah melanjutkan perjalanan, tentunya tanpa istriku.
Saya dan Istri tetap tinggal bersama orang tuaku sambil silaturahim dengan
beberapa saudara.
Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlangsung tiga hari. Selepas
tiga hari, saya dan Istri harus berpisah untuk sementara waktu menuntaskan
tanggung jawab pekerjaan yang belum selesai. Istri kembali ke Yogya dan saya
kembali ke Bekasi. Memang berat ujian jarak yang kami rasakan. Belum juga genap
satu minggu kami bersama. Kami harus merentang jarak dan waktu untuk bisa
berjumpa kembali dua bulan kemudian. Tapi, kami selalu mengambil hikmah dari
setiap kejadian. Salah satu hikmah yang juga adalah kenikmatan bagi pasangan
halal yang terpisah jarak adalah ‘kerinduan’.
Jumat, 28 Oktober 2016
On 05.26 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Suami Desiana Ratri Suryandari
Setelah akad nikah |
Udara Kaliurang memang sejuk. Saya hirup nafas dalam-dalam
sambil menikmati kesejukan lereng Gunung Merapi. Bapak dan Ibu ku sudah siap
disamping kanan dan kiri. Disusul Adik-adik, Kakek, Uwak. Di belakang, sudah
berbaris dua barisan memanjang ke belakang yang menggunakan dress dan batik
hijau. Mereka adalah keluarga dan teman-temanku yang mengiringi hingga menuju
Masjid.
Kulihat rombongan pengantin wanita sudah mulai berjalan
menuju Masjid Al-Ittihad. Kami pun mengikuti di belakang rombongan. Saya
melangkah dengan tenang dan sedikit terburu-buru.
“Pelan-pelan Fan, rombongan ny ketinggalan. Udah gak sabar
ya? He” celetuk salah satu rombonganku. Saya mulai tersadar dan tersenyum. Saya
melangkah terlalu lebar dan meninggalkan rombongan. Saya kontrol diri dan
kembali melangkah dengan tenang dan perlahan.
“Assalamuala’ikum...” Kami ucapkan serempak saat memasuki
pintu Masjid Al-Ittihad.
“Wa’alaikum salam...” Jawab rombongan pengantin wanita.
Saya langsung dipersilahkan duduk di samping mempelai wanita.
Di hadapan kami sudah ada bapak penghulu yang menggunakan baju seperti baju
kehakiman berwarna hitam. Di sampingku duduk Bapak dan Calon Bapak Mertua. Di
belakang kami, rombongan keluarga pengantin pria dan wanita berbaur. Sedangkan
disamping penghulu, saksi dari kedua pihak sudah hadir. Parsel dan Maskawin pun
sudah siap.
Acara dimulai ditandai dengan pembacaan basmalah
bersama-sama. Om Tono, salah satu paman calon istriku, yang memandu jalannya
akad pernikahan pada pagi hari yang membahagiakan itu. Sepatah dua patah kata,
disampaikan dengan sangat tenang dan sopan oleh Om Tono. Intinya adalah
penerimaan oleh pihak mempelai perempuan, serta menanyai kesediaan kedua belah
pihak mempelai. Selanjutnya, penyerahan parsel dari pihak kami, kepada pihak
perempuan. Tak lupa maskawin dan seperangkat alat shalat turut di pertunjukkan
sebagai simbolis penyerahan.
Memasuki acara inti, suasana semakin syahdu dan mendebarkan.
Saya tak henti-hentinya menarik nafas dalam-dalam. Terlebih saat acara sudah
dipandu oleh Penghulu. Bapak Penghulu tidak berpanjang-panjang dalam berpesan.
Singkat padat dan bermakna. Meski kadang tak berirama. Saya maklumi hal ini,
karena beliau mungkin sedikit kesal akan keterlambatan acara akad pagi itu.
Beliau berpesan tentang hak dan kewajiban baik suami maupun istri.
Tak berlama lagi, Pak penghulu kembali menanyai kesiapan dan
keikhlasan kami untuk dinikahkan, yang langsung kami jawab “Ya, bersedia dan
siap”. Lalu, beliau menggenggam tangan saya sambil berucap,
“Bismillahirrahmanirrahim, Anda saudara Irfan Fauzi, S. Pd
yang akan dinikahkan dengan Desianar Ratri Suryandari, S. Sos. I?”
“Ya Saya”, Jawabku.
“Saya nikahkan anda saudara Irfan Fauzi S.Pd dengan saudari
Desiana Ratri Suryandari, S.Sos.I binti Drs. Heri Bertus Sugeng Riyadi, dengan
maskawin seperangkat alat shalat dan perhiasan emas 10 gram dibaaayar,
tuuunai!”,
Sahhh Sahh |
Deg, deg, deg, jantung mulai berdebar, terlebih saat Pak
Penghulu menggerakkan tanganku, dengan maksud untuk segera berucap. Kutarik
nafas dalam, dan dalam satu tarikan nafas, saya berucap,
“Saya terima nikahnya saudari Desiana Ratri Suryandari binti
Bapak Heri Bertus Sugeng Riyadi dengan maskawin seperangkat alat shalat dan
perhiasan emas 10 gram dibayar tunai!”. Tandasku.
Sah? Ucap penghulu..
“Sahh,, Sahh, sahh,,,” ucap saksi dan para rombongan
keluarga.
Alhamdulillah.
Selepas itu, lantunan doa mengalir deras dari Pak Penghulu.
Kami dan para rombongan turut serta menunduk dan larut dalam kesyahduan doa akad
nikah. Sedikit demi sedikit, terdengar suara isak terharu bahagia. Mungkin,
dari Ibuku, keluargaku, atau keluarga istriku.
Saya juga hampir menangis, terharu dan bahagia. Yang
terbayang dalam benak saya, bahwa sejak detik itu, tugas dan tanggung jawab seorang
suami sudah saya emban. Dan ini adalah sebuah amanah yang tak boleh dilewatkan,
apalagi disalah gunakan.
Acara doa selesai. Selanjutnya, saya dan istri berdiri sambil
melakukan penyerahan maskawin. Beberapa rekan turut mengabadikan gambar kami.
Sayangnya, saat itu saya belum sempat mencium kening istri, laiknya di
film-film.
Waktu menunjukkan sudah jam sembilan lewat. Bapak penghulu
nampak terburu-buru, karena ada jadwal menikahkan dua pasangan lagi. Mungkin, dia
ingin menjaga profesionalitas sebagai penghulu, yang tepat waktu. Saya merasa
bersalah padanya. Di tawari untuk singgah dan makan pun, Pak Penghulu
menolaknya dengan halus. Akhirnya, acara sakral pagi itu, kami akhiri dengan
foto bersama di depan Masjid yang menjadi saksi ikatan janji suci kami.
Selasa, 25 Oktober 2016
On 03.30 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Saya dan Rombongan Pengantin Pria |
Matahari masih belum terbit.
Jalanan Kaliurang pun sunyi dan lengang. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari.
Tapi saya dan seorang kawan, Yahya namanya, sudah memacu gas motor menuju
perempatan degolan dekat kampus UII. Saya baru saja di kabari rombongan Uwak
dan bibi, dari Jakarta dan Garut sudah sampai. Mendekati perempatan, tak
kunjung kami dapati mobil Avanza silver yang digunakan Uwak.
“ Halo, Bi dimana? Irfan dah di
perempatan ni”, tanyaku melalui telpon kepada Bibi.
Setelah memberi tahu lokasi,
akhirnya kami bertemu di perempatan dan langsung kuajak menuju rumah mempelai
perempuan.
Rumah calon istriku berada di Dusun
Nglempong. Rumah yang asri dan sederhana itu kini sudah di hiasi dengan
umbul-umbul khas kawinan. Janur kuning melengkung sudah di pasang di depan meja
daftar tamu. Ada tenda yang cukup untuk
menampung lebih dari 200 orang. Tenda dipasang di depan rumah dan meminjam
akses jalan kampung. Ada panggung yang akan menjadi pelaminan kami.
Kursi-kursi itu masih kosong. Ini
dini hari. kurang lebih setengah tiga pagi. Ada calon kakak iparku yang sedang
istirahat di panggung pelaminan. Meskipun sungkan, akhirnya kubangunkan juga.
Keluargaku butuh istirahat, maka kakak iparku langsung menunjukkan kamarnya.
“Oh uda sampe to” katanya melihat
saya dan rombongan keluarga.
“Yang itu ya Fan, untuk yang
perempuan, untuk yang laki-laki kamarnya yang itu ya” ungkapnya, sambil
menunjuk ke arah samping rumah calon mertua.
Setelah menunjuk ruangan singgah
bagi rombongan pertama keluarga, saya pamit untuk kembali ke kos Yahya. Tidur
belum tuntas. Mata masih mengantuk, sedangkan jam 8 pagi harus sudah siap untuk
akad nikah.
Sejak semalam, saya sudah menginap
di kos Yahya. Kebetulan, Yahya yang bekerja di UII, indekos di Jalan Kaliurang
yang tidak jauh dari rumah calon mertuaku. Maka, sembari menunggu rombongan Bis
keluarga saya kembali tidur dan terlelap.
Pukul 05.00 WIB, adzan sudah
berkumandang sejak setengah jam yang lalu. Saya segera mendirikan shalat dan
menghubungi kembali rombongan bis keluarga. Bis belum juga mendekati Yogya.
Mereka masih berada di sekitar Kebumen.
Semenjak kemarin, saya sudah
was-was. Bis rombongan keluarga yang seharusnya berangkat ba’da Ashar,
mengalami keterlambatan yang cukup signifikan dan menguji kesabaran. Bayangkan,
rombongan keluarga kami sudah berkumpul sejak jam tiga sore. Mereka menunggu
dengan tenang, dan kadang sedikit menggerutu. Ada 35 orang yang sedang risau
menunggu si Bis tiga perempat. Rumah orang tua ku yang berbentuk kotak pun,
seakan-akan menimbulkan hawa panas. Hawa yang keluar dari perasaan risau plus
kesal para rombongan penunggu bis ¾. Sialnya, bis baru datang menjelang Magrib.
Mau tak mau, perjalanan pun dimulai Ba’da Magrib.
Jika diestimasikan, perjalanan
Indramayu-Yogya membutuhkan waktu sekitar 10-11 Jam. Tapi, entah supir bis ini
pernah ke Yogya atau belum. Dia mengemudikan bisnya dengan santai dan tenang
laiknya mengantarkan rombongan yang sedang menikmati tour safari. Para
penumpang, yang sedari menunggu di rumah menggerutu, juga kembali menggerutu
selama di Bis. Bis berjalan terlalu pelan. Pukul 04.30 WIB seharusnya rombongan
sudah sampai di Yogya.
Saya mencoba tenang ketika tiga jam
sebelum akad digelar, rombongan bis keluarga, yang membawa Bapak-Ibu,
adik-adik, Uwak, Bibi, Ponakan, Sepupu, hingga para tetangga, parsel dan
seserahan, belum juga datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Bis,
ketika saya hubungi baru singgah di perbatasan Purworejo-Kulonprogo. Seharusnya
1,5 jam lagi sampai. Tak henti-hentinya, rombongan keluarga dari Garut-dan
Jakarta menenangkanku. Kami menyusun rencana. Jika rombongan keluarga Indramayu
terlambat, maka yang menjadi wali dan saksi cukuplah dari rombongan keluarga
Garut-Jakarta. Untungnya, calon mempelai pria, yaitu saya, dan maskawin sudah
ada di lokasi nikah.
Menjelang pukul 08.00, kawan saya,
Sunaji namanya, yang sejak tadi menjadi jembatan komunikasi antara saya dan
rombongan, menelpon.
“ Fan, kita sudah sampai Yogya ni,
sudah di Ring Road, tenang bro hehe” terangnya sambil tertawa terkekeh berusaha
menenangkan ku.
“Ya buruan Sun, kalau udah di Jakal
(Jalan Kaliurang) langsung ikuti GPS ny aja” jawabku tak sabar, sambil duduk
tegap dan mbak-mbak perias, memoles dan membedaki wajahku.
Kurang beberapa menit dari pukul
delapan pagi, sebuah bis yang di cat kuning bertuliskan IQRA, sedang berusaha
memarkirkan diri di halaman samping rumah resepsi. Langsung kusapa, para
penumpang bis tersebut. Mereka adalah rombongan keluargaku. Satu persatu
rombongan keluar, mulai dari Bapak, Ibu, adik-adik hingga saudaraku. Wajah
lelah dan ngantuk tampak di setiap guratan. Senyum pun seakan sulit. Semalam, pasti
menjadi perjalanan yang sulit bagi mereka. Perjalanan bersama bis tiga per
empat yang disupiri seorang supir tua, yang mungkin gagal paham tentang arti
tepat waktu bagi rombongan pernikahan.
Mendadak, saya teringat pesan Bapak
penghulu kemarin.
“Besok, tepat waktu Ya mas. Soalnya
saya besok ada tiga tempat yang mau tak nikahi. Jam setengah sembilan, jam
sembilan sama jam sepuluh mas” . Kata Pak Penghulu, kemarin.
Saya bergegas mengarahkan para
rombongan sesuai pijakan tuan rumah. Rombongan laki-laki dan perempuan terpisah
berbeda ruangan. Saya berkoordinasi dengan orang tua untuk segera menyiapkan
diri. Sedangkan rombongan keluargaku yang lain, nampaknya tak cukup waktu untuk
sekedar mandi, apalagi buang air besar. Saat itu, waktu terasa berjalan dengan cepat.
Jam di layar smartphoneku sudah menunjukkan pukul 08.15. hanya 15 menit lagi
akad pernikahan sudah harus dilangsungkan. Sedangkan kami, baru saja mulai
bersiap. Menit itu, saya tambah risau dan galau.
to be continued..
Senin, 03 Oktober 2016
On 06.22 by Unknown No comments
Oleh : Irfan Fauzi
Yogya selalu menjadi kota yang
nyaman bagi saya. Meskipun saya terlahir bukan di Yogya, hati ini rasanya
selalu terpaut dengan kota yang biasa disebut Kota Pelajar ini. Mungkin karena
itulah kenapa saya semakin mantap dengan keputusan bahwa calon pendamping hidup
adalah warga Jogja.
Hari idul adha tahun ini, terpaksa saya tak merasakan empuk dan lezatnya daging kambing atau sapi. Setelah shalat Id dan makan pagi, Saya dan Ayah bergegas ke stasiun. Kami tak ingin ketinggalan kereta Gaya Baru Malam yang akan tiba di stasiun ba'da dhuhur.
Senin siang, 12 September 2016, saya menunggu datangnya kereta di Stasiun Haurgeulis, Indramayu. Ayah masih duduk setia disampingku, sambil memberi nasihat dan wejangan pra nikah. Saya terus mendengarkan dan meresapi setiap kalimat yang keluar darinya. Beliau selalu berpesan untuk hati-hati, jaga diri, jaga sikap, dan jaga lisan. Wejangan yang sederhana namun sarat makna.
Hari itu, saya mencoba menyerah
dengan semua ego yang biasa saya bawa ketika berbicara dengan ayah. Saya
sadar,hari itu adalah hari terakhir dimana saya menjadi tanggungan Ayah dan
beralih menjadi seorang pemimpin keluarga. Tak lama kemudian, sebuah informasi
dari pengeras suara di stasiun berbunyi. Kereta Gaya Baru Malam sudah hampir
tiba. Saya menyalami Ayah dengan penuh harap akan doa-doa beliau.
Kereta mulai berangkat pukul 12.30
WIB. Di dalam kereta saya bertemu dengan dua pemuda yang akan turun distasiun
yang sama dengan saya. Mereka sempat bertanya tujuan saya ke Yogya. Saya agak
ragu untuk jujur. Saya pikir tidak ada salahnya juga mengabarkan kabar gembira
ini. Saya bilang kepada mereka, “ Saya ke Yogya mau nikah Mas “. Awalnya,
mereka heran, mau nikah kenapa berangkat sendirian?, tapi tak lama mereka pun
mendoakan. “ Wah semoga lancar ya”.
Selama didalam kereta, saya terus
menikmati perjalanan yang akan menjadi sejarah dalam hidup. Banyak hal sudah
berubah tentang kereta. Kini, kereta lebih nyaman untuk digunakan. Perjalanan
pun lebih cepat karena hanya berhenti di stasiun-stasiun tertentu. Namun,
kadang saya rindu dengan suara-suara nyaring pedagang yang berteriak, “Poocari,
Mizon, Qua” (baca : Pocarisweat, Mizone, Aqua), mbok-mbok pecel, atau pedagang
batere, headset dan seperangkat pelengkap gadget yang kadang juga dibutuhkan
dalam perjalanan. Saya tak tahu bagaimana nasib mereka sekarang. Transaksi jual
beli di dalam kereta yang dulu laiknya pasar berjalan, kini terintegrasi oleh
tim pedagang berseragam yang disediakan kereta.
Kereta tiba di Lempuyangan 10 menit
lebih cepat dari jadwal. Sebelum keluar dari stasiun yang menjadi pijakan
pertama saat merantau ke Yogya, saya sudah mendapat pesan di BBM dari calon
istriku.
“Ping, Bang aku dah d depan stasiun
ya”.
Kami bertemu kembali setelah dua
bulan yang lalu memendam rindu. Ya, Dua bulan sebelumnya pada 13 juli september
setelah semarak arus mudik lebaran yang padat, saya melakukan khitbah atau lamaran. Kini, dua hari
lagi saya akan melangsungkan akad nikah.
Malam itu, tak ada lagi kata selain
bahagia. Calon istriku dengan senyum manisnya, menyapa lalu mengajakku
berkeliling dan bernostalgia tentang cerita cinta yang pernah dirajut di Yogya.
Kami mengulang romantisme masa-masa bahagia di Yogya. Menyambangi tempat makan
sambil duduk lama dan bercerita tentang perasaan rindu dan kangen, yang saya
rasa tak ada bedanya, tapi sama manisnya.
Di sebuah tempat makan sederhana,
dekat kampus UIN, kami berbagi cerita dan rasa. Saya pesan Nasi Goreng.
Dia-calon istriku- mencoba nikmatnya Cap Cai khas kaki lima. Tak dinyana, kami
bertemu dengan kawan lama. Namanya Ihsan. Dia adalah kawan saat kami menjalani
masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Mantrijeron dulu. Dia bersama pacar barunya,
juga menikmati hidangan yang tak jauh berbeda dengan kami. Akhirnya kami
bertukar cerita dan kembali bernostalgia tentang masa-masa pengabdian di desa
orang, pada tahun 2013 lalu.
Kami tak bisa berlama-lama di
tempat itu. Waktu terasa berputar dengan cepat jika saya bersama calon istri. Saya
menyusun beberapa rencana tempat istirahat malam ini. Bukan di wisma, hotel,
apalagi apartemen. Pilihan jatuh kepada kos seorang kawan di kawasan Papringan.
Tepat pukul 21.00 saya sudah sampai di kos kawan. Disitu, kembali saya melepas
senyum manis calon istri. Malam itu, kami berpisah untuk beberapa jam saja. Tidak
banyak kata yang terucap selain ucapan, “hati-hati ya dinda, sampai jumpa esok
hari” Serta senyum ikhlas dan penuh harap.
Sebagai penutup hari, kututup dengan obrolan
ringan bersama kawan kos ku. Fayakun namanya, tapi biasa kupanggil Mas Fay
karena usianya lebih matang. Sebelum terlelap, tak lupa saya izin kepada
kawanku ini,
“ Bro, aku turu sik yo, capek
banget.e hari ini”.
Dia hanya menjawab, “Yoo”.
Tak lama, saya mulai tak sadar dan mulai masuk
ke alam mimpi sambil berharap hari esok dan hari H semakin lancar dan semakin baik.
Sabtu, 13 Agustus 2016
On 21.43 by Unknown 2 comments
Oleh
Irfan Fauzi
Calon
Suami Desiana Ratri Suryandari
Suasana
arus balik lebaran 2016 masih sangat terasa di jalur Pantura. Deretan kendaraan motor roda dua, empat, atau
kendaraan umum berderet mengantri di sepanjang jalan yang kami lewati. Terlebih
di daerat pintu keluar tol Brebes, atau biasa disebut dengan Brebes Exit
(Brexit). Pemudik beroda dua, tak kenal lelah, terus berjuang menyusuri celah
sempit di antara deretan mobil yang terjebak macet. Adapun pemudik beroda
empat, dengan sabar tanpa membunyikan klaskon mobil, tetap menunggu untuk
menunggu giliran melajukan mobil.
Malam
itu, 12 Juli 2016, aku dan keluarga ditemani dua tiga uwak (kakak dari
orangtua), yaitu Wak Ama, Wak Wating, dan Wak Uud turut berjibaku dalam
semaraknya arus balik. Tapi, niat kami bukanlah untuk mudik apalagi arus balik.
Kami berniat mengikat seorang gadis manis Yogya yang kukenal sejak tiga tahun
silam.
Aku
jadi ingat perkataan seorang teman saat konsultasi masalah peminangan. Menurut
dia, sebaiknya tidak perlu membawa perhiasan atau parsel, cukup membawa diri
dan jangan lupa oleh-oleh khas kampung halaman. Maka, malam itu mobil kecil
yang kami tumpangi selain sesak oleh kami, juga sesak dijejali oleh-oleh khas
kampungku, seperti beras dan beberapa tandan pisang raja yang langsung diambil dari
kebun di kampung. Sayangnya, tidak ada buah mangga yang merupakan ikon khas
Indramayu.
Perjalanan
yang kami tempuh terbilang lancar, karena berlawanan dengan arus balik. Kurang
lebih 10 jam waktu yang ditempuh dari Indramayu menuju Yogya. Sebelum subuh
kami sudah sampai di kota tempatku kuliah dulu. Sesuai rencana, acara khitbah
akan berlangsung pukul delapan pagi. Maka, kami singgah dulu di kampusku sembari
istirahat sejenak, mandi serta sarapan. Untungnya, jadwal perkuliahan belum
berlangsung. Kampuspun tidak terlalu ramai dan aman untuk disinggahi.
Semenjak
sampai di Yogya, aku mulai was-was. Bukan karena grogi menghadapi prosesi
khitbah nanti. Tapi karena ponsel aku, dua-duanya, dalam kondisi mati kehabisan
listrik. Aku tak bisa menghubungi pihak si gadis. Mungkin, mereka juga
merasakan was-was karena belum mendengar kabarku sedari malam. Dalam kondisi
seperti ini, yang kulakukan adalah berbaik sangka bahwa mereka tetap menunggu
kehadiran kita.
Pukul
08.15 WIB, sudah sampai didepan halaman rumah si
Gadis. Suasana rumah nampak sepi. Beberapa saat, belum ada yang menyambut kami
hingga akhirnya datang seorang ibu paruh baya dan si Gadis yang menyambut kami.
Belakangan, kutahu ibu paruh baya ini adalah mertua dari salah satu paman si
Gadis. Pagi itu, makanan ringan khas jogja seperti Bakpia, dan kue kering
lainnya terhidang dengan rapih di atas permadani ruang tengah.
“Sebentar
ya Bang, Pak, Bu, orang tua aku masih di pasar, kirain tadi datangnya siang”,
ucap Gadis sambil senyum tapi grogi.
Kami
pun hanya mengiyakan, sambil tersenyum manis ke arahnya. Melihat kondisi rumah
yang sepi, batinku merespon,
“Ini
sepertinya efek ponsel mati dan terputusnya komunikasi antara aku dengan
keluarga si Gadis sedari malam. Untung, mereka tetap menunggu”.
Tak
lama kemudian, keluarga si Gadis datang dengan anggota keluarga yang lengkap.
Ada dua kakak, adik, dua paman, dan tentu kedua orang tua. Mereka duduk di
samping keluarga kami. Sedangkan aku, duduk di dekat TV dan berseberangan
dengan adik dan orang tua aku.
Mengawali
acara, Paman si Gadis yang biasa dipanggil Pakde Tono mulai berbicara dan
dengan Bahasa Indonesia logat Jogja secara lisan menyambut kedatangan keluarga
dari Indramayu ini. Lalu, menjawab sambutan dari Pakde Tono, Wak Wating menjawabnya
dengan menggunakan bahasa Jawa halus logat Indramayu. Diawali dengan pengantar
serta sedikit basa-basi, hingga akhirnya Pakde Tono mulai berbicara serius namun
dengan raut muka tenang,
“Jadi,
kiranya ada maksud dan tujuan apa Bapak, Ibu, dan Mas Irfan jauh-jauh dari
Indramayu datang kemari?”
Wak
Wating menjawab menggunakan bahasa campuran Jawa dan Indonesia. Singkatnya
seperti ini.
“Jadi
begini, kami datang kemari, pertama untuk mengikat tali silaturahim antara
keluarga kami di Indramayu, dan keluarga di Jogja. Kedua, tentu kami kesini
tidak hanya sekedar silaturahim”
“Kami,
disini, mewakili anak kami, Irfan..” Wak wating berhenti sejenak, sembari
melihat ke arahku,
“
Untuk meminang anak gadis Bapak,” lanjutnya.
“Tapi
sebelumnya, kami ingin bertanya, apakah anak gadis bapak, kalau kata orang
Indramayu mah, Masih Padang tah wis
Peteng?” Kelakar Wak Wating. Maksud Wak, kalau padang : terang, berarti gadis belum ada yang meminang atau
melamar. Tapi, kalau peteng : gelap,
berarti gadis sudah ada yang melamar.
Pak
de Tono pun berbicara langsung lalu memandang ke arah si gadis dan orang tuanya,
mereka menjawab serentak, “ belum bapak-bapak, masih padang”.
Kami,
keluarga Indramayu, sontak tersenyum lega. Lalu Wak Wating melanjtukan kembali,
“kalau
begitu, apakah gadis menerima lamaran Mas Irfan secara ikhlas dan tanpa
paksaan?”
Suasana
hening sejenak, menunggu jawaban si gadis. Semua mata tertuju kepada gadis yang
akan menjawab. Mukanya sedikit memerah sambil tersenyum, lalu menjawab,
“
Ya saya terima dan saya bersedia menjadi calon istrinya mas Irfan”.
Hadirin
sontak mengucakpkan rasa syukur, begitupula denganku yang sudah menjalankan
khitbah atau lamaran dengan lancar dan membahagiakan.
Maka,
acara pagi hari itu, dilanjutkan dengan makan bersama sereta bincang-bincang
antar keluarga. Makanan yang dihidangkan, betul-betul mewakili cita rasa Jogja
yang identik dengan masakan manis. Masakan seperti rendang pun terasa manis di
lidah. Bagiku, yang sudah terbiasa dengan masakan Jogja, rendang yang sedikit
manis menjadi santapan yang cocok dan lezat. Tapi, bagi keluargaku, mencicipi
rendang manis adalah pengalaman baru.
Di
sela-sela waktu makan, Pakde Tono, berpesan kepada calon istriku, bahwa menjadi
seorang istri haruslah taat dan mengikuti keputusan suami. Kemana suami pergi,
maka disitulah istri mendampingi. Beliau sampai-sampai mengatakan, “Seandainya
suami tidur di kolong jembatan, wajiblah bagi istri untuk menemani”. Maka,
muncul lah keyakinan dalam diriku, bahwa keluarga calon istriku,adalah keluarga
yang benar-benar bervisi sakinah, mawadah, dan rahmah.
Menjelang
dhuhur dan setelah mencicip berbagai hidangan yang disediakan, kami berpamitan
kepada keluarga calon istri. Tak lupa, kue dan pisang khas Indramayu sudah
diberikan. Tak dinyana, kami juga dibekali dengan beberapa parsel kue dan salak
Jogja yang dipetik dari Kawasan perkebunan
salak, Turi, Sleman.
salak, Turi, Sleman.
Hari
itu, adalah hari yang membahagiakan bagi kami, dan keluarga calon istriku.
Langkah awal dari cita-cita penyempurnaan separuh agama serta pembentukan
generasi muslim yang selamat dan berkah. Semoga, apa yang sudah kami rencanakan
dan cita-citakan untuk mengarungi biduk rumah tangga, senantiasa di ridhai oleh
Allah SWT. Aaamin.
Senin, 25 Juli 2016
On 02.11 by Unknown No comments
Oleh : Irfan Fauzi
Kader HMI Yogyakarta, kini tinggal di Bekasi
Berkumpul dengan alumni,
khususnya alumni HMI, selalu membuat saya bersemangat. Pasalnya, hampir
sembilan bulan lamanya saya tidak pernah terlibat lagi ( baik secara formal
maupun informal) dalam kegiatan HMI. Sejak saya merantau ke Bekasi, praktis
keseharian yang dilakoni yaitu kerja, cari penghasilan tambahan, dan kadang
terjun di ormas islam atau pun lembaga sosial non profit.
Pada bulan Ramadhan ini, saya pun
ikut merasakan susah senangnya berpuasa di Bekasi yang sama sekali berbeda
dengan Yogya. Jika di Yogya, setiap
menjelang magrib masjid atau mushola tanpa harus di undang pun sudah ramai oleh
jamaah. Takjil dan menu buka puasa gratis lah yang menjadi daya tarik jamaah.
Maka, tidak salah jika kawan-kawan Yogya bisa terpenuhi kebutuhan pokoknya
meskipun hanya uang receh yang terselip di dompet. Berbeda dengan Bekasi, kota
yang penuh akan perjuangan (maksudnya perjuangan mencari sesuap nasi) dari tingginya
biaya hidup. Rasanya sulit mencari makan yang ‘gratisan’. Semuanya serba
berbayar.
Untunglah pada beberapa
kesempatan, saya mendapat undangan buka bersama, termasuk salah satunya undangan
dari KAHMI Yogya yang diadakan di komplek DPR RI, Kalibata, Jakarta Selatan.
Selain menjadi ajang silaturahim dengan kawan lama, bukber KAHMI juga menjadi
pemicu bagi saya selaku kader HMI, bahwa, banyak senior HMI yang berhasil
secara materi maupun sosial. Selain itu, tentunya relasi baru dari para senior
juga bermanfaat.
Saya berangkat dengan salah dua
senior, salah satunya ialah senior komisariat, dan satu lainnya senior dari
cabang lain. Kami berangkat dari depan stasiun Duren Kalibata menggunakan
taksi. Jujur, saya akan merasa minder jika harus berangkat menggunakan motor.
Terkadang, penampilan bisa meningkatkan ke-PD-an sampai level sewajarnya.
Untung, saya sudah paham betapa pentingnya penampilan di dunia profesional.
Maka sore itu, saya menggunakan batik mega mendung khas cirebonan, celana hitam
panjang, dan sepatu hitam panthopel. Tampilan yang sederhana tapi pantas untuk
dilihat.
Begitu memasuki gedung, ghirah
hijau hitam mulai kembali saya rasakan. Perlahan saya tatap beberap alumni yang
wajahnya tampak asing, karena memang belum pernah ketemu, dan tanpa basa basi
langsung saya salami satu persatu. Sepertinya, saya adalah alumni paling
ingusan di acara itu. untunglah, saya bertemu dua kawan lama saat di Yogya,
jadi, saya bukan satu-satunya yang merasa ingusan.
Di dalam aula tersebut, sudah
tersusun kursi dan meja-meja makan yang dikemas dengan rapih dan elegan.
Disamping aula, deretan menu makanan juga siap untuk disantap. Ada puding,
buah-buahan, dan sirup sebagai makanan pembuka. Lalu ada bakso, soto ayam, dan
siomay sebagai menu tambahan. Dan hidangan utama, yaitu nasi dan
rekan-rekannya, baik ayam goreng, sapi, beserta masakan sayuran.
Azan magrib berkumandang. Tanpa
diberi aba-aba, meja makanan dan snack penuh oleh antrian para alumni yang
berbuka. Kami pun turut mengantri dan mencari spot yang nyaman untuk menyicip
berbagai snack/minuman yang ada.
Hanya sedikit senior yang kami
kenal saat itu, mungkin yang pernah sezaman dalam kepengurusan atau rentang 5-6
tahun lebih tua di atas kami. Ada demisioner KOHATI PB HMI, demisioner KOHATI
Cabang Yogya, beserta senior Yogya lainnya. Tokoh nasional alumni Yogya pun
turut meramaikan silaturahim dan bukber dihadiri oleh ratusan alumni. Ada bang
Mahfud MD, Chumaidi Syarif,
Kegiatan Bukber berlangsung
setelah shalat magrib dan makan malam. Ditandai dengan pembukaan oleh Tuan
Rumah, Bang .... , lalu sekapur sirih oleh pimpinan Yayasan Amal Insani, Bang
Mahadi Sinambella dan terakhir, kultum oleh Bang Mahfud MD. Beberapa sambutan
disampaikan sesuai bidangnya masing-masing. Bang ... selaku tuan rumah serta
mantan pejabat Bank Indonesia, menyampaikan tentang gentingnya hutang negara
Indonesia. Adapun Bang Mahadi, dengan penyampaian gagasan yang penuh humor
sesekali mengingatkan akan bahanya komunisme di Indonesia. Sedangkan Bang
Mahfud, dengan sangat terstruktur dan kadang humoris menyampaian tentang
pentingnya berjihad dalam berbagai aspek.
Buka bersama pada sore hari itu,
menyimpulkan pesan bahwa kader hmi adalah kader terbaik yang dimiliki
Indonesia. Kader yang berkarir secara profesional baik dalam bidang politik,
ekonomi, pendidikan, maupun bidang lainnya. Dan saya pun tertantang untuk bisa
menjadi seperti para pendahulu hmi yang sudah berkiprah dan berkarya bagi
bangsa.
Langganan:
Postingan (Atom)