Kamis, 25 Desember 2014
On 18.39 by Unknown No comments
Irfan Fauzi
Ketua BPL HMI Cabang Yogyakarta
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Hanya menghitung hari untuk memasuki Tahun Baru 2015. Tahun
dimana Indonesia turut aktif dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang menuntut
masyarakat Indonesia semakin produktif dan professional agar mampu bersaing
dengan masyarakat ASEAN lainnya. Tahun dimana Kabinet Kerja Jokowi-JK memasuki
memiliki segudang tugas kenegaraan terutama dalam pengentasan kemisikinan
sistemik yang diakibatkan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok. Begitu pula
dengan lembaga legislative yang punya setumpuk Rancangan Undang-Undang yang
sangat ditunggu-tunggu kebermanfaatannya oleh masyarakat.
Pada tahun 2015 tidak ada yang menjamin bahwa negeri ini akan
berubah cepat menuju kesejahteraan hakiki. Krisis moral yang melanda masyarakat
Indonesia tentu akan menjadi penghambat peningkatan kesejahteraan. Masyarakat
kita masih sulit untuk menerapkan prinsip egalitarianism maupun toleransi
keberagamaan. Sehingga tak jarang akan kita jumpai konflik keagaaman di
berbagai daerah.
Sedangkan dalam dunia politik terkadang sebagian politisi
kita menggunakan cara-cara yang tidak bermoral dalam mencapai tujuannya. Money Politic pun selalu ada dalam
setiap pemilu baik tingkatan daerah maupun nasional. Prilaku korupsi, kolusi
dan nepotisme yang terkutuk itu seakan sudah menjadi tradisi politik di negeri
ini.
Karl Gunnar Mydral (1898-1987) menilai Indonesia sebagai “soft state” alias “negara lunak”, yaitu
Negara yang masyarakatnya tidak punya ketegaran moral khususnya moral social
politik. Masyarakat Indonesia umumnya mengidap kelembekan (leniency), sikap serba memudahkan (easy going), sehinga menyebabkan kekurangpekaan terhadap masalah
penyelewengan kesejeahteraan.
Tidak heran saat Louis Kraar pengamat Negara industry di Asia
Timur, pada Tahun 1988 sudah meramalkan bahwa Indonesia 20 tahun mendatang
hanya akan menjadi halaman belakang (back
yard) Asia Timur, serta ditinggalkan oleh Negara tetangganya yang
berkembang menjadi Negara maju. Penyebabnya adalah etos kerja yang lembek serta
kourupsi yang gawat (Majid, 2004).
Sepertinya, ramalan Louis Kraar diatas sudah terbukti pada
masa kini, Indonesia hanyalah menjadi back
yard. Berbagai macam produk teknologi seperti handphone, smarthphone,
laptop, printer, serta gadget lainnya dikuasai oleh produk-produk dari Korea,
Jepang, China, hingga Eropa.
Moda transportasi juga demikian, mobil, motor, kereta api,
hingga pesawat terbang, hampir semua produk luar. Mobil nasional karya anak SMK
yang dulu pernah menjadi kebanggan sementara masarakat Indonesia kini tak jelas
lagi nasibnya. Sungguh menyedihkan bukan, negeri yang sudah merdeka 69 tahun
lamanya, masih terikat secara akut pada produk-produk impor negara-negara
tetangga.
Untuk itu, kiranya resolusi pada tahun 2015 ditekankan kepada,
pertama mereduksi krisis moral
masyarakat melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan investasi terpenting bagi pembangunan sumber daya manusia,
baik dari sisi pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Prilaku tidak bermoral akan
berkurang saat masyarakat Indonesia bisa mengenyam pendidikan yang
memperhatikan keseimbangan antara aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Secara formal, pendidikan seperti itu sudah tertuang dalam
kurikulum pendidikan kita, baik KTSP maupun Kurikulum 2013, yang terpenting
adalah pelaksanaannya secara maksimal. Pada posisi inilah peran guru sangat
vidal dalam mendidik anak-anak bangsa agar bermoral baik.
Kedua, berkaitan dengan krisis moral yang
melanda lembaga trias politica, maka
resolusinya dengan mewujudkan “good
governance” pada semua lapisan lembaga pengelolaan Negara dengan menghilangkan
budaya KKN. Prinsip-prinsip melindungi kebebasan sipil, membela hak-hak asasi
manusia, menegakkan kedaulatan hukum, serta mewujudkan keadilan social bagi
seluruh rakyat adalah bagian dari moral lembaga trias politica yang harus ada.
Ketiga, peningkatan etos kerja bagi seluruh
masyarakat. Etos kerja yang tinggi serta keinginan untuk berdikari secara
perlahan akan meningkatkan produktifitas masyarakat Indonesia, terlebih esok
kita sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pemerintah yang sekarang menamai
diri sebagai Kabinet Kerja harus memberi teladan kepada masyarakatnya untuk
bisa bekerja secara maksimal dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam
mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Tentunya berbagai macam krisis yang melanda negeri ini begitu
kompleks, sampai-sampai Nurcholis Majid menganalogikannya sebagai gunung es
yang puncaknya muncul ke luar permukaan laut. Tentu penyelesaian krisis tersebut
tidak akan selesai dalam satu – tiga tahun mendatang. Setidaknya dengan
menetapkan resolusi sebagai usaha mengurangi krisis diatas secara perlahan akan
menghancurkan gunung es krisis multidimensi di Indonesia. Semoga Indonesia
menjadi negeriyang lebih sejahtera di Tahun 2015.
Minggu, 14 Desember 2014
On 11.14 by Unknown No comments
Oleh
Irfan Fauzi
Mahasiswa
Pendidikan Fisika
Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga
Dunia
pendidikan kembali riuh dengan berbagai kejutan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Setahun yang lalu Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, M. Nuh mengeluarkan kebijakan melalui PERMENDIKBUD
N0.81 A tahun 2013 tetang implementasi Kurikulum 2013 secara
bertahap. Tidak berselang lama pada (5/12), Menteri Pendidikan Dasar
dan Menengah, Anis Baswedan membatalkan implementasi Kurikulum 2013
di seluruh sekolah yang baru melaksanakan satu semester.
Kebijakan
yang kontradiktif seperti di atas tentu membuat dunia pendidikan
semakin berjalan tertatih, khususnya pendidikan formal dimana guru
dan siswa sebagai objek yang terkena imbas langsung dari kebijakan
pelaksanaan dan pembatalan Kurikulum 2013. Tidak hanya guru dan
siswa, pemerintah daerah serta percetakan buku pun turut kebingungan,
karena berbagai persiapan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang telah siap
kini menjadi sia-sia.
Makna
Pendidikan
Dalam
memahami definisi pendidikan kita mengenal dua istilah yang sangat
populer yaitu paedagogi dan andragogi. Paedagogi dipandang sebagai
seni atau pengetahuan untuk mengajar anak-anak. Sedangkan Andragogi
yang dikenalkan Alexander Kapp seorang pendidik dari Jerman pada 1883
bermakna sebagai seni atau ilmu mengajar orang dewasa (Hidayat,
2013). Dari kedua jenis istilah di atas, ada kesamaan bahwa makna
pendidikan tidak terlepas dari pengajaran dan belajar.
Pendidikan
pada hakikatnya mendorong seorang manusia untuk belajar tentang
berbagai hal. Manusia sejak lahir hingga mati, dituntut untuk
mengalami proses belajar. Saat balita, agar seorang manusia bisa
berjalan saja, dia harus belajar dari merangkak, kemudian berjalan
tertatih, hingga berjalan sempurna. selanjutnya manusia belajar
berbicara, belajar berkomunikasi, belajar mengenal kehidupan
disekitarnya dan belajar-belajar lainnya. Intinya manusia tidak akan
lepas dari belajar.
Dalam
dunia pendidikan, agar manusia bisa belajar secara teratur maka
dibuatlah sekolah disertai sistem pendidikannya. Sistem pendidikan
yang baik menuntut terjadinya proses belajar yang interaktif antara
manusia yang ingin belajar dengan manusia yang mengajar kemudian kita
kenal sebagai siswa dan guru. Agar pelaksanaan pembelajaran teratur
maka dibuatlah Kurikulum yang mengatur seluruh hal-hal yang harus ada
dalam proses pembelajaran, baik itu mata pelajaran, lamanya waktu
belajar, cara mengajar, hingga system penilaian pembelajaran .
Degan
demikian kurikulum hanyalah alat bantu agar seorang manusia dapat
belajar secara teratur dan kontinu. Jika kita kembali pada polemik
kebijakan Kurikulum, sungguh kurikulum bukanlah satu-satunya hal
substantive dari pendidikan.
Alangkah
bijaknya jika pemerintah lebih menekankan kepada peningkatan kualitas
pembelajaran. Guru dan siswa adalah pemeran utama dalam dunia
pendidikan formal. Kurikulum sebagus apapun tidak akan berhasil jika
guru tidak mampu mentransformasikannya pada pembelajaran di kelas.
Sejarah
mencatat bahwa Kurikulum kita berubah-ubah mulai dari kurikulum 1947,
kurikulum 1952, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kuri kulum 1984,
kurikulum 1994, KBK 2004, KTSP 2006, dan Kurikulum 2013. Dari situ
kita dapat melihat bagaimana siswa “produk kurikulum” pada 5-10
tahun berikutnya. Untuk melihat hasil KBK kita lihat saja pada
generasi pemuda saat ini yang mengenyam bangku pendidikan pada
kisaran tahun 2004. Begitu juga dengan KTSP. Apakah hasilnya baik?
Apakah benar genarasi pemuda saat ini sudah menjadi seorang
pembelajar? Bagaimana dengan sikapnya?
Pemerintah
sebagai pihak yang berwenang mengatur sistem pendidikan hendaknya
mampu berpikir jernih dan reflektif atas jawaban pertanyaan di atas.
Jangan sampai ada tendensi kepentingan maupun ego golongan. Kurikulum
bukanlah sepeda motor yang bisa dimodifikasi semaunya sendiri karena
korbannya adalah para siswa. Calon penerus pemerintah yang saat ini
berjaya. Jangan sampai siswa yang sekarang menjadi penerus pemerintah
yang bingung kelak, jadikanlah siswa saat ini menjadi manusia
pembelajar agar kelak menjadi pemerintah yang pembelajar.
Kamis, 20 November 2014
On 04.09 by Unknown No comments
Oleh Irfan
Fauzi
Mahasiswa
Pendidikan Fisika
Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga
Bulan November menjadi penanda datangnya
musim hujan di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Musim penghujan pada musim ini
sepertinya agak terlambat jika kita merujuk pada prakiraan cuaca yang diumumkan
oleh Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menandakan
musim hujan akan turun pada bulan Oktober. Di Yogyakarta sendiri hujan turun di
minggu pertama November yang membasahi beberapa bagian ujung Utara daerah
lereng Gunung Merapi hingga Ujung
Selatan daerah Bantul di kemudian hari.
Memasuki musim hujan sebagian besar
masyarakat menyambutnya dengan suka cita. Terutama para petani padi yang sangat
membutuhkan pengairan di sawahnya begitu pula dengan warga di daerah Gunung
Kidul, beberapa kawasan Bantul, maupun Kulonprogo yang kesulitan mendapatkan air bersih. Namun,
datangnya musim hujan jika tidak diiringi dengan sikap manusiawi sangat mungkin
akan menjadi masalah bagi beberapa wilayah. Akibat manusia yang tidak bersikap
manusiawi dengan membuang sampah ke sungai, menebang pohon secara liar, serta padatnya pembangunan di sekitar kawasan
drainase membuat alam turut ‘mengamini’ akibat dari kelalaian manusia dalam
bersikap. Banjir, longsor, pohon tumbang, dan fenomena alam lainnya menjadi
peringatan akan kecerobohan sikap manusia yang tidak manusiawi.
Pendekatan Anthropogenic
Untuk itu, agaknya perlu adanya kesepahaman
terhadap masing-masing individu untuk menganggap bahwa banjir, longsor, dan
fenomena alam musiman lainnya bukanlah sebuah bencana melainkan sebuah akibat
dari faktor manusia (anthropogenic). Hal ini
diperkuat oleh kajian FKS Chan dan kawan-kawan Universitas Leeds (2012)
menemukan bahwa risiko banjir di kawasan mega-delta Asia sangat ditentukan
beberapa faktor anthropogenic, seperti pertumbuhan populasi, penurunan
muka tanah akibat pengambilan air tanah, serta peningkatan timbunan sedimen
akibat erosi dan pembuangan sampah di kawasan hulu.
Jelas bahwa
faktor anthropogenic adalah salah satu hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena alam destruktif terlepas dari faktor perubahan iklim yang tak terduga.
Oleh karena itu penanganan yang dilakukan harus melalui pendekatan kemanusiaan.
Perubahan mental masyarakat di setiap wilayah untuk menekankan pentingnya menjaga
lingkungan hidup perlu di lakukan baik melalui perangkat desa maupun dari pihak
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Disamping itu perlu adanya
koordinasi kepada seluruh perangkat desa untuk siaga terhadap bencana dan
melaporkan kepada BNPB jika terdapat tanda-tanda bencana. Selain itu
penanggulangan yang dilakukan pemerintah haruslah bersifat jangka panjang
seperti restorasi danau dan rawa, sistem drainase kota yang berkelanjutan, dan
fasilitas penampungan hujan buatan.
Pendekatan
Yuridis
Secara yuridis,
dalam Pasal 1 UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa yang dimaksud
sebagai bencana adalah ”peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Dalam pasal
tersebut di jelaskan bahwa penyebab bencana bisa merupakan faktor alam maupun
faktor non alam maupun faktor manusia (anthropogenic). Maka jika sebuah
bencana terjadi akibat faktor manusia, patutnya kita memperhatikan UU No
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan
”kerusakan lingkungan” sebagai akibat perusakan lingkungan oleh manusia . Dalam
UU ini setiap individu yang merusak lingkungan hidup wajib menanggulangi,
memulihkan, dan mengenalikan kerusakan lingkungan hidup. Disamping itu, juga
terdapat hak perlindungan bagi pihak yang mengadukan adanya perusak lingkungan
hidup.
Dengan demikian
penanggulangan terhadap bencana terutama pada musim penghujan dapat dilakukan
melalui dua pendekatan di atas. Secara manusiawi, merupakan kewajiban bagi
manusia untuk menjaga lingkungan hidup di sekitarnya, maka jika manusia
“khilaf” dan melakukan tindakan destruktif terhadap lingkungan langkah selanjutnya adalah pendekatan yuridis melalui
proses hukum yang ada.
Sabtu, 15 November 2014
On 22.59 by Unknown No comments
Oleh Irfan
Fauzi
Koordinator MPKPK HMI
Komfak. Saintek UIN Sunan Kalijaga
Bulan November menjadi penanda datangnya
musim hujan di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Musim penghujan pada musim ini
sepertinya agak terlambat jika kita merujuk pada prakiraan cuaca yang diumumkan
oleh Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menandakan
musim hujan akan turun pada bulan Oktober. Di Yogyakarta sendiri hujan turun di
minggu pertama November yang membasahi beberapa bagian ujung Utara daerah
lereng Gunung Merapi hingga Ujung
Selatan daerah Bantul di kemudian hari.
Memasuki musim hujan sebagian besar
masyarakat menyambutnya dengan suka cita. Terutama para petani padi yang sangat
membutuhkan pengairan di sawahnya begitu pula dengan warga di daerah Gunung
Kidul, beberapa kawasan Bantul, maupun Kulonprogo yang kesulitan mendapatkan air bersih. Namun,
datangnya musim hujan jika tidak diiringi dengan sikap manusiawi sangat mungkin
akan menjadi masalah bagi beberapa wilayah. Akibat manusia yang tidak bersikap
manusiawi dengan membuang sampah ke sungai, menebang pohon secara liar, serta padatnya pembangunan di sekitar kawasan
drainase membuat alam turut ‘mengamini’ akibat dari kelalaian manusia dalam
bersikap. Banjir, longsor, pohon tumbang, dan fenomena alam lainnya menjadi
peringatan akan kecerobohan sikap manusia yang tidak manusiawi.
Pendekatan Anthropogenic
Untuk itu, agaknya perlu adanya kesepahaman
terhadap masing-masing individu untuk menganggap bahwa banjir, longsor, dan
fenomena alam musiman lainnya bukanlah sebuah bencana melainkan sebuah akibat
dari faktor manusia (anthropogenic). Hal ini
diperkuat oleh kajian FKS Chan dan kawan-kawan Universitas Leeds (2012)
menemukan bahwa risiko banjir di kawasan mega-delta Asia sangat ditentukan
beberapa faktor anthropogenic, seperti pertumbuhan populasi, penurunan
muka tanah akibat pengambilan air tanah, serta peningkatan timbunan sedimen
akibat erosi dan pembuangan sampah di kawasan hulu.
Jelas bahwa
faktor anthropogenic adalah salah satu hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena alam destruktif terlepas dari faktor perubahan iklim yang tak terduga.
Oleh karena itu penanganan yang dilakukan harus melalui pendekatan kemanusiaan.
Perubahan mental masyarakat di setiap wilayah untuk menekankan pentingnya menjaga
lingkungan hidup perlu di lakukan baik melalui perangkat desa maupun dari pihak
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Disamping itu perlu adanya
koordinasi kepada seluruh perangkat desa untuk siaga terhadap bencana dan
melaporkan kepada BNPB jika terdapat tanda-tanda bencana. Selain itu
penanggulangan yang dilakukan pemerintah haruslah bersifat jangka panjang
seperti restorasi danau dan rawa, sistem drainase kota yang berkelanjutan, dan
fasilitas penampungan hujan buatan.
Pendekatan
Yuridis
Secara yuridis,
dalam Pasal 1 UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa yang dimaksud
sebagai bencana adalah ”peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Dalam pasal
tersebut di jelaskan bahwa penyebab bencana bisa merupakan faktor alam maupun
faktor non alam maupun faktor manusia (anthropogenic). Maka jika sebuah
bencana terjadi akibat faktor manusia, patutnya kita memperhatikan UU No
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan
”kerusakan lingkungan” sebagai akibat perusakan lingkungan oleh manusia . Dalam
UU ini setiap individu yang merusak lingkungan hidup wajib menanggulangi,
memulihkan, dan mengenalikan kerusakan lingkungan hidup. Disamping itu, juga
terdapat hak perlindungan bagi pihak yang mengadukan adanya perusak lingkungan
hidup.
Dengan demikian
penanggulangan terhadap bencana terutama pada musim penghujan dapat dilakukan
melalui dua pendekatan di atas. Secara manusiawi, merupakan kewajiban bagi
manusia untuk menjaga lingkungan hidup di sekitarnya, maka jika manusia
“khilaf” dan melakukan tindakan destruktif terhadap lingkungan langkah selanjutnya adalah pendekatan yuridis melalui
proses hukum yang ada.
Senin, 03 November 2014
On 03.33 by Unknown No comments
Oleh
Irfan Fauzi
Mahasiswa
Pendidikan Fisika
Fakultas
Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga
Kini
Indonesia memasuki sebuah era baru. Di bawah kepemimpinan Joko Widodo
dan Jusuf Kalla masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden,
dengan 34 Menteri yang baru dilantik senin (27/10), siap membawa
Indonesia memasuki era baru. Semua perhatian publik nasional tertuju
kepada para pemimpin negara, banyak harapan akan kehidupan yang lebih
sejahtera dan makmur ditujukan kepada “Kabinet Kerja”. Sehingga
tidak ada lagi pameo yang berkata “ Teruslah
bekerja, jangan berharap pada negara”.
Karena negara dan pemerintah ada untuk mensejahterakan rakyat bukan
dibiarkan sebagai formalisme lembaga kenegaraan semata.
Banyak
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kabinet kerja yang dipimpin
jokowi dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial, politik,
pendidikan, pertahanan, keamanan, dan lainnya. Tentu yang paling
utama adalah mentransformasikan revolusi mental yang menjadi ide
utama dari Kabinet Kerja. Revolusi mental sejatinya bukanlah sesuatu
yang baru, saat pidato kemerdekaan 17 Agustus 1956 Bung Karno juga
menggunakan istilah ini untuk merubah ‘mental’ rakyat Indonesia
kala itu yang masih trauma dengan budaya kolonialisme. Tetapi hingga
kini, revolusi mental masih sebatas wacana yang belum melembaga ke
setiap sektor. Meskipun Indonesia memasuki era reformasi, namun
budaya korupsi, kolusi, nepotisme, intoleransi terhadap perbedaan
suku, agama, dan ras adalah sisa-sisa peninggalan Orde Baru. Untuk
itu penting sekali transformasi revolusi mental yang diusung Kabinet
Kerja agar terwujud secara perlahan.
Revolusi
Mental dan Kurikulum 2013
Ada
kedekatan antara revolusi mental dengan pendidikan kita saat ini.
Revolusi mental menurut Karlina Supelli diartikan sebagai perubahan
mental atau cara hidup yang tidak hanya berada pada ranah moral saja,
tapi juga tindakan ragawi. Karlina menegaskan agar masyarakat tidak
keliru dalam mengartikan revolusi mental. Sejatinya revolusi mental
adalah bentuk sebab akibat dari dunia mental dengan pengalaman
ragawi. Cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, cara
berprilaku/bertindak adalah kontekstualisasi dari mental.
Mentalitas
yang ingin dicapai kabinet kerja sebagai ide pembangunan moral
sebenarnya memiliki ritme yang sama dengan ide pembelajaran pada
Kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran ditekankan kepada
pendekatan saintifik yang terlembaga kepada lima proses yaitu
mengamati, menanya, eksperimen/mengumpulkan informasi,
menalar/menganalisis, serta membuat jejaring/mengkomunikasi. Dalam
lima proses tersebut, setiap siswa dituntut agar mampu menerapkan
sikap ilmiah seperti jujur, objektif, dan akuntabel selama proses
pembelajaran.
Disamping
itu, Kurikulum 2013 menuntut peserta didik agar mampu mencapai tiga
kompetensi yaitu kompetensi sikap yang terlembaga kepada sikap
spiritual dan sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi
keterampilan. Sikap spiritual yaitu sikap yang diharapkan dari siswa
mengenai kesadaran beragama sesuai agamanya masig-masing. Sikap
sosial berkenaan bagaimana siswa bersikap kepada sesama temannya dan
kepada masyarakat sekitar. Disini siswa dituntut untuk bisa bersikap
jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, gotong royong, santun,
responsif, dan proaktif selama pembelajaran. Kompetensi pengetahuan
berkaitan dengan ontologi dari mata pelajaran yang sedang dipelajari
baik secara faktual, konseptual, serta prosedural yang diimbangi
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, dan peradaban. Sedangkan
kompetensi keterampilan berkaitan output praktis siswa yang
diharapkan mampu menyajikan hingga mencipta secara konkret dari
pengembangan mata pelajaran yang dipelajari.
Pesan
moral dalam Kurikulum 2013 di atas merupakan bagian dari mentalitas
yang ingin dicapai dalam revolusi mental. Untuk itu implementasi
Kurikulum 2013 harus didukung secara penuh oleh pemerintah dalam hal
ini Kabinet Kerja yang dipimpin Jokowi. Jangan sampai kealfaan
pemerintah terhadap masalah-masalah implementasi Kurikulum 2013 di
lapangan akan menjadi penghambat. Infrastruktur, kompetensi pendidik,
buku pembelajaran, serta hal lain yang berkaitan dengan kurikulum
2013 harus disiapkan secara matang. Jika pelaksanaan Kurikulum 2013
mampu diterapkan secara ideal, maka secara bersamaan revolusi mental
pun akan terwujud yang di mulai dari pendidikan. Semoga !
Rabu, 29 Oktober 2014
On 01.11 by Unknown No comments
Ketua BPL HMI Cabang Yogya
Bidang Penelitian dan Pengembangan
“Berikanlah aku sepuluh pemuda,
niscaya akan kuguncang dunia”- Soekarno
Tidak berlebihan apa yang
disampaikan oleh salah satu proklamator di atas. Pemuda merupakan motor dari penggerak
kemerdekaan. Catatan sejarah mengenai peran pemuda dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan NKRI rasanya sudah cukup banyak dijadikan contoh. Bahkan tak
sedikit pemuda-pemuda yang menjadi pemimpin besar, sebut saja Mohammad Yamin, Soekarno,
Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Lahirnya sumpah pemuda merupakan bukti kekuatan
pemuda pada masa –masa pra kemerdekaan tepatnya pada 28 Oktober 1928. Saat itu
seluruh kumpulan pemuda daerah di Indonesia seperti jong celebes, jong
java, jong sumateranen, jong bataks, jong islamiten bond,
jong ambon, dan pemoeda kaoem betawi, bersatu untuk meneguhkan dan
merebut kemerdekaan Indonesia melalui sebuah ikrar yang berisi tiga ide yaitu
satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.
Kini, 86 tahun telah berlalu
sejak Sumpah Pemuda di ikrarkan oleh Mohammad Yamin dan kawan-kawan,
pemuda-pemuda Indonesia dihadapkan pada tantangan baru. Tantangan untuk menjaga
kebudayaan Indonesia agar bisa bersanding dengan modernitas di level
internasional.
Indonesia sebagai negeri dengan
penduduk terbanyak ke-empat di dunia menjadi pasar potensial dan menggiurkan bagi
para pelaku bisnis. Pop culture dengan begitu mudahnya diterima oleh
masyarakat Indonesia, sebut saja Korean Pop, Japan Pop, hingga bollywood yang
kini naik pamor berkat film-film roman klasik yang menggambarkan kisah para
dewa di India. Pop culture seperti yang disebutkan di muka memiliki
kekurangan dan kelebihan bagi masyarakat. Kelebihannya tentu masyarakat semakin
mengenal dunia internasional dengan mengetahui kebudayaan negera lain, cara
hidup, cara berkomunikasi, bahkan bagi sebagian pemuda pop culture bisa
menjadi inspirasi. Mulai bermunculan boyband dan girlband yang
terinspirasi dari K-Pop adalah contoh kecil dari sisi kreatifitas masyarakat
kita dalam menerima budaya pop terlepas dari sentimen tentang K-Pop.
Namun, ada hal yang kita lupakan
bahwa pop culture secara perlahan mulai menggerus budaya Indonesia yang secara
tidak langsung kita menjadi objek ekspansi budaya pop. Padahal Indonesia sangat
kaya akan budaya tradisional yang begitu beragam dari berbagai daerah. Di
bidang seni tari saja begitu beragamnya jenis tarian yang kita miliki. Sebut
saja tari saman dari Aceh, tari piring dari Minangkabau, tari jaipong dari Jawa
barat, Reog Ponorogo, Tari Bedaya dari Yogya dan masih banyak lagi. Namun para
pemuda secara perlahan meninggalkan budayanya sendiri. Hanya segelintir pemuda
yang dengan bangga melestarikan budaya tradisional daerahnya.
Menghadapi AFTA
Tak lama lagi Indonesia akan menghadapi
Asean Free Trade Area (AFTA) pada 2015 mendatang. Dimana para pelaku
bisnis akan lebih leluasa untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Mungkin saja Indonesia hanya akan menjadi objek
pasar jika masyarakat tidak serius mempersiapkan potensi yang dimiliki dalam
menghadapi AFTA. Sadar atau tidak pop culture yang sudah membaur dengan
masyarakat Indonesia adalah langkah awal negara-negara luae dalam menjalankan
peran sebagai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Lalu apa yang kita dapatkan? Kita
hanya akan menjadi konsumen, penikmat, bahkan objek dari pergerakan pasar ASEAN.
Sangat merugi jika hal itu terjadi karena secara tak langsung kita memasuki
sebuah penjajahan baru, yaitu penjajahan ekonomi dan budaya.
Salah satu peluang yang kita
punya untuk menghadapi AFTA adalah budaya khas Indonesia. Budaya yang begitu melimpah
jika mampu kita kemas dan kembangkan niscaya budaya Indonesia mampu untuk go
international. Lihat saja angklung, yang kini sebagian masyarakat eropa dan
amerika pun mengenalnya bahkan bisa memainkannya. Batik, yang kini sudah
dipatenkan sebagai budaya khas Indonesia oleh UNESCO menjadi daya tawar yang
strategis bagi perkembangan tekstil dan busana di Indonesia.
Masih banyak lagi budaya kita
yang belum dikenal oleh masyarakat dunia, oleh karena itu kita sebagai pemuda
Indonesia sudah seharusnya melestarikan budaya-budaya khas Indonesia yang bisa
dimulai dari daerahnya masing-masing. Agar kelak, kita bisa melakukan “ekspansi
budaya” tidak hanya di negeri-negeri ASEAN juga ke seluruh negara di dunia.
Indonesia pun akan mampu bersanding dengan negara-negara maju lainnya dengan
berpijak kepada budaya lokal sebagai daya tawar internasional. Inilah
redefinisi dari Sumpah Pemuda di masa kini.
Langganan:
Postingan (Atom)