Senin, 03 Agustus 2015
On 01.57 by Unknown No comments
Oleh Irfan Fauzi
Alumnus Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga
El Nino dalam bahasa Spanyol berarti “anak laki-laki” kini mulai bergejolak. Berdasarkan sejarahnya, bermula dari penduduk atau nelayan Peru dan Ekuador yang berada di sekitar Samudera Pasifik bagian timur, menjelang bulan Desember biasanya menemukan Fenomena El Nino yaitu meningkatnya suhu permukaan laut yang pada bulan Desember biasanya dingin. Hal ini menyebabkan perairan yang tadinya subur dan kaya ikan menjadi sebaliknya.
Biasanya, saat tidak terjadi El Nino, permukaan air laut di Timur Samudera Pasifik akan didatangi ikan dalam jumlah banyak karena ada pergerakan vertikal massa air laut (upwelling) yang membawa air yang suhunya lebih dingin dari suhu kedalaman 40-80 meter laut serta kaya akan nutrien, sehingga mampu menarik ikan untuk berkumpul di permukaan laut. Namun saat terjadi El Nino, upwelling melemah menyebabkan permukaan laut miskin nutrien. Akibatnya, tidak banyak ikan yang berkumpul di permukaan laut.
Seiring berkembangnya waktu, ternyata fenomena El Nino ini juga ditemukan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. El Nino menyebabkan anomali kondisi alam ditandai dengan meningkatnya suhu permukaaan laut yang signifikan di Samudera Pasifik sekitar ekuator, khususnya di bagian timur dan tengah. Hal ini menyebabkan berurangnya curah hujan secara signifikan di Indonesia.
Untuk mengukur indeks variabilitas antar tahunan musim dan iklim di dunia, digunakanlah istilah ElNino Southern Oscillation (ENSO) dengan menggunakan indeks dari -2,5 sampai 2,5. Jika indeks sampai pada -2,5 maka disebut dengan La Nina (Kebalikan El Nino) Kuat, namun jika indeks mencapai 2,5 disebut dengna El Nino Kuat. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), El Nino terkuat yang pernah kita alami terjadi pada tahun 1997 dimana indeksnya mencapai 2,45. Efeknya adalah kekeringan di lahan persawahan hingga 462.130 Ha, serta kebakaran 11.880 hektar hutan dan 114.840 Hektar perkebunan (Kompas, 31/07).
Gejala El Nino 2015, sudah tampak sejak bulan Februari dimana suhu muka laut di timur ekuator Pasifik timur meningkat (Kompas, 31/07). Hal ini menyebabkan kemarau panjang yang biasa terjadi pada bulan Juni – November. Kekeringan di berbagai daerah di Indonesia makin tak terelakkan.
Berdasarkan data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat bahwa saat ini kekeringan melanda 12 provinsi 77 kabupaten atau kota dan 526 kecamatan, terutama di wilayah Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Lampung, Bali, NTB dan NTT. BMKG pun mencatat bahwa untuk bulan Agustus hingga Desember, Indeks ENSO mencapai indeks 2,2 derajat celcius dan akan semakin menguat hingga Desember mendatang. Artinya gejala El Nino tahun ini berpotensi menyebabkan krisis air yang lebih parah daripada tahun 1997.
Bagian dari Alam
Menyikapi gejala El Nino 2015, meskipun disebut sebagai anomali, harus kita akui juga bahwa andai saja manusia sadar akan bagian kecilnya dari alam (mikrokosmos-makrokosmos), mungkin efek dari El Nino tidak akan terlalu menyengsarakan. Franz Magnis Susesno (1993) menyebutkan bahwa sikap teknokratis manusia dalam memanfaatkan alam sangat berpengaruh terhadap berjalannya siklus alam secara normal. Manusia tidak lagi memandang alam sebagai objek, melainkan hanya sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup belaka.
Andaikan saja, hutan-hutan kita tetap lestari, tetap di biarkan tumbuh sesuai dengan porsi kealamannya, mungkin kekeringan akan sedikit terkurangi, karena air akan tertahan oleh akar-akar pepohonan. Waduk-waduk terpenuhi air serta ahan persawahan pun tumbuh subur jika dan hanya jika manusia benar-benar sadar dalam memanfaatkan alam bukan hanya menggunakannya secara rasional. Tentunya pendekatan dalam memanfaatkan alam pun tidak hanya “use oriented” melainkan juga “enviromental oriented” agar setiap tindakan eksploitasi, manusia tetap mengindahkan hal-hal yang dapat merusak tatanan kelestarian alam.
Kini El Nino sudah di depan mata. Tentunya kita sangat tidak ingin anomali alam ini merusak tatanan alam dan pangan yang ada seperti tahun 1997 silam. Pemerintah saat ini sudah menyusun rencana strategi dalam menghadapi gejala El Nino berupa pengalihan anggaran alokasi khusus APBN sebesar 2 triliun untuk pembuatan embung, pengadaan water bombing untuk pemadaman kebakaran hutan, pengkajian cadangan pangan oleh Bulog serta rencana-rencana taktis lainnya (Kompas, 01/07). Namun, strategi yang dilakukan pemerintah tidak akan langsung dirasakan oleh masyarakat dalam waktu dekat. Setidaknya untuk kedepan, kita harus lebih arif dalam memanfaatkan alam agar segala macam anomali alam seperti El Nino maupun La-Nina, manusia bisa hidup berdampingan dengan alam sebagai unsur mikrokosmos dari luasnya makrokosmos alam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar